Biografi Lengkap K.H. Mufid Mas’ud Beserta Ajarannya

Al-Mukarram K.H. Mufid  lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1928, bertepatan dengan hari Ahad Legi 25 Ramadhan. Beliau merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Ayahanda beliau bernama Kiai Ali Mas’ud yang kini makamnya berada di kompleks makam Golo Paseban Bayat, Klaten.

Melihat garis keturunan K.H. Mufid tersebut dapat dipastikan bahwa beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Di samping mendapatkan bimbingan keagamaan langsung dari orang tua, pendidikan dasar K.H. Mufid ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum, cabang Solo. Lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh Paku Buwono X. Dan ketika K.H. Mufid menempah pendidikan di sana, madrasah tersebut diasuh oleh K.H. Sofwan.

K.H. Mufid mengenyam pendidikan dasar di Manbaul ‘Ulum selama lima tahun, yaitu mulai tahun 1937 hingga 1942. Kemudian, pada tahun 1942 pula, beliau nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun itu bertepatan dengan tujuh bulan setelah kedatangan tentara kolonial Jepang di Indonesia.

Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1945, beliau melanjutkan hafalan Al-Qur’an kepada K.H. Muntaha di Wonosobo. Langkah ini beliau tempuh atas anjuran gurunya di Klaten, K.H. Sofwan. Namun di tahun 1950, K.H. Mufid kembali ke Krapyak dan menikah dengan putri K.H. Munawir (pengasuh Pesantren Krapyak), Hj. Jauharoh.

Sejak saat itu, K.H. Mufid termasuk salah satu pengasuh Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Meski demikian, beliau masih tetapmengaji Al-Qur’an kepada K.H. Abdul Qadir dan K.H. Abdullah Affandi. Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada K.H. Ali Maksum.

Keuletan K.H. Mufid saat mendalami ilmu agama tidak pernah disangsikan oleh orang-orang terdekatnya. Adik beliau, Hj. Qomariyah Abdul Chanan misalnya, menyatakan bahwa kakak kandungnya itu sangat rajin menuntut ilmu. Menurutnya, sampai-sampai beliau pernah dikabarkan hilang saat terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Tetapi akhirnya dapat kembali bertemu dengan keluarga.

Agaknya, rajin belajar saja bagi K.H. Mufid tidaklah cukup. Ada hal lain yang menurutnya harus dijalankan oleh seorang pencari ilmu agar mendapatkan ilmu yang berkah, yaitu shuhbatu ustazin atau taat dan bersahabat karib dengan guru. Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bila seorang murid melakukan enam perkara. Salah satunya shuhbatu ustazin.

K.H. Mufid, dalam banyak kesempatan menekankan pentingnya shuhbatu ustazin itu. Beliau mengaku sering bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Islam. Bahkan, mengakui pula telah terpengaruh oleh mereka.

Di antaranya adalah KHAbdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), K.H. Muntaha (Wanosobo), K.H. Ali Maksum (Yogyakarta), Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), dan Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwy Al-Hasani Al Maliky Al-Makky (Makkah).

Mendirikan Pesantren Pandanaran

Dengan modal Al-Qur’an, pengetahuan keislaman, dan jalinan silaturahmi yang erat dengan tokoh-tokoh Islam itu, K.H. Mufid berketetapan hati mendirikan pesantren yang hingga kini dikenal dengan Pondok Pesantren Sunan Pandananaran (PPSPA).

Mula-mula, pesantren ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 2000 meter persegi, dengan satu rumah dan mushalla di atasnya. Secara resmi PPSPA berdiri pada 17 Dzulhijjah 1395 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1975 M. Peresmiannya dilakukan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, dengan disaksikan Bupati Sleman, Drs. Projosuyoto, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat.

Terdapat harapan besar dari masyarakat yang dipikulkan di pundak K.H. Mufid. Pasalnya, PPSPA dinilai akan mampu menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitar, baik itu perubahan moral ataupun pemantapan akidah. Masyarakat di kawasan candi ketika itu masih belum banyak yang taat beragama, meskipun secara formal mereka memeluk Islam. Nah, salah satu tugas berat K.H. Mufid adalah mendidik masyarakat agar semakin taat beragama. Itu di satu sisi.

