Kiai Thaifur, siapa yang tak mengenal Kiai kondang dari Sumenep ini? nama lengkapnya Thaifur bin Ali Wafa bin Muharror, beliau hidup dan berkembang dalam lingkungan pesantren, beliau lahir pada malam selasa 20 Sya’ban 1384 H. di lingkungan Pesantren al-Aswaj (Pondok Pesantren Ahlu Al-Sunnah wa al-Jama’ah), Dusun Somor (Sumur) Desa Ambunten Timur Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep Jawa Timur Madura. Dari tradisi kepesantrenan ini serta pergumulannya dengan masyarakat luas mengantarkan kiai Thaifur menjadi pembela ideologi pesantren dalam kontek membumikan spirit tasawuf sunni model imam al-Ghazali yang dianut mayoritas komonitas pesantren atau muslim tradisional di Madura.
Kiai Thaifur terlahir dari keturunan darah biru, yaitu kiai Ali Wafa bin Muharror (selanjutnya akan disebut kiai Ali Wafa) yang mana menurut penelitian Martin beliau tercatat sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah di Madura. Kiai Thaifur dari jalur ayahnya adalah bernasab kepada salah satu syekh yang berkebangsaan hadramaut yaman, kiai Ali Wafa lahir pada malam Jumat 11 Rabi’ul awwal Tahu 1316 H. bertepatan dengan 21 Juli 1898 M adalah salah satu putra orang perpengaruh pada abad ke 10 H. yaitu Syeh Abdul Kuddus yang akrap disebutan Jinhar. Beliau (Abdul Kuddus) berasal dari hadramaut yaman dan bertempat tinggal di desa Sarigadin Ambunten Sumenep Madura.
Sementara itu dari jalur ibu, kiai Thaifur adalah putra nyai Muthmainnah. Nyai Muthmainnah putri dari dzil Hija dan nasabnya bersambung dengan pangeran katandur sumenep. Nyai Muthmainnah Wafat pada hari Ahad tanggal 1 Dzul Hijjah 1434 H. bertepatan dengan tanggal 6 Oktober 2013 M di desa Ambunten.
Bila ditilik dari kehidupannya, Kiai Ali Wafa sebagai pengasuh pondok pesantren al-Aswaj yang dikenal dengan memiliki laku tasawuf yaitu selalu khumul dan selalu menampakkan kehidupan yang sangat sederhana dalam kesehariannya, didukung kuat dengan posisi beliau sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah. Kiai Ali Wafa selelu berdo’a supaya putranya menjadi seorang yang ahli ibadah dan berbudi pekerti yang baik, dan beliau selalu memintakan do’a kepada tamu, orang-orang shaleh dan para pengikut tarekatnya serta orang-orang yang akan mengikuti tarekatnya agar dido’akan supaya putranya menjadi orang yang ahli ibadah dan berbudi pekerti yang baik.
Posisi kiai Thaifur sebagi putra tunggal kiai Ali Wafa dari istri yang kedua yaitu nyai Muthmainnah memiliki tanggung jawab dan peran penting dalam rangka melanjutkan kiprah dan perjuangan orang tuanya sebagai peneguh dan penyebar Islam, khususnya Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, agar Islam semakin kuat di lingkungan masyarakat Ambunten khususnya dan secara umum umat Islam di seluruh Nusantara melalui ilmu-ilmu keislamannya. Kiai Ali Wafa meminpin pondok pesantren dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para santrinya serta kepada para pengikut tarekatnya dengan penuh khidat, semangat dan ikhlas hingga ajal menjemputnya pada hari kamis 30 Sya’ban 1386 H bertepatan dengan tanggal 26 Agustu 1976 M. Itulah sekilas gambaran nasab kiai Thaifur yang dapat disimpulkan bahwa kehidupannya tidak jauh dari tradisi kepesantrenan dan tindak laku tasawuf.
Dalam kontek pergumulan intelektual pesantren, termasuk intelektual muslim nusantara, ketenaran nama kiai Thaifur semakin hari semakin Nampak dan sangat dirasakan, salah satunya disebabkan oleh keproduktifitasnya dalam dunia tulis-menulis dan pergumulan beliau dalam dunia tarekat serta berbagai karya telah ditorehkan dalam berbagai disipilin ilmu pengetahuan. Sekalipun kiai Thaifur hidup dalam lingkungan pesantren yang sedikit jauh dari hiruk pikuk keramaian kehidupan kota, yaitu lingkungan pondok pesantren assadad, ternyata karya-karyanya yang ditorehkan mampu melampaui lingkungan komonitas pesantren di Madura. Karya-karya itu sekaligus menjadi tanda nyata dari posisi intelektual kiai Thaifur dalam lingkup pergumulan pemikiran muslim Nusantara, khususnya intelektual muslim Madura.
Oleh karenanya, karya-karya kiai Thaifur setidaknya menggambarkan ideologi komonitas pesantren, sekaligus potret Islam Madura. Pergumulan intelektual kiai Thaifur diproses dari satu pesantren ke pesantren lain diakuiatau tidak cukup perpengaruh dalam pikiran-pikirannya, yaitu dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam ahlus sunnah wal jama’ah sebagai ortodoksi dalam kehidupan muslim.
Naluri pengetahuannya yang luas memungkinkan kiai Thaifur melalui karya-karyanya tidak hanya merespon kondisi lokal dan nasional, tetapi juga menyikapi situasi terkini yang dihadapi umat Islam di belahan dunia saat ini, khususnya menyikapi kontestasi idiologi antara umat islam sebagaimana yang tergambar dalam karya-karyanya.