Oleh : Mujahidin Nur, Ketua Departemen Luar Negeri dan Hubungan Antar Lembaga BKM (Badan Kesejahtraan Masjid) dan Direktur Peace Literacy Institute Indonesia.
Malam itu tepat pukul 01.00 dini hari rembulan memantul-mantul di langit Masjid Nabawi, Madinah al-Munawaroh. Semburat cahayanya yang lembut memendar mendar di sutuh (roof top) Masjid dan memercik ke seluruh pelataran Masjid.
Di sebelah kiri pelataran Masjid tepat depan pintu utama menuju Janatul Baqie dua orang jamaah haji dari Afrika Selatan duduk sambil menulis pengalaman mereka selama berada di Madinah. Sesekali mata mereka menatap Qubah al Hadro atau disebut juga Green Dome untuk kemudian tangan mereka aktif menari-nari diatas kertas. Di tengah mereka menulis mata mereka menatap Green Dome sambil terdengar berdikusi satu sama lain. Sesaat mereka berhenti menulis dan menyapaku, menanyakan aku berasal dari mana? Kami pun akhirnya berdiskusi selama hampir satu jam sambil duduk menatap Qubah al-Hadro.
Di bawah pendaran cahaya, Qubah al-Hadro atau Kubah Hijau yang menjadi atap Pusara Suci Rasulullah terlihat begitu anggun, indah dan seumpama ingin melipur kerinduan jutaan jamaah haji yang ingin menziarahi Rasulullah. Setiap harinya Kubah Hijau itu menjadi penyejuk dan pelipur para perindu Rasulullah, termasuk diriku. Menatapnya seumpama menatap rumah Rasulullah dan istrinya tercinta Sayidah Aisah. Sehingga, membuncahkan kebahagiaan tidak terkata.
Di bawah Kubah Hijau kulihat jendela-jendela berwarba cokelat yang makin mempercantik kubah. Melalui jedela-jendela itu percikan cahaya rembulan menelisik ke pusara suci Rasulullah. Jendela-jendela yang dibuat berbaris atas permintaan Sayidah Aisyah RA karena beliau tidak ingin ada pembatas antara langit dan pusara suci Rasulullah.
Memandang Kubah Hijau bagiku seperti memandang rumah sederhana Rasulullah yang sangat mungil. Karena saking mungilnya para sejarawan menyebut rumah rasulullah bukan sebagai rumah. Namun kamar berukuran 3.5 X 5 meter dengan pintu terbuat dari jinten saru (juniperus cummunis) atau jati yang menjadi jalan menuju raudhoh. Sementara bahan baku rumah rasulullah terdiri dari pelepah kurma, tanah liat dan batu bata lalu ditutup dengan kain bulu hewan.
Sesudah aku berdiskusi mengenai Madinah bersama jamaah haji asal Afrika Selatan. Aku duduk disisi sudut kiri Kubah Hijau (Qubah al-Hadro) bersama ribuan Jamaah Haji dari Indonesia, Pakistan, Turkey, Afghanistan, Malaysia dan lain-lain yang hari itu mengantri untuk berziarah ke Raudoh. Sebuah tempat dengan luas 330 meter antara mimbar dan rumah rasulullah. Setiap harinya Raudhoh selalu menyedot magnet ratusan ribu jamaah haji dari berbagai penjuru dunia.
Tak bosan-bosannya mataku menatap Qubah al-Hadro yang nampak makin indah dan memesona di malam hari. Qubah yang dibangun pada tahun 1279 M itu kini telah menjadi ikon atau land mark memesona kota Madinah al-Munawaroh (yang bercahaya). Menjadi atap pusara suci Rasulullah Saw.
Disamping kanan kiri pusara suci itu sahabat-sahabat dekatnya; Abu Bakar Shidik dimakamkan disamping kananya dengan kepala sejajar dengan pundak Rasulullah dan Umar bin Khotob disemayamkan di samping kirinya dengan posisi kepala sejajar dengan pundak kiri Sang Nabi.
Semula Kubah itu tidak berwarna hijau seperti sekarang. Kubah itu dilakukan pengecatan pada tahun 1837 sebagaimana tertulis dalam buku Architectural Conservation in Islam : A Case Study of Prophet Mosque karya Syed Ahmad Iskandar Syed Arifiin.