Di sisi yang lain, keberadaan PPSPA diharapkan mengubah tatanan masyarakat. Dari masyarakat yang kurang memegang nilai-nilai moral, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan.

Bu Sri, sorang penduduk asli Candi mengatakan, “Dulu di sini sepi, tidak hanya maling yang banyak, makhluk halus juga banyak”. Suasana di malam hari terasa mencekam, karena sangat sepi dan minim penerangan. Keadaan semacam ini yang mendorong para pencuri untuk segera beraksi.

Berdirinya PPSPA, berlahan tapi pasti dapat mengubah keadaan itu menjadi lebih baik. Masyarakat sekitar tidak hanya menjadi baik agama dan moralitasnya, tetapi juga meningkat kualitas ekonominya. Karena, dengan semakin banyaknya santri di PPSPA, masyarakat sekitar ikut menikmati kegiatan ekonomi dengan mendirikan warung makan, toko kelontong, dan lain sebagainya.

K.H. Mufid merupakan keturunan ke-14 dari Sunan Pandanaran. Beliau adalah wali Allah yang menyebarkan Islam di daerah Tembayat, Klaten, Jawa Tengah, atas perintah Sunan Kalijaga. Karena besarnya jasa beliau dalam penyebaran Islam, banyak orang yang beranggapan bahwa ziarah ke makam Wali Songo belum lah sempurna jika tidak menziarahi makam Sunan Pandanaran (Sunan Bayat).

K.H. Mufid berazam untuk melanjutkan syiar Islam pendahulunya dengan mendirikan sebuah pondok yang kemudian beliau namakan Pesantren Sunan Pandanaran. Sejak berdirinya hingga sekarang, pondok ini sudah mencetak banyak alumni yang berkecimpung dalam dakwah islamiyah di berbagai daerah.

Baca Juga  Silsilah keluarga KH Achmad Shiddiq

Di antara mereka ada yang menjadi da’i, pimpinan pondok, guru, pejabat pemerintah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, syiar Islam di bawah keturunan Sunan Pandanaran tetap berlanjut hingga sekarang dan masa-masa yang akan datang.

Dalam tradisi belajar-mengajar di kalangan umat Islam, sanad ilmu menjadi salah satu unsur utama. Imam Syafii pernah berkata, “Tiada ilmu tanpa sanad”. Pada kesempatan lain, Imam Mazhab yang sangat populer di Indonesia ini menyatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad, bagaikan pencari kayu bakar yang mencari kayu bakar di tengah malam, yang ia pakai sebagai tali pengikatnya adalah ular berbisa, tetapi ia tak mengetahuinya”.

Penyataan serupa pernah juga dilontarkan Al-Hafidh Imam Attsauri, “Sanad adalah senjata orang Mukmin, maka bila engkau tak memiliki senjata, dengan apa engkau membela diri?”. Berkata pula Imam Ibnu al-Mubarak, “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”.

Masih banyak lagi pernyataan ulama-ulama terdahulu yang menegaskan pentingnya sanad dalam ilmu. Bahkan dalam tradisi ahli-ahli hadis, sanad ilmu merupakan hal yang wajib dimiliki oleh penekun ilmu hadis. Mereka tidak mengakui suatu hadis dari seseorang kecuali bila orang itu mempunyai sanadnya yang jelas.

Demikianlah pentingnya sanad ilmu bagi para penekun ilmu-ilmu Islam. Disiplin ilmu keislaman apapun, sanadnya akan bermuara kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Ilmu hadis bermuara kepada beliau, pun demikian dengan ilmu tafsir dan tasawuf.

Karena begitu kuatnya tradisi sanad tersebut, maka sudah sewajarnya apabila para penuntut ilmu di Pesantren Sunan Pandanaran mengetahui sanad ilmu yang dimiliki oleh Hadlaratussyaikh al-Maghfurllah K.H. Mufid Mas’ud al-Hafidz, pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran.

