Oleh: Mujahidin Nur, Ketua Departemen Luar Negeri dan Hubungan antar Lembaga BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) dan Direktur Peace Literacy Institute Indonesia
Beberapa waktu yang lalu Kota Suci Makkah, 19 Juni 2024 menjadi saksi ketika para tamu Allah khususnya dari Indonesia menyelesaikan Wukuf di Arofah, Mabit di Muzdalifah÷Mina dan melempar Zamarot untuk kemudian mereka kembali ke hotel mereka masing-masing di tengah terik matahari Makkah yang membakar.
Kebahagiaan, rasa haru, puja, puji dan syukur tak pernah lepas dari lisan mereka. Paska Wukuf di tengah terik matahari Arafah yang mencapai 46-48 derajat celcius. Mabit di Muzdalifah dan Mina dengan kondisi udara yang mirip dengan kondisi di Arafah. Kemudian disusul dengan melempar Jamarot. Para tamu Allah (dhuyuf arahman) perlahan menyempurnakan rukun haji mereka dengan melakukan thawaf ifadoh, sa’i, dan ditutup dengan thawaf wada’ (perpisahan).
Isak tangis meningkahi untaian doa mereka ketika mereka sedang melaksanakan Thawaf Wada’ (thawaf perpisahan). Terbayang di pelupuk mata mereka jasad fana mereka akan meninggalkan rumah suci ini dan entah kapan mereka akan kembali menjadi tamu Allah di Baitul ‘Atik ( rumah tua), Ka’bah. Isak tangis yang mengharu-biru karena bahagia telah menyempurnakan haji sekaligus bersedih karena harus kembali ke tanah air tercinta meninggalkan Ka’bah al-Musyarofah (yang dimuliakan).
Selesainya prosesi ibadah haji tahun ini sekaligus menandai rangkaian Ibadah haji tahun ini yang terbilang cukup sukses. Minimnya angka kematian jemaah haji Indonesia yang meninggal baik pada saat prosesi Wukuf di Arafah sebanyak 2 (dua) orang dan di Mina sebanyak 27 orang menjadi salah satu indikatornya. Disamping tidak ada permasalahan serius dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2024 ini. Bandingkan dengan kematian Jamaah Haji tahun lalu, tentu angka ini terbilang jauh lebih kecil. Pada tahun lalu tercatat sebanyak 772 meninggal dunia dalam proses Armuzna.
Artinya, angka kematian pada pelaksanaan haji 2024 menurun drastis hingga kurang lebih 95%. Hal ini, tidak bisa dilepaskan dari inovasi pelayanan haji yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama, mulai dari pemberian layanan fast track dengan melakukan preclearance dokumen dari embarkasi Sukarno Hatta, Jakarta, embarkasi Adi Soemarmo Solo dan Bandara Juanda Surabaya. Pemberlakuan Safari Wukuf dan Murur untuk Jamaah Risiko Tinggi dan Lansia. Disamping, perbaikan pada pelayanan akomodasi, transportasi, catering & lain-lain.
Murur (berjalan di atas kendaraan) adalah ikhtiar pemerintah, dalam hal ini Kemenag, untuk meminimalisir risiko gelaran haji. Kebijakan murur berupa pendorongan jemaah haji lansia, beresiko tinggi dan penyandang disabelitas langsung dari Arafah ke Mina selain tidak menciptakan kepadatan, juga mempersingkat tempo ibadah. Kebijakan ini lebih ditekankan kepada jemaah haji risti (risiko tinggi), lansia dan kaum disabilitas, sehingga angka-angka kematian yang biasa muncul karena faktor kelelahan dan penyakit yang terasosiasi dengan heat stroke (sengatan panas matahari) bisa dikurangi.
Kebijakan murur, selain telah disesuaikan dengan fikih moderasi di bidang haji, juga mengandung unsur efisien, efektif dan bernilai hifzhu nafs (menjaga jiwa manusia). Jemaah lansia, risiko tinggi, dan disabilitas tidak lagi diharuskan menghabiskan waktu dan tenaga untuk mabit di Muzdalifah, sebaliknya mereka bisa menghabiskan waktu untuk istirahat di dalam kendaraan. Dengan begitu, tingkat kelelahan dan kematian jemaah haji Indonesia bisa berkurang drastis.
Menjaga kesehatan lansia, risiko tinggi dan disabilitas bagi jemaah lansia dan disabilitas, adalah salah satu ikhtiar manusia, lebih-lebih pemerintah, untuk mengurangi tingkat kematian di tanah suci. Terbukti, tubuh yang lebih bugar karena adanya kebijakan murur menjadi satu variabel penting, yang tidak bisa diabaikan, dalam memahami mengapa tingkat kematian jemaah haji di tahun 2024 menurun drastis hingga 95% dibanding angka kematian tahun lalu.
Para Syuhada PPIH
Dibalik suksesnya penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024 tentu terdapat peran para petugas haji Arab Saudi (PPIH Arab Saudi) yang mendedikasikan waktu dan tenaganya bekerja siang malam tak kenal lelah. Mereka adalah mujahid-mujahid pelayan para tamu Allah (duyufurrahman) terbaik yang menghibahkan kehidupannya untuk melayani para tamu Allah. Mereka yang mengatur dan mempersiapkan kebutuhan jamaah haji ketika mereka menjalankan arbain di Madinah, melaksanakan wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah dan Mina, melempar Jamarot, sampai mereka melaksanakan thawaf ifadoh dan wada. Termasuk di dalamnya merekalah yang memandikan para lansia, menceboki mereka, menyuapi mereka, membacakan dongeng untuk mereka, mengantar jamaah yang sakit, mengurus mereka apabila mereka tertangkap askar (aparat kepolisian), mengantar mereka ke money changer, dan berbagai keperluan jamaah haji lainnya.