Raudhah atau taman surga merupakan area di dalam Masjid Nabawi yang terletak di antara rumah Rasulullah SAW dan mimbar yang Nabi gunakan untuk berdakwah. Rumah Rasulullah SAW sendiri kini menjadi makam Nabi.
Raudah ditandai dengan tiang-tiang putih dan karpet putih. Luasnya sekitar 330 meter persegi yang memanjang dari arah timur sampai barat sepanjang 22 meter dan dari arah utara sampai selatan sepanjang 15 meter.
Saat memandang Qubah al Hadro pikiranku tiba tiba terbang ke Yastrib atau Madinah. Membayangkan momen-momen menjelang Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Membayangkan antusiasme para penduduk Yastrib yang sudah beriman kepada Rasulullah dan kerinduan mereka untuk bertemu nabi. Disamping, keingintahuan penduduk Madinah yang ingin mengenal rasulullah karena mereka mendengar kepribadian Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah bohong (shidik) dan terpercaya (amin).
Tidak bisa dipungkiri bahwa kesan-kesan itulah yang menjadi magis bagi masyarakat Madinah untuk menanti kedatangan Nabi Muhammad SAW. Mereka bukan hanya dari kalangan sahabat yang sudah beriman, namun juga terdiri dari banyak suku dan pemeluk agama lain yang belum beriman kepada Allah Swt.
Ketika mendengar berita Rasulullah Saw berangkat hijrah dari Makkah ke Madinah, masyarakat Yastrib, khususnya kaum muslim setiap hari keluar dari rumah untuk menanti kedatangan baginda Nabi Muhammad SAW. Bahkan mereka dengan setia menunggu setiap hari sejak pagi sampai siang. Ketika terik matahari menyengat, mereka kembali ke rumahnya masing-masing sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, Ibnu Ishâq, al-Hâkim, dan ulama lainnya.
Kesabaran kaum muslim menunggu datangnya Nabi Muhammad SAW akhirnya membuahkan kebahagian. Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun ke-14 kenabian (tahun pertama hijriyah, yang jatuh pada 23 September 622 M), nabi Muhamad yang sangat mereka kagumi akhirnya datang.
Waktu itu di Bani Amr bin ‘Auf, suara riuh dan takbir terus bergema. Kegembiraan dan kesedihan menyelimuti kaum muslim atas datangannya Rasulullah Saw. Mereka menyambutnya dengan penuh rasa hormat sebagai seorang nabi dan utusan Allah SWT. Beberapa di antara mereka yang belum pernah berjumpa Rasulullah Saw menganggap bahwa Abu Bakar As-Shiddiq RA adalah Rasulullah Saw.
Ketika panas matahari kian menyengat, Abu Bakar As-Shiddiq RA berdiri sementara Rasulullah SAW berlindung di bawah selendang Abu Bakar As-Shiddiq RA. Dengan demikian, umat muslim yang belum pernah jumpa Nabi Muhammad Saw bisa mengetahui mana yang menjadi utusan Allah SWT.
Peristiwa ini juga telah membuat para pemuka Yahudi turut penasaran untuk ikut serta dalam penyambutan Nabi Muhammad Saw, salah satunya adalah Al-Husain, yang nama kunyahnya sebelum masuk Islam adalah Abu Yusuf, lalu dirubah Rasulullah Saw setelah masuk Islam menjadi Abdullah bin Salam RA.
Sebagai seorang yang sangat memahami Kitab Taurat pada waktu itu, ia ingin sekali membuktikan kabar dari Kitab Taurat tentang nabi akhir zaman. Sehingga membuat Abdullah bin Salam RA tidak mau ketinggalan untuk ikut menyambut baginda Nabi Muhammad Saw. Dengan seksama, Abdullah bin Salam RA terus memperhatikan baginda Nabi Saw. Ia menceritakan peristiwa ini di dalam salah satu hadisnya yang berbunyi:
“Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, maka orang-orang bergegas menyambut kedatangan beliau dengan menyerukan, “Rasulullah Saw datang! Rasulullah datang! Rasulullah datang!” hingga tiga kali. Maka aku ikut berjubel di tengah-tengah kerumunan manusia untuk melihat beliau, ketika telah jelas kupandang wajahnya, maka bisa kuketahui raut muka beliau bukanlah raut muka seorang pendusta. Ucapan pertama kali yang aku dengar dari beliau adalah: “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (HR. Ibnu Majah No 3242).
*