Oleh Ghina Mufidah
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Ilmu kalam merupakan salah satu disiplin ilmu yang membahas tentang teologi dan sistematika dari ilmu-ilmu ke-islam-an. Dalam sejumlah literatur tentang ilmu kalam, terdapat berbagai macam “terminologi” yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan, apa yang dimaksud dengan ilmu kalam itu. Seperti yang dikemukakan oleh Zurkani Jahja dalam bukunya yang berjudul “Teologi Al Ghazali, Pendekatan Metodologi” (1996), ia menyebut para tokoh dan pemikir di bidang Akidah Islam dengan julukan “para pemikir perintis”, sebelum julukan Ilmu Kalam muncul. Predikat “pemikir perintis” oleh Jahja, dipergunakan untuk menunjuk sejumlah tokoh di bidang akidah Islam yang berhasil menunjukkan prestasi pemikirannya pada masa Dinasti Umayyah (41-132 H / 661-750 M), yang kemudian memberikan pengaruh terhadap para pemikir sistematis dalam aliran-aliran kalam setelah dibakukannya Ilmu Kalam sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman.
Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam ajaran silam, Ilmu Kalam (Teologi Islam) baru lahir pada abad ke-2 H. Ajaran ini dikembangkan oleh para tokoh bani Mu’tazilah yang diprakarsai oleh Washil bin Atha’. Teologi Islam dikembangkan untuk menjadi pembeda antara Teologi Barat dan Teologi Islam.
Jika berbicara tentang rasional, agama Islam lebih berpegang pada wahyu Allah Swt, yaitu Kalamullah (kalam Allah Swt yaitu Al-Qur’an) dan Sunnatunnabi (Hadits) yang dipegang sebagai sumber ilmu pengetahuan. Tetapi berbeda dengan Wasil bin Atha’. Ia adalah salah satu tokoh teolog Islam yang dikenal dengan pemikiran rasionalisnya yang lebih mengedepankan antara akal dan wahyu.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai pemikiran Wasil bin Atha’, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang siapakah sosok ini, apa saja karya-karya dan bagaimana pemikirannya dalam teologi.
Biografi Washil bin Atha’
Wasil bin Atha’ bernama lengkap Abu Huzaifah Wasil Ibn Atha’ Al Ghazzal, yang lahir di Madinah pada 80 Hijriyah. Beliau merupakan salah seorang tokoh besar aliran Mu’tazilah yang mendapat julukan “al Ghazzal” atau yang biasa diartikan dengan “penenun” karena beliau senang berkeliling di dalam kilang-kilang tenun. Washil bin Atha’ wafat pada tahun 131 Hijriyah di Bashrah.[1]
Sejak kecil beliau merupakan murid yang amat kritis dalam mengkaji Al Qur’an, Hadis Nabi, dan ilmu-ilmu lain. Beliau merupakan salah seorang murid dari Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Kemudian beliau berhijrah ke Mekah dan mengenal ajaran Syi’ah. Selanjutnya, beliau melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan Al Bashriy. Washil bin atha’ merupakan murid yang sangat cerdas dan berani. Ia tidak segan untuk berbeda pendapat, jika menurutnya pemikiran itu tidak sesuai dengan penglihatannya, sekalipun itu gurunya sendiri.
Beberapa karya tulis Washil bin Atha’ yang kemudian dijadikan sebuah kitab. Karya-karya tersebut ialah Ashnaf Al-Murji’ah, A-Taubah, Al-Manzilah baina al-Manzilatain, Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar-Ra’yu, Ma’ani Al-Qur’an, Al-Kitab fi at-Tauhid wa al-‘Adl, Ma Jara Bainahu wa Baina Amr Bin Ubaid, As-Sabil ila Ma’rifati al-Haqq, Fi ad-Dakwah, dan Thabaqat Ahl Al-‘Ilm wa wa al-Jahl.[2]
Pemikiran Teologis Washil bin Atha’
Terdapat tiga pemikiran teologis Wasil bin Atha, pertama yaitu peniadaan sifat Tuhan bahwa Tuhan berbeda dengan makhluknya. Kedua Takdir, dan ketiga Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain salah satu pemikiran yang digunakan dalam teologi Mu’tazilah.[3]
Munculnya aliran Mu’tazilah ini berawal dari adanya perbedaan pendapat tentang status kemukminan seseorang. Dalam bahasa Arab, “mu’tazilah” artinya (keadaan) memisahkan diri. Pada kasus ini, penyematan nama Mu’tazilah berasal dari kejadian ketika Washil bin Atha’ memisahkan diri dari golongan Hasan Al-Bahsri. Lambat laun, Washil bin Atha’ mengajarkan pemikirannya hingga menjadi aliran yang berpengaruh luas dan populer pada masa Dinasti Abbasiyah. Saking populer dan kuatnya pengaruh Mu’tazilah, ia menjadi mazhab dan aliran resmi negara pada masa pemerintahan 4 khalifah Abbasiyah, yakni Al-Makmun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H), dan berakhir pada masa Al-Mutawakil (234 H).
