Oleh : Mujahidin Nur, Ketua Hubungan Luar Negeri dan Antar Lembaga BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) & Direktur Peace Literacy Institute Indonesia, Jakarta,
Siang itu cuaca di Masjid Nabawi, Madinah al-Munawaroh, begitu terik. Panas matahari sedang memuncak. Namun hal itu sama sekali menyurutkan niatan ribuan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia untuk berbondong-bondong menuju Masjid Nabawi, untuk melaksanakan salat Zuhur berjamaah.
Di Sky View Resto, sebuah resto yang berjarak selemparan batu dari Masjid Nabawi saya berdiskusi dengan seorang petugas PPIH (panitia pelaksana ibadah haji) Sektor Khusus Masjid Nabawi yang dipimpin Letkol Surnadi. Kami berdiskusi mengenai pengalaman paling membahagiakan selama menjadi petugas haji. Sebut saja namanya Lucky Fitri Ananda Pratama.
Lucky menceritakan bahwa ketika melakukan patroli di areal pintu 318 pelataran Masjid Nabawi, Madinah al-Munawaroh matanya tertuju pada seorang Jamaah Haji Lansia yang duduk sendirian. Mukanya menolah kesana kemari mencari teman-temannya yang tadi bersama-sama berangkat ke Masjd Nabawi bersamanya. Tidak ada satu pun yang tersisa. Semua telah meninggalkannya sendiri di Masjid ini.
Sesudah Lucky menghampiri beliau, Lucky mengetahui bahwa Ibu itu bernama Siti Fatimah Abdul Manap, jemaah haji asal Banjarmasin. Takdir Allah memang lembut. Selembut pertemuan yang membawa Lucky untuk bisa berkenalan dengan jamaah haji lansia ini. Pertemuan yang menurutnya menorehkan hikmah (blessing) dan kebahagiaan dan tentu saja kenangan yang tidak terlupakan.
Sesudah menyapa beliau, beliapun bercerita banyak hal kepada Lucky, salah satu tim Sektor Khusus Masjid Nabawi itu. Walau Lucky dan Ibu Fatimah baru pertama kali bertemu, Ibu Fatimah merasa begitu dekat dengan Lucky. Hal itu –mungkin—karena kerinduannya pada anak-anaknya. Awalnya, Ibu Fatimah menunjukkan foto ketiga anaknya dari ponsel sederhana miliknya; beliau memperlihatkan foto anak seorang perempuan, laki-laki, dan anak bungsunya yang masih bersekolah. Sementara anak pertama dan anak keduanya sudah menikah.
Beberapa tahun sesudah anak-anaknya menikah, tepatnya tiga tahun yang lalu Ibu Fatimah terserang stroke yang membuatnya kesulitan untuk berjalan dan berbicara. Dalam kondisi seperti itu kebutuhannya pada perhatian dan kasih sayang anak-anaknya beliau sampaikan makin besar. Karena ia merasa begitu kesepian. Merasa sendiri. Seperti tidak punya siapa-siapa.
Dalam kondisi kebingungan dan tersesat perempuan lansia itu bercerita dengan suara terbata-bata dan berurai air mata. Ia mengaku begitu merindukan anak-anaknya yang kini seperti sudah jauh darinya. Sesudah mereka menikah. Menurut ibu Fatimah mereka kurang memiliki perhatian terhadap dirinya. Walaupun Ibu Fatimah mengalami struk yang membuat jalan beliau masih pelan-pelan dan cara berbicaranya masih cadel dan berat.
Bagi Ibu Fatimah, menunaikan ibadah haji dengan kondisi seperti ini begitu berat. Begitupun yang dirasakan oleh lansia lainnya. Cuaca kota Madinah yang begitu panas. Ditambah padatnya jamaah haji membuat medan ibadah bagi lansia makin berat. Tingkat panas di Madinah bisa saja menimbulkan heat stroke. Kondisi ketika tubuh mengalami peningkatan suhu panas dari lingkunganya di luar toleransi tubuh para lansia.
Efek heat stroke pada jamaah haji lansia bisa menimbulkan kepala pusing, mual, muntah, jantung berdebar kencang bahkan pada kondisi tertentu bisa membuat para lansia ini pingsan. Hal seperti inilah yang dialami oleh para jamaah haji lansia termasuk di dalamnya ibu Fatimah.
Di tengah-tengah obrolan antara Lucky dan jamaah haji lansia ini, tiba-tiba ibu Fatimah berujar, “Sejak struk sebenarnya nenek ingin mempunyai kursi roda namun nenek tidak mempunyai uang untuk membelinya. Apalagi jalan nenek berat untuk menuju Masjid untuk bisa sholat berjamaah.”
Perkataan nenek ini memuat Lucky terenyuh. Hati kecilnya bisa merasakan betapa nenek ini membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Ia teringat kedua orangtuanya yang telah lama tiada. Andai kondisi seperti ini terjadi pada orangtuanya betapa sedih hatinya.
