Oleh: DAMHURI MUHAMMAD
Pemerintah Iran pasca revolusi Islam 1979 dalam waktu singkat memang berhasil mengikis habis budaya pop peninggalan rezim Syah, “membersihkan” para diva dan melarang pemutaran film-film yang mengumbar semangat ketubuhan. Tapi ketika pemberangusan itu mulai mengarah pada sepak bola, para Mullah mulai ragu dan mendua. Melarang sepak bola sama saja dengan menghadang gejolak terbesar rakyat Iran. Menutup stadion Azadi yang berkapasitas 120 ribu kursi itu barangkali tidak sepadan dengan ongkos politiknya.
Apa yang mereka takutkan dari sepak bola? Inilah pertanyaan penting yang diajukan oleh seorang jurnalis politik penggila bola, Franklin Foer, dalam bukunya Memamahi Dunia Lewat Sepak Bola (2006). Franklin menjawab pertanyaan itu dengan menceritakan sebuah adegan dalam film Zendege Edame Darad karya Abbas Kiarostami. Salah satu bagian dalam film itu menggambarkan suasana rumah-rumah yang retak dan nyaris rubuh setelah diguncang gempa maha dahsyat. Orang-orang tampak bersusah payah memasang kembali antena TV agar dapat menangkap siaran langsung pertandingan Austria vs Skotlandia. Kedua tim itu tentu saja bukan kesebelasan unggulan dalam jagat sepak bola dunia. Tapi persoalannya bukan mana tim kuat, mana tim lemah. Rakyat Iran menggandrungi sepak bola karena sepak bola menghubungkan mereka dengan kemajuan dunia barat. Ketika tim Iran berlaga di piala dunia (Jerman, 2006) tentu pandangan mata mereka tak dapat dialihkan dari papan-papan iklan PlayStation, Doritos, Adidas dan Nike di setiap sisi lapangan. Gaya hidup yang ditolak oleh kalangan ulama konservatif. Biasanya para editor foto koran-koran Iran menyiasatinya dengan memburamkan iklan yang menempel di bagian depan seragam para pemain. Tapi tentu saja mereka tidak akan memburamkan foto-foto pemain. David Beckam misalnya, gaya rambut yang kerap berubah dari acak-acakan, mohawk sampai ekor kuda tetap terlihat mewakili gambaran tentang kebebasan. “Demam” kebebasan ini juga melanda para pemain Iran. Mereka tampil di lapangan hijau dengan gaya rambut terpangkas rapi, tanpa jenggot. Mereka menjadi idola kaum muda, sebagian besar merumput di Jerman, Inggris dan benteng-benteng ekonomi global lainnya. Mungkin itu sebabnya Mohammad Khatami mendekatkan diri ke stadion dan kerap berfoto dengan pemain-pemain top Iran sebelum Pemilu 1997. Secara mengejutkan, ia berhasil menduduki kursi presiden, mengalahkan rival beratnya Ali Akbar Nateq-Nouri.
Ketika sebagian besar pengkaji globalisasi hampir tidak pernah meninggalkan hotel-hotel mewah dan ruang-ruang konfrensi, Franklin Foer malah turun ke lapangan. Penelusurannya di lingkungan proletar penggemar bola mampu menjelaskan sisi gelap globalisasi. Berbekal pengalaman jurnalistik di The New Republic ia memetakan silang-sengkarut hubungan sepak bola, politik dan ancaman budaya global. Menurutnya, sepak bola tidak sekadar pertarungan dua kesebelasan yang sama-sama berjuang untuk meraih kemenangan. Lebih jauh, tengoklah para pendukung fanatik Red Star Beograd (Serbia) yang berani mati dan berani membunuh demi membela tim kesayangan mereka. Tatkala Red Star berhadapan dengan Dinamo Zagreb (Kroasia), suasana di stadion benar-benar seperti kecamuk perang. Sepak bola berhasil menyulut semangat kebangsaan Serbia, sekaligus mengobarkan gejolak kebencian antar etnis (Serbia, Kroasia, Bosnia) di negara-negara puing Yugoslavia itu. Holiganisme sengaja dibiarkan tumbuh, bahkan dibekali dengan latihan-latihan militer agar para supporter itu terampil menendang, menghajar dan bila perlu; membunuh. Sebagian besar kekuataan politik Slobodan Milosevic terpusat pada holiganisme pendukung Red Star.
Franklin berupaya menyingkap wajah suram jagat sepak bola. Globalisasi yang semula diperkirakan bakal menyapu bersih pranata-pranata lokal, di Eropa Timur, internasionalisasi sepak bola ternyata gagal mengikis budaya lokal, permusuhan lokal bahkan korupsi lokal. Jangan-jangan globalisasi justru sedang memperkuat entitas-entitas lokal dengan cara-cara yang tidak rapi. Lain Balkan, lain pula Amerika Latin, khususnya Brasil. Negara dunia ketiga yang telah melahirkan pemain-pemain kelas dunia sejak dari Pele hingga Ronaldinho, tapi Konfederasi Sepak Bola Brasil (CBF) tetap saja dikangkangi oleh para cartolas (aristokrat bermental korup). Manajemen keuangan yang tidak transparan dan para eksekutif yang tidak punya akuntabilitas hukum membuat para investor enggan masuk. Maka, bintang-bintang Brasil lebih memilih hengkang dan merumput di klub-klub Eropa. “Saya tidak akan kembali ke Brasil dengan tawaran berapapun!” begitu pengakuan Ronaldo pada seorang reporter (1998).
Profesionalisme dan fair play yang digembar-gemborkan oleh organisasi sepak bola Eropa ternyata tidak serta merta “mengeringkan” lapangan hijau dari resapan-resapan kepentingan politik. Lihat saja trik-trik maut Silvio Berlusconi sejak ia membeli AC Milan (1986). Meski sebelum jadi juragan sepak bola ia sudah sukses sebagai juragan media, tapi berkat AC Milan namanya benar-benar mencuat di pentas politik nasional. Saat mencalonkan diri sebagai perdana menteri (1994), sepak bola menopang strategi pemilunya. Sekian juta fans AC Milan secara otomatis menjadi pendukung partainya. Klub-klub supporter disulapnya menjadi kantor-kantor cabang partai. Di jalan-jalan, para pendukungnya meneriakkan yel-yel; “Forza Italia!” Semboyan yang setara dengan “Azuri”, nama panggilan tim nasional Italia.
Meski begitu, barangkali bayangan kusuraman itu sedikit tercerahkan oleh fenomena kebangkitan nasionalisme lama di tubuh FC Barcelona (Spanyol), hingga para pengkaji dampak globalisasi tak perlu terlalu gamang dengan mewabahnya ‘demam’ sepak bola di seantero dunia. Sebab, bagaimanapun juga, harus diakui bahwa sepak bola telah berperan dalam meredam kembalinya tribalisme dan membendung rasisme yang tak beradab. Selain itu, globalisasi juga telah berjasa menyuguhkan laga-laga terpanas ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke layar kaca, di ruang tamu rumah kita…
DAMHURI MUHAMMAD
Kolumnis