K.H. Idris Jamsari merupakan penerus kepengasuhan Pondok Pesantren tertua di Solo yakni Pondok Jamsaren yang didirikan pada tahun 1750 pada masa Paku Buwono IV. Pengasuh pertama adalah Kyai Jamsari dari Banyumas, setelah beliau wafat kepengurusan Pondok digantikan oleh putranya Kyai Jamsari II. Karena banyak Kiai yang diburu dan ditangkap oleh Belanda maka Kiai Jamsari II melarikan diri, ada yang mengatakan beliau melarikan diri Kediri tepatnya di desa Jamaren Kecamatan Pesantren.
Kemudian Pesantren Jamaren mengalami kekosongan sekitar 50 tahun lamanya. Disaat seperti itu munculah K.H. Idris yang berasal dari Klaten menghidupkan kembali situasi Pondok tepatnya pada tahun 1878. Pada masa K.H Idris Pesantren Jamaren mengalami perkembangan yang sangat pesat.
K.H Idris merupakan cucu Ulama besar dari Klaten yaitu Kyai Imam Rozi pendiri pesantren Singo Manjat dari desa Tempursari, Ngawen, Klaten. Kiai Imam Razi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Wirononggo II bin Kiai Wirononggo I bin Kiai Singo Hadiwijoyo bin Kiai Tosari bin Kiai Ya’kub bin Kiai Ageng Kenongo. Ia lahir pada tahun 1801 M. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Kiai Maryani, kemudian berguru kepada Kiai Rifai, yang sekarang makamnya ada di Gathak Rejo, Drono Klaten. Ia juga berguru kepada Kiai Abdul Jalil Kalioso bersama Kiai Mojo, Penasihat Pangeran Diponegoro.
Kiai Imam Rozi adalah sahabat karib dari Kiai Jamsari II. Beliau wafat pada tahun 1872 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan di Tempursari. Pengelolaan Pondok Pesantren Singo Manjat diteruskan oleh menantunya, yang merupakan ayah dari K.H Idris yakni Kiai Zaid.
K.H Idris Jamaren merupakan seorang mursyid Thariqoh Syadziliyah. Thariqoh Syadziliyah sendiri muncul di Pulau Jawa baru pada abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya belajar di Makkah dan Madinah kembali pulang ke tanah air. K.H Idris Jamaren termasuk generasi awal pembawa Thariqoh Syadziliyah di tanah Jawa bersama Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram Al-Banyumasi ulama Haramain yang berasal dari Banyumas. Mereka berdua mendapatkan ijazah kemursyidanya didapatkan dari Syekh Shalih seorang mufti Madzab Hanafi di Mekah.
K.H Idris Jamaren menurunkan ijazah kemursyidanya kepada keponakanya sendiri dan juga pengasuh pesantren Singo Manjat generasi keempat yaitu K.H.R Abdul Mu’id Tempursari. Kemudian K.H Mu’id memberi ijazah pada K.H.R Ma’ruf Mangunwiyoto yang bermukim di Kampung Jenengan Solo dan K.H Idris Kacangan Boyolali. Sedangkan teman seperguruan K.H. Idris, Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram Al-Banyumasi memberikan ijazah kemursyidanya kepada K.H. Muhammad Dalhar, Watucongol, dan Kiai Siroj, Payaman, Magelang, K.H. Ahmad, Ngadirejo, Klaten, Kiai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal dan Kiai Abdurrahman, Sumolangu, Kebumen.
Selain belajar Thoriqot pada pada Syekh Shalih seorang mufti Madzab Hanafi di Mekah, beliau juga pernah berguru kepada K.H. Shaleh Darat, seorang ulama yang ahli tafir yang belajar ke Mekah pada Syeikh Ahmad Zaini Dakhlan, ulama besar ahli fikih dan mufti madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram serta penulis banyak kitab fikih. Syeikh Muhammad al-Muqri , Syeih Muhammad Sulaiman Hasbullah, Syeikh Shalih az-Zawawi (mursyid Tarekat Naqsabandiyah) , Syeikh Ahmad Nawawi, Syeikh Zahid, Syeikh Umar asy-Syani, Syeikh Yusuf Masri dan Syeikh Jamal, mufti madzhab Hanafi di Mekah
Dari keterangan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya K.H. Idris Jamaren merupakan keturunan ulama besar serta berguru pada ulama-ulama besar pula, maka tidak mengherankan apabila banyak para santri yang berdatangan untuk nyantri pada beliau dan kebanyakan santrinya menjadi ulama-ulama besar.