Mendung Air Mata di Kaki Langit Madinah

Mendung Air Mata di Kaki Langit Madinah - dawuh guru

Oleh : Mujahidin Nur, Ketua Departemen Luar Negeri dan Hubungan Antar Lembaga BKM (Badan Kesejahtraan Masjid) dan Direktur Peace Literacy Institute Indonesia.

Hari itu awan-awan hitam berarak panjang di kaki langit Madinah. Angin berhembus lamat-lamat menggiring mendung-mendung tebal perlahan-lahan. Wajah bumi serasa dipenuhi dengan kedukaan. Seduka hati setiap kaum muslimin yang mengetahui bahwa baginda tercinta, Muhammad Saw kini sedang sakit keras.

Setiap hari umat Islam secara bergantian berjaga-jaga di sekitar masjid. Hati mereka dipenuhi dengan rasa khawatir dan kecemasan yang luar biasa terhadap kondisi sakit yang kini tengah di hadapai oleh baginda Muhammad. Terlukis begitu jelas dari pancaran mata dan wajah mereka bahwa kesedihan itu begitu merajai perasaan mereka. Hati mereka kalut kalau sesuatu yang sama sekali tidak mereka harapkan terjadi pada baginda nabi.

Selimut yang membungkus tubuh manusia mulia itu terasa panas, akibat panas yang menjalar dari suhu badannya yang makin meninggi. Peluh bercucuran diwajahnya yang bersih dan bersinar walaupun muka beliau terlihat letih dan lemah. Beberapa kali ditengah sakitnya beliau pingsan untuk kemudian sadar dan kemudian pingsan lagi.

Melihat kondisi ayahnya yang kini tengah menghadapi sakit yang begitu berat, anak beliau, Fatimah tak kuasaha menahan perasaan sedih dan laranya. Dari sudut matanya yang jernih, tak henti-hentinya buliran-buliran bening bak mutiara membasahi pipinya yang ayu. Batinnya mengaduh berharap mukjizat akan datang dan ayahnya sembuh dari sakit yang selama ini dialaminya.

Dipegangnya tangan ayahnya sambil sesekali ia mencium tangan rasulullah dengan khidmat. Dalam hatinya andai Tuhan memperbolehkan ingin sekali wanita mulia ini menggantikan sakit ayahnya. Biarlah dia yang menanggung semua penderitaan ayahnya karena sakit yang dialaminya. Namun apa mau dikata, hal itu tidak mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa menjadi kenyataan.

Baca Juga  PERAN MUI DAN LEMBAGA FATWA DUNIA DALAM PENANGGULANGAN COVID- 19

Sesekali dari bibirnya yang basah oleh cucuran air mata ia berkata lirih di depan ayahnya tercinta, ”Ya Allah, begitu berat apa yang dialami dan dirasakan oleh ayahku, sudikah kirannya Engkau melimpahkannya kepadaku,” ucapnya dengan kata terbata-bata dan isak tangis yang meningkahi.

Rasulullah yang terbaring lemas didampingi putrinya mendengar perkataan putrinya itu. Hati beliau merasa pilu mendengar tangisan Fatimah az-Zahra anak kesayangannya. Dengan suara berat dan lirih beliau berusaha untuk menghibur anaknya,

”Wahai Fatimah,” beberapa saat kemudian dia terdiam. Pelan-pelan Fatimah menatap mata ayahnya. Beberapa saat kemudian dengan berat rasulullah melanjutkan perkataanya, ” Tidak akan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah ini wahai anakku,” ucapnya sambil tersenyum berusaha untuk menghibur putrinya.

Fatimah makin tak kuasa menatap wajah ayahnya. Mukanya tertunduk dan pandangannya terkulai ke lantai. Air mata makin deras mengucur dari matanya dan ia terisak-isak penuh kesedihan. Tiba-tiba batinnya teringat akan ucapan ayahnya ketika ayahnya memberikan khotbah perpisahan di Arafah tiga bulan yang lalu. Akankah kini perkataan ayahnya itu menjadi kenyataan? Apakah ayahnya sudah waktunya pergi meninggalkannya? Keluraganya? Dan semua umat Islam.

Dalam khotbahnya waktu itu, dari atas unta, rasulullah bersabda kepada sekitar 140.000 kaum muslimin yang hadir yang memenuhi hamparan tanah Bathnul Wadi. Dalam khotbahnya itu ada sepenggal kalimat yang setiap kali mengingatnya membuat hati Fatimah terasa makin sedih. Kala itu rasulullah berkata,

”Barangkali aku tidak akan bertemu lagi di tempatku saat ini berdiri sesudah tahun ini,” ujar rasulullah kala itu.

