Oleh: Aguk Irawan MN

Zohran Kwame Mamdani, anak muda kelahiran Uganda, 18 Oktober 1991, kini berdiri gagah sebagai Walikota New York pertama yang beragama Islam. Ia terpilih secara mayoritas pada 5 November 2025.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Keluarga Mamdani berasal dari Uganda–India. Mereka berimigrasi ke Afrika Selatan ketika Zohran berusia lima tahun, lalu pindah ke Amerika Serikat pada usia tujuh tahun dan menetap di New York City—kota yang kelak menjadi medan juangnya.

New York memang tak pernah benar-benar tidur. Di antara lorong-lorong sempit dan jendela apartemen yang menatap jalanan dengan kelelahan kota besar, tumbuhlah seorang anak laki-laki dengan nama yang tak biasa: Zohran Kwame Mamdani. Nama itu seolah gema dari berbagai dunia—Afrika, Asia Selatan, Islam, kolonialisme, dan revolusi—berkumpul dalam tubuh kecil yang sedang belajar memahami tempatnya di dunia yang rumit ini.

Sejak 2021, ia sudah menjabat sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York dari distrik ke-36 di wilayah Queens. Jabatan itu bukan sekadar kemenangan elektoral, melainkan simbol harapan bagi jutaan warga New York yang selama ini merasa tak terwakili.

Mamdani tidak tumbuh untuk sekadar menjadi penerus nama besar orang tuanya. Ia tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial:
Apa artinya menjadi seorang Muslim di dunia pasca-9/11?
Apa artinya menjadi anak dari dunia ketiga di negeri adikuasa?
Apa artinya tumbuh di Amerika, namun tetap membawa suara Afrika dan India dalam darahnya?

Kisah hidup Mamdani bukanlah dongeng kepahlawanan yang manis. Ia penuh tantangan, kekecewaan, kebingungan, dan kemarahan. Ia menyaksikan bagaimana sistem membuat orang kehilangan rumah, bagaimana hukum bisa menjadi alat kekerasan, dan bagaimana orang-orang seperti dirinya—kulit berwarna, Muslim, anak imigran—selalu harus membuktikan nilai mereka dua kali lipat.

Namun dari luka itu, lahirlah kesadaran. Dari rasa tak berdaya itu, tumbuhlah keberanian.

Sebelum dikenal sebagai politisi, Zohran Mamdani adalah seorang organizer. Ia berjalan dari pintu ke pintu, bukan untuk kampanye pribadi, melainkan memperjuangkan hak orang lain—hak untuk tetap tinggal di rumah mereka, untuk mendapatkan transportasi publik yang layak, dan untuk hidup dengan harga sewa yang manusiawi.

Ia pernah menjadi penasihat bagi kasus penyitaan rumah secara sewenang-wenang, menghadapi kenyataan pahit bahwa hukum properti sering kali lebih dihormati daripada kehidupan manusia. Di sela-sela aktivitas itu, ia juga seorang rapper, menyalurkan keresahannya lewat lirik dan beat, menjadi suara jalanan yang sering tak terdengar di koridor kekuasaan.

Dengan latar belakangnya sebagai anak imigran Uganda dan India, Mamdani memahami arti penting keadilan sosial dan kesetaraan. Ia membawa suara-suara yang lama dibungkam ke dalam gelanggang politik New York.

Dukungan kuat dari tokoh progresif seperti Senator Bernie Sanders dan Representative Alexandria Ocasio-Cortez menunjukkan bahwa Mamdani adalah bagian dari gelombang baru politik progresif Amerika.

Namun, perjuangan Mamdani tak berhenti di isu-isu lokal. Ia juga lantang menyuarakan ketidakadilan global, termasuk penderitaan rakyat Gaza. Dalam beberapa pidatonya, ia dengan tegas mengkritik kebijakan Israel yang menurutnya melanggar hak asasi manusia. Dukungan Mamdani terhadap gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) menegaskan komitmennya terhadap keadilan universal.

Mamdani paham bahwa keadilan sosial dan ekonomi tak bisa dipisahkan dari isu-isu global. Dalam kampanyenya, ia mengusulkan berbagai solusi inovatif untuk mengatasi krisis perumahan, meningkatkan akses kesehatan, dan mengurangi kesenjangan ekonomi.

Seperti kata Ralph Waldo Emerson,

“To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.”

Mamdani telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang berani menjadi dirinya sendiri—tanpa takut menyuarakan keyakinan dan keadilan.

Kemenangan Mamdani bukanlah kemenangan pribadi semata. Ia menjadi simbol harapan bagi semua orang yang percaya pada keadilan dan kesetaraan. Ia membuktikan bahwa dengan kerja keras, tekad, dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, perubahan dunia bukanlah utopia.

Dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities, Jane Jacobs menulis pentingnya komunitas dan perencanaan kota yang hidup. Mamdani tampaknya memahami prinsip itu dengan baik—ia ingin menjadikan New York City sebagai kota yang lebih manusiawi dan inklusif.

Dengan demikian, Zohran Mamdani bukan sekadar Walikota baru, tetapi simbol zaman baru, di mana politik kembali pada hakikatnya: memperjuangkan manusia.

Wallahu a‘lam bish-shawab.