Ia pun teringat apa yang pernah disampaikan oleh Ayahnya, bahwa jika ingin mendapatkan kebahagiaan serta kelancaran rezeki, maka kita harus sering berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Lucky pun meminta ijin kepada Ibu Fatimah. Ia bergegas menuju Soidaliah (toko apotek) dan membelikan Ibu Fatimah kursi roda yang diidam-idamkannya sejak beliau terkena struk.
Dengan penuh kasih sayang bersama kursi roda yang sudah dibelinya Lucky mendekati Ibu Fatimah, “Ini kursi roda untuk nenek, ya! Untuk menemani nenek ibadah dan untuk nenek bawa pulang ke Indonesia.” Ucap Lucky dengan penuh perhatian.
Ibu Fatimah tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya meleleh. Ia tidak menyangka petugas haji Sektor Khusus Nabawi yang baru saja kenal dan bertemu dengannya memberikan perhatian sebegitu besar pada dirinya. Ia pun menangis terisak-isak. Ia memeluk Lucky dengan pelukan seorang perempuan tua yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang anaknya. Air matanya terus berderai-derai tak terbendung. Sambil kedua tangannya memeluk Lucky laiknya memeluk anaknya sendiri.
Lucky, yang sudah lama menjadi yatim merasakan pelukan ibu Fatimah laiknya pelukan ibunya. Pelukan penuh perhatian dan kasih sayang. Pelukan seorang ibu yang merasa haru dan bahagia karena perhatian yang diberikan kepadanya.
“Bagaimana saya membalas kebaikan kamu, Anak?” ucapnya disela-sela tangisnya. Lucky pun lantas menjawab, “ Nenek tidak usah membalasnya. Cukup nenek mendoakan saya dengan doa-doa baik agar saya diberikan kelancaran, kekuatan serta kesehatan dalam melaksanakan amanah tugas ini. Hal itu jauh lebih berharga daripada kursi roda yang saya berikan ke nenek.”
Mendengar jawaban Lukcy, tangis Ibu Fatimah kembali pecah. Beliau kemudian meminta Lucky untuk mencatat nomornya agar bisa menjalin silaturahmi sesampainya di Indonesia nanti. Ibu Fatimah mengatakan, “ Perhatianmu kepada nenek membuat nenek merasa mempunyai anak kandung yang lain selain ana-anak nenek sendiri.” Sebuah kalimat sederhana namun membuat air mata Lucky menetes membasahi pipinya.
Mendengar kesedihan nenek karena kurangnya perhatian mereka pada ibu Fatimah. Lucky berusaha menghibur kesedihan ibu Fatimah, “Nek, anak adalah suatu anugerah dari Allah SWT, meskipun selama ini sifatnya kurang baik terhadap kita. Mereka akan tetap menjadi anak kandung kita, darah daging kita. Banyak orang dari luar sana yang datang ke sini lalu berdoa untuk diberikan seorang anak oleh Allah SWT.”
Dengan mata sembab, tangan lemah Ibu Fatimah mengambil hand phone-nya kemudian beliau langsung mem-video call anak-anaknya sembari meminta maaf apabila beliau bersalah kepada anak-anaknya karena selama ini terlalu galak.
Setelah selesai video call. Ibu Fatimah kembali memeluk Lucky sambil menangis. Bibir lemahnya dengan berat mengucapkan ucapan terimakasih sambil menahan tangisnya. Allah mengijabah doanya pikirnya dalam hati. Bertahun-tahun ia menginginkan untuk membeli kursi roda itu. Namun sebagai perempuan tua dan tidak mempunyai penghasilan keinginanya itu masih menjadi sebatas keiginan. Di sini di dekat pusara suci Rasulullah, seorang Petugas haji Indonesia membelikan sebuah kursi roda yang diidam-idamkannya. Lucky pun mengusap air mata Ibu Fatimah. Memeluknya. Membelai-belai rambutnya. Untuk kemudian mengantarkan ibu Fatimah ke hotelnya untuk beristirahat.
Sesudah Ibu Fatimah memasuki kamarnya. Ia teringat pada seseorang yang membuatnya makin mencintai Madinah. Seseorang yang mengajarkanya kalimat apabila engkau mau dimuliakan Allah, RasulNya dan hamba-hambaNya maka muliakanlah para tamu Allah. Seseorang yang meminjamkan buku kepadanya disela-sela bertugas di Masjid Nabawi dan memperkenalkannya kepada Senad Hadjic, laki-laki mulia nan saleh dari Bosnia.
Dengan mata memerah Lucky mengatakan, “Aku makin mencintai Madinah. Kota yang sangat dicintai oleh Rasulullah ini. Aku makin mencintai kota ini melebihi tempat dimana pun di dunia,” ucapnya sambil menyeka air matanya!*