Teori Washil bin Atha’ soal Tuhan dan sifat sifat-Nya didasarkan atas postulat Al Qur’an, yakni diantaranya: surat al-Syura, 11: “laisa ka misli hi syaiun”, surat al-An’am, 103: “la tudriku hui al-absar wa hua yudriku al-absar wa hua al-latifu al-khabir” surat al-Baqarah: 163, “ila hu kum ilahun wahid”, surat al-Ikhlas, 4: “wa lam yakun la hu kufuan ahad”, surat al-Taubah, 31: “la ila ha illah huwa subhana hu ‘amma yusyrikun”, dan surat al-Ra’d ;16 :“am ja’alu lillahi syuiraka’ khallaqu ka khalqi hi watasyabaha al-khalqu ‘alai him”.[4] Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Washil ibn ‘Atha memberikan interpretasi rasional bahwa esensi Tuhan berbeda dengan makhluk. Pembeda Tuhan dan makhluknya adalah esensi antara keduanya. Esensi Tuhan bersifat immateri dan tidak tersusun dari subtansi, accidents, dan anasir lainnya, sedangkan makhluk tersusun dari hal tersebut.
Pemikiran Washil bin Atha’ tentang peniadaan sifat Tuhan adalah terdapat zat dan sifat yang merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Seandainya Tuhan diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada esensi-Nya yang qadim, maka sifat itu qadim, sehingga akan membawa kepada adanya dua Tuhan, atau “syirk”.[5] Oleh karena itu, sifat Tuhan tidak berwujud di luar esensi. Kesempurnaan Tuhan, bukan karena sifat-sifat-Nya, tetapi disebabkan esensi-Nya atau “hal” (keadaan esensi). Dia Maha Kuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah esensi-Nya.
Kedua teori Washil bin Atha’ soal takdir. Washil ibn ‘Atha memberikan interpretasi bahwa manusia mempunyai daya, kehendak, dan otoritas dalam menentukan perbuatannya.Tuhan memberi daya yang efektif kepada manusia agar dapat melaksanakan syari’at-Nya. Kalau manusia tidak mempunyai daya yang efektif, maka beban yang dipikulkan kepada manusia akan sia-sia, karena tidak dapat dilaksanakan. Segala sesuatu yang berwujud telah diketahui dan ditetapkan sesuai dengan natur masing-masing. Sunnah Allah yang “kasyafi” (tidak mengikat) itulah, demikian Harun Nasution, yang diartikan sebagai qada dan qadar.
Semua perbuatan manusia yang baik dan yang buruk diserahkan kepada manusia untuk melakukannya atau meninggalkannya secara merdeka, dan tidak turut campur di dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Namun, segala apa yang diperbuatmanusia dapat diketahui Tuhan sebelum terjadi. Tuhan Maha Bijaksana, Maha Adil, dan tidak bersifat aniaya terhadap makhluk-Nya.
Ketiga, teorinya tentang “manzilah baina almanzilatain”, Washil bin ‘Atha terlihat mengambil jalan sintesa antara pendapat yang mengatakan hukum pelaku dosa besar adalah kafir (Khawarij), dan pendapat yang mengatakan hokum pelaku dosa besar adalah mukmin (Murji’ah).Ia berpendapat bahwa hukum pelaku dosa besar adalah fasik[6].
Sebagai telah dijelaskan dalam corak teologi Washil bin ‘Atha, ia memandang iman sebagai bentuk amaliah, siapa yang beramaliah tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Tuhan, maka pelakunya berdosa dan tidak berprediket sebagai mukmin. Pelaku dosa yang beriman, bagi Washil ibn ‘Atha, bukan kafir, karena orang kafir tidak beriman, tetapi ia disebut fasik. Hal yang dapat dipahami, orang fasik memang telah keluar dari iman, tetapi dia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, dan amal kebajikannya masih ada. Orang yang demikian, apabila meninggal dunia tanpa tobat kekal di dalam neraka, namun siksanya lebih ringan dari orang kafir. Sebab, di akhirat hanya ada surge dan neraka. Jadi, hukum pelaku dosa adalah bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi fasik. Teori “manzilah baina al-manzilatain” ini didasarkan atas surat dalam Al Qur’an yakni surat al-Nur: 4 dan surat al-Nisa’: 93.
Demikian beberapa pemikiran dari Washil bin Atha’. Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha banyak mengalami tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dari kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran yang bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh masyarakat awam sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw. dan para sahabatnya. Namun, berkat semangat juangnya, menjadikan pemikiran yang ditentang itu mendapatkan pengakuan dari Penguasa Abasiyah dan dijadikan madzab resmi negara sehingga kita masih bisa mengenal beberapa pemikirannya hingga saat ini.
REFERENSI
Mawardi, Udi Mufradi. 2017. Teologi Washil Bin Atha’. Banten:SMH.
Mawardi, Udi Mufradi. 2010. Metodologi Teolog Islam Abad VIII-X M. Serang: FUD Press.
Nasution, Harun, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Jembatan, 1992.
Mawardi, Udi Mufradi. Teologi Dakwah, Paradigma Teolog Islam Abad VIII M.-X M. Dalam Berdakwah. Serang: FUD Press 2016.
[1] Udi Mufradi Mawadi, Metodologi Para Teolog Islam abad VIII-X, (Serang : FUD Press, 2010), hal. 73
[2] Ibid, hal. 75
[3] Udi Mufradi Mawadi, Teologi Washil ibn Atha’, (Serang : SMH Banten, 2017), hal. 66
[4] Ibid, hal. 67
[5] Udi Mufradi Mawardi, Metodologi Para Teolog Islam, op. cit., hal. 142
[6] Ibid, hal. 150