Panas terik cuaca di Arab Saudi. Tiupan panas angin gurun pasir dan berbagai tantangan lainnya menjadi teman mereka dalam bertugas. Disamping tentu kerinduan pada ayah, ibu, dan keluarga mereka yang ditinggalkan selama berbulan-bulan karena niatan melayani para tamu Allah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilalui. Tak jarang diantara mereka yang membagikan kerinduan mereka kepada orangtua, suami, istri mereka, atau anak-anak mereka sambil menyeka air mata.
Mereka berjaga di berbagai titik beratapkan langit. Membuat post tampa ada meja atau kursi. Semua akses jalan yang dilalui oleh Jamaah Haji mereka jaga dengan harapan para jamaah haji Indonesia bisa beribadah dengan nyaman, ketika ada yang tersesat bisa mereka antarkan ke hotel mereka masing masing, ketika mereka sakit saat ibadah bisa mereka obati atau ketika para jamaah haji membutuhkan mereka, mereka ada.
Kondisi fisik tidak bisa dikatakan prima karena kelelahan melayani tamu-tamu Allah merupakan gambaran umum kondisi petugas haji Indonesia. Mereka laiknya jamaah haji tinggal satu kamar bertujuh. Mereka sakit bersama satu kamar karena perubahan cuaca ekstrim dan kelelahan. Pingsan dalam menjalankan tugas karena kecapekan bahkan sebagian mereka meninggal dunia dalam menjalankan tugas.
Almarhum Wildan Fauran Lubis misalkan beliau meninggal dunia usai menjaga mathof (tempat thawaf) di Masjidil Haram. Membantu setiap jamaah haji kita yang kebingungan mau keluar melewati pintu. Baik di Masjid Nabawi maupun di Masjidil Haram salah keluar pintu ketika pulang besar kemungkinan akan menyebabkan para jamaah haji tersesat atau tidak bisa pulang. Sepulang dari menjaga jalur thawaf, beliau pulang dengan masih memakai pakaian ihram dengan mengendarai bus shawalat. Karena kecapekan pagi itu almarhum duduk di lobi hotel sambil menyeduh teh panas untuk menghangatkan tubuhnya. Beberapa saat sesudah almarhum menyeduh teh tiba-tiba terdengar suara seperti benda terjatuh. Ternyata suara tubuh almarhum karena terjatuh ke lantai.
Puluhan orang langsung mengerumuni beliau termasuk penulis. Beberapa saat sesudah almarhum jatuh beberapa orang dokter memberikan pertolongan pertama untuk kemudian kami membopong almarhum menuju ambulan. Namun sayang, dalam perjalanan nyawa beliau tak bisa tertolong lagi. Almarhum meninggal dunia sesaat sesudah ambulance membawa jasad beliau menuju rumah sakit haji.
Para petugas lain yang juga syahid dalam menjalankan tugas diantaranya saudara Wildan Fauran Lubis, Suswati Salek Adma, Budianto Iksan Ahmad, Suhendra, Hamdan Maani Rusydi, dan Manshur bin Ahmad Yusuf. Pengabdian mereka dalam melayani tamu Allah adalah jihad, untuk memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah haji.
Melayani atau membantu jamaah haji adalah ibadah yang hukumnya juga wajib sebagaimana wajibnya haji. “Ma la yatimmul wajibu Illa bihi fahuwa wajib,” demikian dalam kaidah fiqih. Perkara yang menjadi syarat kesempurnaan ibadah wajib adalah juga wajib. Pelayanan yang terbaik adalah syarat sempurnanya ibadah haji, maka pelayanan sewajib ibadah haji itu sendiri.
Ketika mendapati teman-teman sesama petugas meninggal dunia saya teringat akan dialog para sahabat rasulullah. Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah kita tidak berperang, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab: “Jihad terbaik (ahsanal jihad) dan yang terindah (ajmalal jihad) adalah haji,” (HR. Bukhari, no. 1861). Keindahan jihad dan Jihad terbaik yang disampaikan oleh Rasulullah inilah yang menjadi jalan bagi para petugas haji untuk menghadap Sang Penguasa. Mereka meninggal saat tengah beribadah haji menjadi Syuhada PPIH 2024.
Betapa indahnya kematian mereka. Kematian yang diberkahi karena mereka meninggal di tanah suci. Kematian yang membuat mereka akan dibangkitkan oleh Allah sambil mengucapkan talbiyah. Kematin yang akan membuat mereka tidak dihisab amal-amalnya selama di dunia dan berhak mendapatkan syafaat Rasulullah. Lebih dari itu profesi mereka sebagai petugas haji adalah profesi”Jihad”, yaitu perbuatan mendahulukan kepentingan dan pelayanan umat daripada diri mereka sendiri. Dari sini, kesyahidan mereka karena dua hal: sedang berhaji dan sedang bertugas dalam pelayanan haji. Selamat jalan para Syuhada PPIH 2024, semoga kelak kami mendapatkan kematian yang mulia dan kesyahidan sebagaimana kalian dengan takdirNya. Amin![]