Ponpes Sunan Pandanaran dikenal sebagai pondok takhasus li tahfizdil Qur’an. Sementara itu, Hadlaratussyiakh K.H. Mufid Mas’ud belajar Al-Qur’an pada tiga guru Al-Qur’an, yaitu: pertama, Hadlaratussyaikh K.H. Abdul Qodir Munawir al-Hafidz (Krapyak, Yogyakarta); kedua, Hadlaratussyaikh K.H. Muntaha al-Hafidz (Wonosobo, Jawa Tengah); dan ketiga Hadlaratussyaikh K.H. Dimyathi al-Hafidz (Comal, Pemalang, Jawa Tengah). Sanad dari ketiga guru tersebut menyambung kepada Hadlaratussyaikh K.H. Munawir al-Hafidz (Krapak, Yogyakarta).

Selain mengajar Al-Qur’an, Hadlaratussyaikh K.H. Mufid Mas’ud juga melaksanakan dawuh Mbah K.H. Mukhlash (Panggung, Tegal Jawa, Tengah), bahwa seorang santri penghafal Al-Qur’an harus memperbanyak bacaan shalawat Nabi Muhammad Saw. Beliau menyarankan pula agar K.H. Mufid mendapatkan ijazah dari guru kitab Dalail al-Khairat, karya Syeikh Abi Abdillah Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli.

Saran K.H. Mukhlash, beliau laksanakan dengan sebaik-baiknya hingga dapat memenuhi apa yang beliau dawuhkan. Hadlaratussyaikh K.H. Mufid memperoleh ijazah Dalail al-Khairat dari almarhum Romo K.H. Ma’ruf dari Pondok Pesantren Jenengan Surakarta, Jawa Tengah. K.H. Ma’ruf juga seorang guru Qismul ‘Ulya di Mambaul Ulum Surakarta, serta seorang mursyid (pemimpin) Tarekat Sadzaliyah di daerah itu.

“Di samping mendapatkan ijazah dari beliau, saya juga diperintahkan untuk menulis sanad, mulai dari pengarang Dalail al-Khairat sampai dengan almarhum Romo K.H. Ma’ruf,” ungkap K.H. Mufid suatu ketika, mengenang perjalanannya mencari ijazah.

Di lain pihak, Hadlaratussyaikh K.H. Mufid Mas’ud juga mendapatkan ijazah Dalail al-Khairat dari almarhum Romo K.H. Profesor Muhammad Adnan asal Surakarta, yang kala itu bermukim di Kotabaru Yogyakarta, setelah pensiun dari PTAIN Yogyakarta.

Di samping itu, K.H. Mufid, tanpa beliau meminta, juga diijazahi Dalail al-Khairat oleh almarhum mbah K.H. Hamid asal Pasuruan yang mashur sebagai min auliaillah wa ulamaillah (termasuk wali dan ulama Allah). “Pernah juga saya mohon ijazah Dalail al-Khairat kepada guru saya almarhum Dr. Assayyid Muhammad Al Maliki di Makkah” dawuh K.H. Mufid kepada santri-santrinya.

Sanad lengkap Dalail al-Khairat almarhum Romo K.H. Ma’ruf dari Pondok Pesantren Jenengan Surakarta adalah sebagai berikut: K.H. Ma’ruf Surakarta → K.H. Abdul Mu’id (Klaten) → K.H. Muhammad Idris → Sayyid Muhammad Amin Madani → Sayyid Ali bin Yusuf al Hariri al Madani→ Sayyid Muhammad bin Ahmad al Murghibiy → Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Ahmad al Mutsana → Sayyid Ahmad bin al Hajj → Sayyid Abdul Qodir al Fasiy → Sayyid Ahmad al Muqri→ Sayyid Ahmad bin Abbas Ash Shum’i → Sayyid Ahmad Musa as Simlaliy→ Sayyid Abdul Aziz At Tiba’i → Sayyid Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman (penulis kitab Dalail al-Khairat).

Dengan ijazah dari para masyayikh yang termasuk ulama besar tersebut, hadlaratussyaikh K.H. Mufid Mas’ud merasakan manfaatnya yang tidak dapat beliau paparkan dengan lisan. Hanya saja, beliau tak henti-hentinya menganjurkan agar para santrinya membiasakan wiridan Al-Qur’an dan Dalail al-Khairat agar mendapat syafa’at Al-Qur’an dan syafa’at Sayyidul Anam, Rasulullah Saw.

