Oleh: Muhammad Muhibbuddin*
Dunia pendidikan kemarin digegerkan oleh rencana naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai Perguruan Tinggi Negeri untuk mahasiswa 2024. Mendengar kabar tak enak itu, masyarakat langsung murka. Pemerintah pun dirajam kritik siang malam, terutama dari Netijen Indonesia yang jarinya memang terkenal tajam dan panas melebihi bayonet dan peluru serdadu.
Setelah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari segala penjuru mata angin, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim akhirnya membatalkan rencana kenaikan biaya pendidikan yang dirasa ugal-ugalan itu. Besaran UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) dikembalikan ke yang lama, 2023. Selesaikah urusan? Belum. UKT gagal naik itu untuk tahun sekarang. Tahun besok atau besoknya lagi, kenaikan “harga pendidikan” tersebut kemungkinan menjadi kenyataan. Yang Mulia Bapak Presiden sendiri ngomong ke berbagai awak media, kenaikan UKT bukan tahun ini, tapi tahun depan. “Kemungkinan, ini masih kemungkinan, nanti ini kebijakan (UKT—pen) di Mendikbud akan dimulai kenaikanya tahun depan,” kata Presiden seperti dilansir detikNews (27/2024).
Jadi, ke depannya nasib putra-putri bangsa masih diselimuti awan gelap biaya pendidikan. Kalau UKT ke depannya benar-benar naik, pupuslah harapan mereka yang tak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi dan mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas bisa dipastikan akan lebih ganas menguras isi dompet orangtuanya. Biaya pendidikan di negeri ini sampai sekarang masih menjadi momok menakutkan bagi para orangtua yang memiliki anak sekolah.
Mungkinkah Pendidikan Murah?
Salah satu yang didambakan masyarakat terkait penyelenggaraan kebijakan negara adalah terwujudnya pendidikan murah. Dalam konteks Indonesia, pendidikan merupakan amanah konsitusi, di mana negara mempunyai tugas dan kewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Ini artinya negara harus mampu menjamin seluruh warganya bisa mengakses pendidikan secara adil dan merata.
Salah satu cara yang paling rasional agar seluruh warga negara bisa menikmati pendidikan adalah menyediakan pendidikan murah (tapi bukan murahan lho!) alias terjangkau. Akan tetapi, yang namanya pendidikan murah di Indonesia hingga kini masih menjadi mimpi. Alih-alih murah, tarif pendidikan justru terus meroket naik, dan kalau sudah naik sulit turun. Persis seperti naiknya harga rokok atau sembako. Akhirnya, hanya yang berduit yang bisa merasakan manisnya pendidikan.
Melihat kenyataan itu, masyarakat tampak makin pesimis akan hadirnya pendidikan murah, yang sering dibuat bahan kampanye para politisi di setiap musim Pemilu atau Pilkada. Bisa jadi memang apa yang disebut pendidikan murah itu omong kosong belaka dan dalam kenyataannya tidak ada dan tak mungkin ada. Kelak di musim kampanye kalau ada politisi berjanji hendak bikin pendidikan murah, tanggapi saja: Preeeeeeetttt!!!
Mitos Belaka
Ada sejumlah faktor kenapa pendidikan murah sulit bahkan bisa jadi tidak akan terwujud di Indonesia. Di antara faktornya adalah korupsi. Semua pasti tahu, yang namanya pendidikan berkualitas itu butuh biaya besar. Fasilitas pendidikan yang memadahi demi mendukung kelancaran dan efektivitas kegiatan belajar-mengajar itu bukan barang gratis. Tapi dalam konteks Indonesia, besarnya pembiayaan pendidikan itu sebenarnya bisa dipenuhi oleh negara asalkan sistem yang ada bersih dari korupsi.
Anggaran pendidikan nasional kini telah mencapai 20% dari APBN 2024. Namun, seperti diungkapkan pengamat pendidikan, Ina Liem (13/05/2024), pendidikan di Indonesia dewasa ini terhambat akibat maraknya korupsi di seluruh lini hingga ke perguruan tinggi. Virus korupsi yang mewabah di institusi pendidikan inilah yang menjadi biang kerok melambungnya UKT sehingga pendidikan murah sulit diwujudkan.
Indonesia Coruption Watch (ICW) melaporkan, pada 2023 terdapat sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di perguruan tinggi yang sedang dan telah diproses oleh institusi penegak hukum maupun oleh pengawas internal. Ini yang terungkap. Terus yang tak terungkap ada berapa kasus? Bisa jadi lebih banyak. Korupsi mewabah kok di ranah pendidikan yang katanya pusat penanaman moral dan intelektual. Ampuuun, ampun!
Kalau virus korupsi tumbuh subur di lingkungan pendidikan, sebesar apapun anggaran pendidikan yang digelontorkan pemerintah akan bernasib sia-sia. Anggaran yang gede itu akan habis digerogoti dan dikerati tikus-tikus berdasi yang bersarang di institusi pendidikan. Kabarnya sekarang Mendikbud Ristek mengusulkan tambahan anggaran 2025 sebesar Rp.25 triliun (Kompas.com:6/6/2024). Terus apa gunanya penambahan anggaran pendidikan hingga triliunan rupiah itu kalau ujung-ujungnya menjadi bancaan para koruptor. Selama praktik korupsi masih merajalela tidak mungkin diwujudkan pendidikan murah bagi rakyat.
Faktor berikutnya adalah ideologi. Pendidikan yang berlangsung di Indonesia lebih digerakkan oleh nalar kapitalisme liberal. Sekolah didirikan untuk mengejar keuntungan material. Kampus berubah menjadi perusahaan. PT bergeser fungsi dan maknanya: dari Perguruan Tinggi menjadi Perseroan Terbatas. Nalar kapitalisme membuat lembaga pendidikan beroperasi atas dasar untung-rugi. Jika masyarakat hendak menikmati pendidikan, mereka harus “membeli” dengan harga mahal sekali. Semakin mewah fasilitas dan pelayanan yang diberikan, semakin mahal harga paket-paket pendidikan yang ditawarkan.
Ilmu pengetahuan di perguruan tinggi akhirnya menjadi “komoditas,” tak ubahnya barang-barang di supermarket. Merujuk pada Marx (2007:20), tentang formula umum kapital, bisa berlaku bahwa sejumlah uang yang dilemparkan ke dalam sirkulasi kapital untuk membangun institusi pendidikan (M) akan menghasilkan komoditas berupa ilmu pengetahuan (C), dan dari komoditas ini lahirlah jumlah kapital yang lebih gede (M’).
Bagaimana kemudian mengharapkan sesuatu yang murah dari institusi atau sistem yang orientasinya mengejar dan mengakumulasi keuntungan (profit oriented) melulu? Bicara pendidikan murah di Indonesia tak ubahnya bicara mitos. Benarkah begitu?
*Muhammad Muhibbuddin adalah penulis dan penerjemah. Alumni filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.