Oleh : Dr. Sunaji, M. Pd

Pertanyaan tentang dakwah hari ini semakin sering terdengar: apakah ia masih menjadi jalan pengabdian, atau telah berubah menjadi ladang keuntungan? Di tengah maraknya dakwah berbayar, popularitas penceramah, dan komodifikasi agama, sosok Kiyai Abdul Ghofur hadir sebagai jawaban yang hidup—bukan melalui kata-kata, tetapi melalui keteladanan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Sejak tahun 1970-an, Kiyai Abdul Ghofur merintis Pondok Pesantren Sunan Drajat dari titik yang sangat sederhana. Beliau berdakwah dari desa ke desa, dari kota ke kota, bahkan hingga ke penjuru Nusantara, tanpa pernah memasang tarif. Tidak ada kontrak, tidak ada permintaan, apalagi tawar-menawar. Yang ada hanyalah niat menyampaikan agama dan keyakinan bahwa dakwah adalah amanah, bukan komoditas.

Dalam perjalanan panjang itu, tidak semua sambutan manis. Beliau kerap dicaci, difitnah, bahkan disalahpahami dari berbagai arah. Namun cacian tidak pernah mengubah langkahnya, dan hinaan tidak pernah mengurangi keikhlasannya. Dakwah tetap berjalan, bukan karena keuntungan materi, tetapi karena panggilan nurani.

Keikhlasan yang Melahirkan Kepercayaan

Kiyai Abdul Ghofur dikenal sebagai kiai yang tidak pernah meminta-minta kepada siapa pun. Beliau memilih jalan memberi, bukan menuntut. Memberi pelayanan terbaik, memberi perhatian kepada umat, memberi ruang bagi santri untuk belajar dan tumbuh. Bahkan dalam hal pembiayaan pendidikan, Pondok Pesantren Sunan Drajat hingga hari ini memberikan ribuan beasiswa kepada santri—sebuah bukti bahwa dakwah sejati selalu melahirkan keberpihakan kepada yang lemah.

Pesantren tidak dibangun di atas proposal, tetapi di atas kepercayaan. Tidak ditegakkan dengan slogan, melainkan dengan kesungguhan. Dari situlah keberkahan tumbuh, pelan namun pasti, hingga pesantren yang dirintis dengan kesederhanaan itu kini berdiri kokoh dan dikenal luas.

Menularnya Keteladanan Dakwah

Seiring berjalannya waktu, jejak dakwah Kiyai Abdul Ghofur tidak berhenti pada dirinya. Para kawakib dan para Gus dari Pondok Pesantren Sunan Drajat meneladani jalan yang sama. Mereka meneruskan perjuangan dakwah ke desa-desa dan kota-kota tanpa memasang tarif, tanpa mematok harga. Mereka datang untuk mengabdi, bukan untuk bernegosiasi.

Ironisnya, di tengah kondisi dakwah yang kini kerap diwarnai “tarif” dan “paket ceramah”, justru mereka yang tidak pernah meminta itulah yang Allah cukupkan. Inilah keuntungan sejati dari dakwah yang ikhlas: bukan sekadar materi, tetapi kepercayaan umat, keberkahan hidup, dan kelanggengan perjuangan.

Makna Keuntungan dalam Dakwah

Tulisan ini bukan untuk menghakimi mereka yang berdakwah sambil mencari nafkah. Islam tidak melarang pendakwah menerima imbalan. Namun teladan Kiyai Abdul Ghofur mengajarkan bahwa ketika dakwah diletakkan sebagai pengabdian, Allah sendiri yang akan mencukupi. Ketika niat dijaga, keuntungan akan datang dengan cara yang tidak disangka-sangka—tanpa harus diminta.

Dakwah yang ikhlas mungkin melelahkan, sering disalahpahami, dan tidak selalu dihargai. Tetapi sejarah membuktikan: dakwah semacam inilah yang bertahan lama, menumbuhkan generasi, dan meninggalkan jejak peradaban.

Di tengah hiruk-pikuk dakwah modern, sosok Kiyai Abdul Ghofur mengingatkan kita bahwa dakwah bukan soal panggung, bukan soal tarif, dan bukan soal popularitas. Ia adalah jalan sunyi penuh pengabdian. Dan justru dari jalan sunyi itulah lahir keberkahan yang luas—untuk pesantren, santri, dan umat.

Maka pertanyaan “Dakwah: Jalan Pengabdian atau Ladang Keuntungan?” sesungguhnya telah terjawab. Dakwah adalah pengabdian. Dan ketika pengabdian dijalani dengan ikhlas, keuntungan akan datang sebagai bonus, bukan tujuan.