Baca Juga  Kearifan Strategi Dakwah KH Abu Amar Khotib

Banyak ihwal yang dapat kita teladani dari profil almarhum almaghfuuru lahu K.H. Mufid Mas’ud. Para santri dan alumni, langsung maupun tidak, telah diwarisi oleh pelbagai wejangan, etos perjuangan, karakter, hingga tauladan hidup yang sarat nilai luhur dari pengalaman hidup bersama ulama kharismatik kelahiran Klaten ini. Pembacaan dan penafsiran kita akan pengalaman tersebut seyogiyanya mampu menjadi ransum spirit untuk bekal hidup nyata di lingkungan sosial masyarakat.

Beberapa warisan moral yang bisa dipelajari dari biografi beliau antara lain adalah sikap kekeluargaan yang beliau patrikan kepada keluarga dan para santrinya. Sikap simpatik dan familiar yang bukan hanya sebatas anjuran, melainkan lebih pada penerapan secara langsung. Contoh kecil, imbauan untuk memanggil beliau dengan panggilan “Bapak” serta “Mas” dan “Mbak” untuk keluarga ndalem. Betapapun, hal ini bisa dimaknai sebagai keinginan yang amat tulus untuk meniadakan jarak emosional dan tabir sosial antara seorang Kiai dan para santri, tanpa sekali-kali menafikan aspek akhlaq dan relasi guru-murid yang wajar di dalamnya.

Lazimnya di pondok pesantren, hubungan antara kiai-santri yang bersifat hierarkis (atas-bawah), pada titik ini, coba untuk diminimalisir, sehingga relasi berjalan harmonis dan cair. Perasaan dan ketulusan yang hadir layaknya seorang ayah dan anak dalam sebuah simpul ikatan keluarga. Bagaimanapun, ada nuansa keteduhan yang hangat dan penuh ayom ketika seorang santri merasa dianggap sebagai anak yang didekap dalam asuhan. Bapak menjadikan Ponpes Sunan Pandanaran yg dirintisnya semenjak tahun 1975, miniatur dari keluarga besar yang memadukan mozaik aneka warna dalam satu harmoni.

Kesan lain yang bisa kita baca dari sejarah kehidupan Bapak adalah kentalnya kegigihan dalam mengarungi hidup. Keuletan berikhtiar kerap tidak hanya terdengar dari pesan-pesan beliau. Lebih dari itu, Bapak mengajari para santri untuk benar-benar mempraktikkan konsep beribadah (amal) senafas dengan upaya bekerja keras dalam bentuk riyadhah yang kontinu. “Menungso iku kudu gelem urip rekoso…”, Kurang lebih begitulah sejuknya ungkapan nasihat yang acapkali kita dengar dari Bapak.

Perpaduan antara iman, ilmu, dan amal mesti diwujudkan secara praktis. Himbauan “riyadhoh sing mempeng” khas Mbah Mufid tidak lagi menari sebatas slogan belaka, namun para santri benar-benar diajak guna melihat dan terlibat langsung. Langkah da’wah bil haal yang ditempuh Bapak, dirasa lebih mampu memberikan atsar (pengaruh) yang pekat dan membekas kuat pada kesadaran orang-orang di sekelilingnya, terutama para santri. Upaya keras untuk senantiasa belajar sekaligus memanfaatkan ilmu, pada aras ini, sealur dengan pesan Imam Syafi’i, “wa nshab fainna ladzidz al-‘aisyi fi annashab”. Bekerja dan belajar yang optimal adalah wujud dari kenikmatan hidup yang hakiki.

Membaca Al-Qur’an, sholawat dan beragam aurad adalah rangkaian amalan harian pokok yang diterapkan sekaligus diwanti-wanti Bapak supaya dilakukan oleh para santri dengan penuh keikhlasan. Nyaris tak boleh ada celah waktu yang kosong dari kegiatan bernuansa amal dan ibadah. Pola pemanfaatan waktu ala Bapak semacam ini dapat disaksikan secara nyata. Betapa beliau, misalnya, demikian istiqamah mengamalkan amalan, kapanpun dan dimanapun kesempatan untuk melakukan hal itu tersedia. Bagaimana Bapak selalu membaca Al-Qur’an di setiap kesempatan. Mulai dari dalam kamar kediaman beliau, di masjid bersama santri, di atas kendaraan saat bepergian, hingga di tempat darurat seperti rumah sakit, ketika beliau menjalani pelayanan medis.

