KH Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang, di tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembang-kan pemikiran irrasional semacam khurafat, takhayul dan bid’ah.
Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari jaman kakek-kakeknya dahulu sampai jamannya adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai kepesantrenan. KH Ma’shum yang terkenal dengan panggilan mBah Ma’shum ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem, Rembang. Sejak kecil, KH Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (Nahwu, Shorof dan Balaghah), dan kitab Jam’ul Jawami’. Mbah Ma’shum berharap agar putranya nanti menjadi seorang ulama ahli fiqih, sehingga beliau menggembleng Ali kecil setiap harinya dengan pelajaran kitab-kitab fiqih. Sementara itu beliau juga mengajarkan kitab-kitab lainnya kepada para santri, terutama kitab-kitab ilmu nahwu, shorof dan balaghah. Akan tetapi kecenderungan Ali kecil justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan shorof. Ali kecil kemudian belajar beberapa waktu di pondoknya KH Amir di Pekalongan.
Setelah Ali memasuki usia remaja (usia 12 tahun), Mbah Ma’shum berfikir untuk menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kiai lain yang terbilang masih temannya, yakni KH Dimyati yang memimpin pesantren Tremas Pacitan (1894 – 1934), karena tidak terbiasa orang tua mendidik anak kandungnya sendiri sampai dewasa. Pada saat itu, Pesantren Tremas yang terletak di pelosok Pacitan dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki beberapa lama ini merupakan pesantren yang cukup popular, terkenal dan berwibawa, disebabkan oleh tiga alasan :
- Pesantren Tremas secara tegas menolak dan menentang penjajah Belanda, serta berusaha menghindar dari pengaruh budayanya.
- Pesantren Tremas tergolong sangat ‘alim, sehingga keberadaan Tremas saat itu sebagai gudangnya ilmu agama sangat diperhitungkan. Bukti kealiman mereka terukir dalam sejarah, dengan munculnya nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah, 1918 M) di Dunia Islam yang menjadi ulama besar berkaliber internasional di Tanah Haram, penulis produktif dan guru besar di bidang hadis Shahih Bukhari serta diberi hak untuk mengajar di Masjidil Haram.
- Kegiatan ilmiah di Tremas sangat intensif, karena mendapatkan dorongan sepenuhnya dari kiai dan keluarganya. Bahkan kebebasan ilmiah yang dikembangkan pesantren Tremas berakibat pada munculnya “Madrasah” kontroversial didalam pondok pada tahun 1928 yang didirikan seorang santri senior bernama Sayyid Hasan Ba’bud, dengan tenaga pengajar yang kesemuanya berasal dari luar pesantren.
Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Tremas sangat bervariasi seperti Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim, Alfiyah Ibnu Malik, dll. Mubahatsah (pembahasan) kitab berjalan setiap malam. Di samping itu didukung oleh kebijakan kiai yang memberi kesempatan kepada para santri senior yang mampu untuk mengajari santri adik kelasnya. Kondisi seperti itu lalu menumbuhkan semangat para santri untuk berkompetisi di bidang keilmuan.
Dengan kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas Pacitan untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyati, Ali Maksum secara istimewa diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada umumnya, akan tetapi tinggal di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga KH Dimyati, satu kamar dengan Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmasi. Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH Dimyati kepada KH Maksum, karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi saling menitipkan pendidikan putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini, KH Maksum menitipkan putranya yang bernama Ali kepada KH Dimyati di pesantren Tremas, sementara KH Dimyati sendiri menitipkan putranya yang bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada KH Maksum di pesantren Al-Hidayah Lasem.
Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih dikenal dengan panggilan Beliauini, nampak paling menonjol diantara para santri yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan pribadinya, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya.
Menurut saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH Habib Dimyati, bahwa Beliausetiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat belajarnya hebat melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi batas-batas yang ditetapkan pesantren. Beliausering tidak tidur sampai larut malam, sehingga tidak aneh jika kamarnya terlihat tidak rapi, karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan terbuka.
Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak berguru kepada Beliaudalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun lama bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada ulumul Qur’an. Yang dipelajari Beliaubukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan oleh kiainya, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ulama’ pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid Ridha murid Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya. Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kiai di beberapa pesantren tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya.
Kitab-kitab para pembaharu tersebut diperoleh Beliaudari kiriman kawan-kawannya di Tanah Haram, santri ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari pergi haji. KH Dimyati selaku pengasuh pesantren sebenarnya mengetahui hal itu, apalagi Beliautinggal didalam komplek nDalem, akan tetapi beliau sengaja mendiamkannya, karena Beliaudipadang memiliki dasar-dasar tradisi pesantren yang kuat. Bahkan memperluas wawasan dengan kitab-kitab tersebut bagi Beliausangat diperlukan sebagai muqabalah (perbandingan). Barangkali karena latar belakang referensinya yang luas inilah yang menjadikan Beliausebagai seorang ulama’ yang berwawasan luas, dalam, dan berpandangan lebih moderat bila dibanding dengan para kiai alumni pesantren lainnya.