Dalam sakitnya yang begitu berat. Rasulullah tidak mau diobati sama sekali selain ia meminta dikompres dengan air dingin yang disapukan ke kepala dan wajahnya. Pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib yang merasa makin kalut dengan kondisi beliau meminumkan ramuan yang dibuat oleh Asma binti Umais waktu rasulullah tak sadarkan diri. Sesudah rasulullah sadar dan ia merasakan di bibirnya bekas ramuan obat yang dibuat oleh Asma binti Umais ia bertanya kepada orang-orang yang menungguinya,

Baca Juga  Maryam Afifi dan Pesan dari Syaikh Jarrah untuk Dunia

” Siapakah yang membuat obat ini dan meminumkannya padaku,” tanya rasulullah dengan muka bersemu merah. Panas beliau belum juga turun. Selimut tebal masih membungkus tubuhnya.

Semua diam. Tak seorangpun dari isteri rasulullah yang memberikan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh baginda. Termasuk Abbas bin Abdul Muthalib, dia juga diam dan tak berani menjawab pertanyaan rasulullah. Suasana nampak hening. Beberapa saat kemudian salah satu keluarga beliau menjawab,” Ramuan itu dibuat oleh Asma binti Umais dan meminumkannya adalah pamanmu, wahai Rasulullah,” ujarnya pelan. Sementara Abas yang namanya disebut oleh salah seorang dari keluarga nabi menunduk ke tanah. Ia tidak berani memandang wajah rasulullah.

Kemudian rasulullah memandang pamannya. Dengan suara berat ia bertanya kepada pamannya, ” Kenapa engkau melakukan ini wahai pamanku?” Abbas menunduk. Ia merasa bersalah telah meminumkan obat ke mulut rasulullah saat beliau tak sadarkan diri, ” Kami khawatir dengan keadaanmu ya rasulullah. Kami mengira baginda terserang penyakit bengkak kulit rabu,” ujarnya menjelaskan.

”Bukankah aku telah telah melarangmu agar jangan meminumkan obat kepadaku,” sergah beliau singkat.
Abbas semakin menunduk. Semua yang hadir pun menundukan kepala tak sanggup menatap wajah beliau. Kemudian beliau melanjutkan ucapannya, ”Sesungguhnya penyakit itu tidak akan ditimpakan oleh Allah kepadaku,” jelasnya kepada semua yang hadir.

Sesaat dalam diam. Lelaki agung itu tiba-tiba teringat bahwa ia masih menyimpan uang dibawah tempat tidurnya. Beliau kemudian meminta Aiysah untuk menyedekahkan uang itu kepada yang membutuhkan.

Kondisi tubuh beliau berangsur membaik. Panas ditubuhnya kini sudah mulai turun dan rasulullah merasa sudah makin segar. Mungkin obat yang diminumkan oleh Abbas sudah mulai bereaksi. Tiba-tiba beliau memanggil istrinya tercinta, Aisyah,

Baca Juga  Perang Israel Palestina dan Matinya Nilai Kemanusiaan di Gedung Putih

”Wahai Aisyah,” panggil beliau kepada istrinya. ”Apakah engkau sudah menyedekahkan uang 7 dinar yang aku berikan kepadamu kemarin? Sudahkah uang itu sampai kepada yang membutuhkan,” tanya beliau kepada isterinya.

Aisyah sejenak terdiam. Karena kesibukannya mengurus nabi yang sedang sakit beliau lupa menyedekahkan uang itu kepada fakir miskin yang membutuhkan. Dengan lembut ia menjawab pertanyaan rasulullah,

”Belum ya rasulullah, uang itu masih aku simpan,” ujarnya menjelaskan. ”Ambilah uang itu wahai Aisyah dan sedekahkan kepada yang membutuhkan. ” Apa yang harus kukatakan dihadapan Allah ketika aku menghadapap-Nya nanti sedangkan uang itu masih bersamaku,” jelas beliau kepada isterinya.

Aisyah pun lekas pergi dan berpamitan kepada suaminya untuk menyedekahkan uang itu kepada orang-orang yang membutuhkan. Beliau bersedekah dengan uang sisa-sisanya yang beliau miliki untuk membahagiakan orang-orang fakir dan miskin diakhir-akhir kehidupan beliau tatkala kaki langit kota Madinah berkabut air mata.*