Sejumlah saksi melukiskan bagaimana Bapak selalu tak lepas dari membaca Al-Qur’an bahkan hingga detik menjelang kewafatan beliau. Makna sejati dari tauladan yang disodorkan Bapak adalah “tak bakal pernah ada kesulitan dan akan selalu tersedia kemudahan, apabila seseorang memang berniat untuk mengerjakan kebajikan.” Menjauhi amalan, dengan berbagai alasan, hanyalah belaka bualan dan buah dari kemalasan. Faqra’uw ma tayassara min al-qur’an…

Kemauan untuk bekerja keras yang diwariskan oleh Bapak, pada dimensi tertentu, juga berarti ajakan kuat untuk memantapkan kemandirian. Usaha seseorang merupakan ukuran sejauhmana ia berniat untuk mandiri tanpa (harus selalu) bergantung kepada fasilitas pemberian orang lain. Mental baja berupa sikap pantang mengemis iba dan merangsang simpati dari pihak lain, ditunjukkan oleh Bapak dalam banyak hal. Antara lain dalam aspek penggalangan modal finansial bagi pembangunan dan pengembangan pesantren. Bapak mengajarkan agar kita merasa segan meminta serta mencegah para santri untuk mendamba belas kasihan orang.

Ikhtiar dan doa dibingkai menjadi satu paket penangkal bagi mentalitas malas yang selalu mengandalkan uluran bantuan orang lain. Kita dituntut untuk selalu berupaya dengan jerih payah sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri senyampang masih memiliki kekuatan untuk bertahan dan melangkah. Walaupun bukan berarti kita harus selalu menolak bantuan dan derma orang yang hendak memberi sokongan dalam pelbagai bentuk pertolongan.

Bapak mendidik kita bagaimana menghargai usaha dan kemandirian tanpa menafikan dan memadamkan minat orang lain untuk juga turut berbagi menanam dan memanen kebajikan. Man jadda wajada. Ringkasnya, keringat sendiri niscaya akan tercium lebih wangi, dan semangat mandiri bakal terasa nyaman dinikmati.

Baca Juga  Biografi dan Riwayat Hidup KH Muhammad Ilyas Bagian 2

Pusaka kebajikan lain yang ditaburkan oleh Bapak guna ditauladani adalah keinginan dan sikap untuk selalu menghargai siapapun. Kemauan luhur idkhal assuruur, menyenangkan orang, tercermin antara lain dari kebiasaan Bapak yang senantiasa berusaha menghadiri undangan tepat pada waktu yang ditentukan. Pun juga usaha untuk menghindari kekecewaan tuan rumah saat ia berniat menghormati kita.

Seorang alumni pernah menuturkan pengalaman saat mendampingi Bapak pada sebuah acara dalam kondisi ada santri yang sedang berpuasa sunnah. Bapak tak urung menyuruh si santri untuk membatalkan puasanya dan menikmati hidangan yang disuguhkan, semata demi menyenangkan perasaan sang tuan rumah. Beliau juga selalu membawa para santri menghadiri undangan dengan penampilan yang rapi dan simpatik.

Satu hal lagi, Bapak selalu berpenampilan (khususnya busana yang dikenakan) bersih, rapih, dan pantas. Ini bagian dari pengamalan bahwa indah tak selalu harus mewah. Kesan bahwa Bapak adalah pribadi yang cinta kebersihan dan keteraturan, antara lain bisa dilihat dari anjuran beliau agar para santri saat menyetor hafalan Al-Qur’an senantiasa berbusana polos, menghindari pakaian beraneka motif dan berwarna mencolok. Bahkan, lebih kurang sejak awal tahun 2000-an, seluruh santri mutahafidzien diwajibkan mengenakan gamis putih. Dan ini berlaku hingga sekarang.