Beliau sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Qur’an, yang nantinya mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemula di Indonesia. Demikian pula dalam ilmu bahasa arab, Beliausangat menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang terkenal. Julukan “Munjid berjalan” untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan keahlian inilah yang mengantarkan KH Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang kemudian diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kiyai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.
Kegemaran lain Beliaudi bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari secara intens syiir-syiir dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna kelak ketika menjadi seorang ulama’ besar, dimana setiap ada kesempatan dalam berpidato, berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan lain-lain, sering keluar dari mulutnya untaian kalam hikmah dan syiir-syiir tersebut.
Beliau Maksum yang sejak muda tidak gemar tirakat, puasa ngrowot dan perilaku nyeleneh lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian santri di pesantren-pesantren salafiyah pada umumnya ini juga memiliki kegemaran musik. Beliau suka memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya untuk mengiringi alunan nyanyian, dan bahkan menyukai lagu-lagu berbahasa inggris yang diiringi musik jazz. Kegemaran ini masih terbawa ketika sudah menjadi seorang kiyai yang mengasuh pesantren Krapyak, dimana lagu-lagu jazz tersebut sering diputar dan didengarkan didalam kamar pribadinya sambil beliau dipijiti para santri, bahkan terkadang suaranya sampai keluar melalui mic speaker sehingga para santri ikut menikmati lagu-lagu tersebut. Dalam bidang olahraga, Beliausama sekali tidak memiliki kegemaran, kecuali gemar membersihkan lingkungan pondok dari daun-daun kering, mengambili kertas-kertas bekas dan sampah kering lainnya. Berbeda dengan Gus Hamid dari Pasuruan yang gemar main sepakbola.
Dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, Beliauadalah “simbol keteladanan”. Beliau bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer dengan sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Diantaranya adalah ide dari Beliautentang perlunya menerapkan sistem madrasi dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari dalam pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH Dimyati, karena trauma dengan pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud. Setelah konsep dari ide tersebut dipandangnya jelas dan mendukung kemajuan pesantren, maka KH Dimyati mengijinkan berdirinya madrasah tersebut, dengan BeliauMaksum sebagai direkturnya. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wak Ali, yang ketika itu baru berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya ulama modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah, an-Nahwul Wadhih dan lain-lain.
Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, KH Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip: Al-Muhafazhatu ‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah putri KHM Munawwir. Beberapa hari setelah pernikahannya, seseorang bernama H. Junaid dari Kauman Yogyakarta melalui KH Maksum menawarkan tiket gratis kepada KH Ali Maksum untuk beribadah haji. Sebulan kemudian, KH Ali Maksum bertolak menuju Makkah lewat pelabuhan Semarang, dan kesempatan tawaran beribadah ini sekaligus digunakan untuk thalabul ilmi, mengaji kepada beberapa ulama’ besar di Makkah, diantaranya berguru kepada Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (ayah Sayyid DR. Muhammad Alwi Abbas Al-Maliki) untuk mengaji kitab Al-Luma’ dan lain-lain, juga berguru kepada Syaikh Umar Hamdan untuk mengaji kitab Shahih Bukhari dan kitab hadis lainnya, serta memperluas wawasan dengan mengkaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridha, Jalaluddin Al-Afghani, dan lain-lain.
Selama dua tahun tinggal di Makkah, berarti dua kali pula Ali Maksum menunaikan ibadah Haji. Selama itu pula, Ali Maksum berhubungan dengan para masyayikh, sesama para pelajar dan jamaah haji Indonesia. Kepada jamaah haji yang dikenalnya, Beliau menitipkan kitab-kitabnya untuk dibawa ke Lasem, terutama kitab-kitab baru tulisan para ulama’ pembaharu, disamping kitab-kitab yang Beliau tumpuk untuk dibawa sendiri pada tahun 1940.
Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak, sebenarnya beliau sudah sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun demikian, sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab atas sukses dan tidaknya Muktamar, beliau masih sempat mengkomando panitia pelaksana yang sebagian besar adalah santrinya lewat mick speaker dari kamarnya. Ketika Presiden Soeharto dan beberapa menteri serta para kiai peserta muktamar menjenguknya, Kiai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan berbaring di kamarnya.
Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Beliau wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir dan 8 orang putra-putri : 1) Adib (wft masih kecil), 2) KH Atabik Ali, 3) H. Jirjis Ali, 4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali, 5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali, 6) Nafi’ah (wafat masih kecil), 7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik), dan 8) Hj. Ida Rufaidah Ali.