Biografi Lengkap KH. Abdul Ghofur Beserta Ajarannya

Kiai Abdul Ghofur
sumber : dawuhguru

Pengasuh Pesantren Sunan Drajat Lamongan

Siapa yang tak kenal Kiai yang masih keturuan Sunan Drajat Lamongan ini? Di dataran tinggi Gunung Drajat, geser sedikit ke utara sebelum sampai pada pantai pantura, lihatlah di sana ada pesantren besar dengan ribuan santri. Sebelum berdiri megah dan luas, pesantren yang memiliki 12 ribu santri pada tahun 2017 ini pada mulanya hanya bangunan kecil yang digunakan untuk mempelajari kitab kuning. Dari gubuk kecil itu, Kiai Abdul Ghofur memulai dakwahnya.

Kiai Abdul Ghofur memilik nama lengkap Abdul Ghofur, ia adalah putra bapak H.Martokan dan ibu Hj. Kasiyami. Ia lahir di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, pada tangal 12 Februari 1949. Ia adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai guru ngaji di kampungnya dan bekerja sebagai petani dan pedagang batu gamping. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai penjahit baju di rumahnya.

Ulama’ yang lahir di kampung yang sama dengan berdirinya Ponpes ini yaitu di Dusun Banjaranyar, Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada 12 Februari 1949 ini merupakan generasi ke-14 dari Waliyullah Sunan Drajat. Menghabiskan waktu belajarnya di Pondok Pesantren Denanyar – Jombang, Pondok Pesantren Kramat dan Sidogiri di Pasuruan, Kemudian beliau melanjutkan mondoknya di Ponpes Sarang, Rembang dalam asuhan K.H. Zubair, lanjut ke Pondok Pesantren Lirboyo, Pesantren Tretek, Pesantren Roudhotul Qur’an Kediri. Sempat menimba ilmu juga di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Menurut Ahmad Ali Adhim dalam tulisannya di NU Online; Pengasuh Pesantren Sunan Drajat Lamongan yang keturunan Kanjeng Sunan Drajat (Raden Qosim) ke-14 ini selalu mempunyai ciri khas tersendiri dalam mensyiarkan agama Islam. Beliau adalah Prof. Dr. KH Abdul Ghofur. Beberapa kali putra H. Marthokan ini mendapat gelar doktor honoris causa dari universitas dalam dan luar negeri karena pengabdiannya yang luar biasa untuk masyarakat, seperti penganugerahan Doktor HC di bidang Ekonomi Kerakyatan dari American Institute of Management Hawaii, Amerika. Tanpa melalui proses belajar di kampus, beliau berhasil meneliti “Khasiat Buah Mengkudu dan Pelestarian Tanaman” yang akhirnya beliau juga mendapat gelar profesor.

Baca Juga  KH. Achmad Qusyairi: Hubungan Dengan KH. Hasyim Asy’ari, Hingga Ijazah Mempermudah Haji

Pesantren peninggalan Wali Songo yang nyaris terkubur oleh sejarah itu, kini di bawah asuhan Kiai Abdul Ghofur memiliki kurang lebih 12.000 santri. Rasanya hal itu sebanding dengan proses belajar Kiai Abdul Ghofur, jika kita runtut kembali melihat riwayat pendidikan yang pernah beliau tempuh. Pada masa mudanya beliau Menghabiskan waktu belajarnya di Pondok Pesantren Denanyar – Jombang, Pondok Pesantren Kramat dan Sidogiri di Pasuruan, Kemudian melanjutkan mondoknya di Pondok Pesantren Sarang, Rembang dalam asuhan KH Zubair, lanjut ke Pondok Pesantren Lirboyo, Pesantren Tretek, Pesantren Roudhotul Qur’an Kediri. Sempat menimba ilmu juga di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Pengalaman beliau sebagai kiai yang setiap hari menjadi tempat keluh kesah berbagai permasalahan kehidupan masyarakat, membuat beliau menarik kesimpulan bahwa pendidikan di pesantren merupakan ruang belajar yang terbaik. Selain tidak terpengaruh pergaulan bebas, hubungan lawan jenis bebas, dan narkoba, pesantren juga menjadikan seseorang selain mendapat ijazah resmi dari negara juga menjadikan seseorang bisa mengaji (baik Al-Qur’an maupun kitab kuning), berceramah agama dan berkhutbah, memimpin doa, kemampuan-kemampuan keahlian keagamaan lainnya yang berguna saat terjun di masyarakat nanti. Pendidikan di pesantren yang tidak bisa terlepas dari budaya ngantri, jauh dari orang tua, makan yang dibatasi, jam tidur yang singkat, dan padatnya kegiatan yang harus diikuti akan membentuk pribadi yang sabar, sederhana, rendah hati, peduli, ikhlas, rajin, disiplin, hemat, bersahaja, santun, dan beradab.

Tinggalkan Balasan