Maktabah (Perpustakaan) Nabi di Masjid Nabawi (I)

MAKTABAH (PERPUSTAKAAN) NABI DI MASJID NABAWI (I)
Gambar: Republika

Oleh: Maria Fauzi, Alumni al Azhar University, Kairo dan Deutch Course, HVS, Berlin. Founder Neswa.Id

Setiap kali bertugas di Masjid Nabawi, sudut demi sudut saya perhatikan dengan seksama. Kebetulan saya bertugas di Sektor Khusus Masjid Nabawi, jadi punya waktu sebulan mencermati setiap detail masjid tertua kedua setelah Masjid Quba ini.

Ada perasaan haru, terlebih ketika jaga malam, di saat masjid ini lengang dan sepi. Saya dengan leluasa dapat menikmati setiap titik dan sudut masjid, merasakan dengan penuh cinta bagaimana masjid ini menjadi saksi sejarah yang begitu paripurna akan sebuah peradaban besar di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad hingga hari ini.

Dari ragam menara dengan arsitektur Mamluk dan Usmani, Qubbatul al-Akhdhar, Maktabah yang dibangun abad 14 M, makam para sahabat, hingga ruangan-ruangan bersejarah lainnya dari yang berbentuk sederhana hingga menjadi masjid gigantis nan modern yang mampu menampung hingga satu juta jamaah ini.

Renovasi demi renovasi dilakukan lintas kekhalifahan, dari masa Umayyah di bawah kekhalifahan Walid I (705-715 M), dilanjutkan oleh dinasti Abbasiyah di bawah kesultanan Al Mahdi (775-785 M), diteruskan oleh kesultanan Mamluk di bawah Al Manshur Qolawun (1279 M) hingga oleh kekhalifahan Turki Usmani di bawah Sultan Abdul Majid (1839-1861 M). Terakhir renovasi besar-besaran dilakukan oleh Shah Saud bin Abdul Aziz tahun 1973 M.

Sudut-sudut ruangan punya ceritanya sendiri. Cerita tentang misi dakwah, ummah, komunitas, spiritual, kekuasaan, seni, aeschetic, dll. Masjid Nabawi menjadi prototype masjid pertama dalam sejarah Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun menjadi pusat peradaban dan Madinah sebagai ibu kota administrasi pemerintahan Islam pertama hingga tahun 661 M.

Baca Juga  Hadramaut dengan Khas Fikih Ibnu Hajar-nya

Yang tak luput dari pengamatan saya adalah perihal perpustakaan Masjid Nabawi yang dibangun sejak tahun 1481 M. Perpustakaan ini mengalami kebakaran hebat dan dibangun kembali oleh pemerintah Saudi tahun 1933 M di lokasi yang sama, yaitu di Pintu Imam Bukhari.

Perpustakaan ini menyimpan banyak sekali koleksi, tercatat juga menyimpan kitab-kitab Imam Malik dan ratusan lebih kitab klasik hingga modern. Koleksi perpustakaan ini juga menyimpan hadiah-hadiah kitab dari para pemimpin dunia lintas zaman dan kekuasaan. Tradisi pemberian hadiah antar kerajaan merupakan hal yang wajib ada sebagai perekat hubungan diplomatik antar kesultanan dalam sejarah Islam.

Saya penasaran tentang perpustakaan ini, tidak hanya karena buku-bukunya, namun juga tersedia satu ruangan khusus pameran Makhtutath yang berisi tentang replika Mushaf Usmani, Manuskrip Sirah Nabawi dan beberapa pameran manuskrip lainnya.

Sayangnya perpustakaan utama tidak diperuntukkan untuk perempuan. Perpustakaan perempuan ada di dalam tempat sholat perempuan, pintu 25. Ada empat lantai, di lantai dasar berisi bukuĀ² keislaman umum bahkan ada beberapa buku berbahasa Melayu. Lantai satu, berisi kitab-kitab Hadist, lantai dua Fikih dan Ushul Fiqh, lantai tiga dan empat Tafsir dan Sejarah Islam.

Koleksi perpustakaan perempuan tak begitu melimpah, sebagaimana ruang utama yang diperuntukkan untuk laki-laki. Ruangannya pun sempit, dengan pengunjung yang hanya bisa dihitung jari. Ketika saya masuk, hanya ada 2 pengunjung di total empat lantai. Entah karena tidak banyak yang tau, akses ke atas yang manual, atau memang minat untuk membaca dan masuk perpustakaan minim.

Karena saya satu-satunya pengunjung dari warga negara asing, saya dapat hadiah beberapa koleksi perpustakaan berbentuk file. Lumayan. Bahkan juga beberapa koleksi qiraat dari Eman, salah satu penjaga perpustakaan perempuan yang saya temui sore menjelang Magrib itu.

Baca Juga  Hadramaut dengan Khas Fikih Ibnu Hajar-nya

Pengunjung perempuan di masjid Nabawi lebih banyak berkegiatan di dalam masjid untuk shalat dan baca Al-Qur’an. Tak banyak yang berkunjung ke Maktabah. Meskipun juga disediakan Maktabah untuk anak di samping maktabah perempuan. Namun lagi-lagi, tak banyak yang datang. Padahal keluar pintu maktabah, sof sof sholat perempuan sudah penuh meskipun waktu Sholat masih satu setengah jam lagi.

Apa karena akses tidak begitu mudah, minim informasi, koleksi bukunya sedikit, atau memang membaca kitab tak dianggap sebagai ibadah, layaknya shalat dan mengaji? Entahlah…

Wallahu a’lam

*Bersambung

Madinah, Nabawi Mosque
1 Muharram 1446