Demikianlah. Sejumlah kesan di atas hanyalah sekelumit gambaran dari sehimpunan tauladan yang akan amat panjang bila diurai. Seorang bekas santri yang nakal seperti saya, sungguh jauh dari pantas, jelas hanya berkemampuan selintas, dan tak akan pernah tuntas menggambarkan kelas dan figuritas K.H. Mufid Mas’ud, salah seorang sosok ulama kharismatik yang telah mampu melahirkan banyak ulama dan tokoh masyarakat di seantero nusantara dalam binaan dan didikannya.

Ibarat biografi tebal, kisah kehidupan beliau adalah karya pustaka historis yang fenomenal, yang mungkin saya sendiri (sebagai santri biasa), hanya mampu meraba dan mengeja di sekisar lembar pengantar saja. Belum menyentuh kandungan isi (apalagi sampai pada halaman kesimpulan) yang sesungguhnya. Akhirnya kita bisa berharap semoga jasa-jasa besar beliau mampu memayungi jiwa, memancarkan motivasi dakwah, dan memantik spirit kebaikan kepada para santri, alumni, dan masyarakat muslim pada umumnya.

‘Alaa kulli haal, membaca profil Bapak, saya teringat pepatah klasik: “Nyalakanlah sinar walau hanya secercah cahaya lilin. Itu lebih baik dari sekedar diam sembari terus mengutuk kegelapan”. Kafaa Billahi ‘Alymaa.

Wafatnya Sang Kyai

Tanggal 19 Maret 2007 seolah menjadi hari-hari terkahir kyai Mufid. Saat itu, seusai pulang dari Jawa Tengah, kyai Mufid merasakan sakit pada tulang bagian belakang dan setelah itu, sebagian besar waktunya beliau gunakan untuk beristirahat.

Hingga keesesokan harinya, keadaan seperti itu masih beliau rasakan. Akhirnya, beliau meminta putranya, K.H. Mu’tashim Billah untuk membawanya ke Rumah Sakit Harapan Insani (RS. HI) milik Prof. Dr. H. Gunadi, M.Sc yang merupakan teman baik kyai Mufid.

Disana, di RS. HI, kyai Mufid mendapat perhatian khusus dengan penjagaan dan pemantauan selama 24 jam non stop dari direktur RS HI, dr. Cempaka Tursina, seorang dokter ahli saraf.

Menurut dr. Cempaka, kyai Mufid, saat itu hanya mengalami ‘sakit tulang belakang’ yang dalam istilah kedokteran disebut ‘terdapat serabut kecil syaraf di tulang belakang yang terjepit akibta proses pengapuran”. Gejala ini sangat masuk akal jika dialami oleh kyai Mufid yang sangat sering kelelehan.

Sehingga, pada 29 maret beliau dibawa ke Panti Rapih untuk melakukan foto rontgen syaraf, karena saat itu, Panti Rapihlah yang menjadi salah satu dari dua rumah sakit di Yogyakarta yang memiliki alat foto syaraf.

Namun, keadaan beliau semakin lama semakin memburuk. Dan pada hari Jum’at, 30 Maret beliau merasakan sedikti sakit pada bagian perut. Atas saran dari RS. HI, baliau harus dibawa ke rumah sakit yang lebih besar dan lebih lengkap, yaitu: Jogja International Hospital (JIH).

Di JIH, beliau juga mendapatkan satu hal yang sama dengan yang di  RS. HI: perhatian khusus. Malah, direktur neurologi JIH, Prof. dr. H. Rusdi Lamsudin, telah meminta seluruh dokter spesialis kenalannya untuk ikut membantu pengobatan kyai Mufid.

Alhamdulillah, selama di JIH, kesehatan kyai Mufid semakin membaik.Namun, sepertinya takdir berkata lain. Walaupun secara medis keadaan beliau dinilai baik, namun mungkin saat itulah saatnya beliau tutup usia.

Akhirnya, hari itu, selasa kliwon 2 April 2007 (17 rabiul awal 1428), dengan dituntun membaca kalimat tayyibah oleh K.H. Mu’tashim Billah dan beberapa anggota keluarganya, beliau menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Hari itu seolah menjadi hari paling bersejarah bagi umat islam Yogyakarta umumnya dan keluarga Pondok Pesantren Sunan Pandanaran khususnya. Hari itu, sang pendiri, K.H. Mufid Mas’ud kembali ke hadapan Allah SWT, tuhan semesata alam. (*)