Dawuh Gus Baha’ tentang Keberkahan dalam Rezeki

sumber : dawuhguru
“Ada orang yang nekuni ilmu ekonomi, tapi miskinnya masyaAllah. Ada yang gobloknya masyaAllah tapi kaya. Itu agar manusia tau yang mengendalikan rezeki itu Allah bukan ilmunya dia.”
KH. Ahmad Bahauddin Nursalim
“Ada orang yang nekuni ilmu ekonomi, tapi miskinnya masyaAllah. Ada yang gobloknya masyaAllah tapi kaya. Itu agar manusia tau yang mengendalikan rezeki itu Allah bukan ilmunya dia.” Kutipan ini mengingatkan kita bahwa rezeki, dalam bentuk kekayaan atau kemiskinan, pada akhirnya berada di bawah kendali Allah SWT, bukan semata-mata hasil dari upaya atau pengetahuan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat contoh nyata dari kutipan ini, di mana orang-orang yang memiliki pengetahuan luas dan keterampilan tinggi dalam bidang ekonomi tetap hidup dalam kesederhanaan, sementara yang lain, dengan pengetahuan yang terbatas, hidup dalam kelimpahan.

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang sangat dihargai karena menawarkan berbagai teori dan metode untuk mengelola sumber daya, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan kekayaan. Namun, seberapa pun dalamnya pemahaman seseorang tentang ilmu ekonomi, hal itu tidak selalu menjamin kekayaan atau kesuksesan finansial. Rezeki bukan hanya soal ilmu, strategi, atau kerja keras semata, tetapi juga tentang berkah dan takdir yang ditentukan oleh Allah SWT.

Buya Hamka, seorang ulama besar dan intelektual Indonesia, sering berbicara tentang konsep rezeki dalam perspektif Islam. Beliau mengatakan, “Rezeki itu bukan hanya soal harta yang melimpah, tetapi juga ketenangan hati, kesehatan, keluarga yang harmonis, dan keberkahan dalam segala hal.” Pandangan ini mengingatkan kita bahwa rezeki adalah konsep yang luas dan tidak terbatas hanya pada materi. Keberkahan dalam rezeki adalah sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Allah SWT, dan itu tidak selalu berkaitan langsung dengan pengetahuan atau usaha manusia.

Rezeki dalam Islam dipandang sebagai sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Setiap orang memiliki bagiannya masing-masing, dan tidak ada satu pun yang bisa mengubah takdir rezeki yang telah ditetapkan kecuali dengan kehendak-Nya. Ini bukan berarti kita tidak perlu berusaha, tetapi usaha kita harus disertai dengan keyakinan bahwa hasil akhir berada di tangan Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (QS. Hud: 6). Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki utama bagi seluruh makhluk-Nya.

Melihat kenyataan sehari-hari, kita sering kali menemukan orang-orang yang bekerja keras dan memiliki pengetahuan luas namun hidup dalam keterbatasan. Sebaliknya, ada pula yang terlihat kurang berusaha atau kurang berpendidikan namun hidup dalam kelimpahan. Fenomena ini mengingatkan kita akan ketergantungan mutlak kita kepada Allah SWT dalam hal rezeki. Ini adalah pengingat bahwa manusia tidak boleh sombong dengan ilmu atau usahanya, karena tanpa berkah dari Allah, semua usaha itu bisa saja sia-sia.

Buya Hamka juga mengajarkan tentang pentingnya sikap tawakal dan syukur dalam menerima rezeki. Tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha yang maksimal. Ini mencerminkan kepercayaan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Syukur, di sisi lain, adalah rasa terima kasih atas segala rezeki yang diberikan, baik itu banyak maupun sedikit. Dengan bersyukur, kita mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah dari Allah, dan dengan demikian, kita menjaga keberkahan dalam rezeki kita.

Menariknya, konsep rezeki yang dikendalikan oleh Allah juga mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan. Allah memberikan rezeki kepada setiap orang dengan takaran yang berbeda-beda, yang mungkin tidak selalu bisa kita pahami. Namun, dalam kebijaksanaan-Nya, ada alasan di balik setiap pemberian. Kadang-kadang, kekayaan yang berlimpah bisa menjadi ujian bagi seseorang, sementara kemiskinan bisa menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat iman.

Dalam konteks sosial, pemahaman bahwa rezeki dikendalikan oleh Allah dapat mengurangi kecemburuan dan iri hati antar sesama. Ketika kita menyadari bahwa rezeki adalah takdir Ilahi, kita akan lebih fokus pada upaya kita sendiri dan lebih bersyukur dengan apa yang kita miliki. Ini juga bisa meningkatkan solidaritas sosial, karena kita lebih memahami bahwa setiap orang menjalani ujiannya masing-masing sesuai dengan ketentuan Allah.

Kita juga harus mengingat bahwa ilmu dan usaha tidak boleh diabaikan. Allah memerintahkan kita untuk berusaha dan mencari rezeki yang halal. Ilmu ekonomi dan usaha keras tetap penting karena merupakan bagian dari sunnatullah, atau hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun, keberhasilan dan kekayaan tidak semata-mata ditentukan oleh usaha manusia, tetapi juga oleh kehendak Allah yang memberikan keberkahan dan rezeki.

Buya Hamka sering mengingatkan bahwa dalam mencari rezeki, kejujuran dan keikhlasan harus menjadi landasan. Beliau berkata, “Mencari rezeki itu bukan hanya tentang bekerja keras, tetapi juga tentang menjaga kejujuran dan integritas.” Rezeki yang diperoleh dengan cara yang halal dan jujur akan membawa keberkahan, sedangkan rezeki yang diperoleh dengan cara yang tidak halal akan membawa kesulitan dan ketidakberkahan dalam hidup.

Pada akhirnya, pemahaman bahwa rezeki dikendalikan oleh Allah mengajarkan kita untuk lebih dekat kepada-Nya, lebih berserah diri, dan lebih bersyukur. Ini membawa kita kepada pemahaman yang lebih dalam tentang makna kehidupan dan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Rezeki bukan hanya soal materi, tetapi juga soal keberkahan, ketenangan hati, dan kedamaian hidup yang hanya bisa diberikan oleh Allah.

Kutipan “Ada orang yang nekuni ilmu ekonomi, tapi miskinnya masyaAllah. Ada yang gobloknya masyaAllah tapi kaya. Itu agar manusia tau yang mengendalikan rezeki itu Allah bukan ilmunya dia” memberikan pelajaran penting tentang ketergantungan kita kepada Allah dalam hal rezeki. Ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah dari Allah, dan kita harus selalu bersyukur, berserah diri, dan berusaha dengan cara yang benar.

Mengakhiri narasi ini, mari kita renungkan kembali ajaran Buya Hamka tentang kebahagiaan sejati yang tidak terletak pada kekayaan materi tetapi pada keberkahan dan ketenangan hati. Dengan memahami bahwa rezeki adalah takdir Ilahi, kita dapat menjalani hidup dengan lebih damai, rendah hati, dan penuh rasa syukur. Kita akan lebih mampu menerima apa yang kita miliki dengan ikhlas, berusaha dengan sungguh-sungguh, dan selalu berserah diri kepada Allah yang Maha Memberi Rezeki.

Rekomendasi