Oleh: Ali Adhim
Ada pepatah dari Sunan Kalijaga yang kerap dikutip, tapi jarang benar-benar diresapi:
“Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake.” Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan.
Sebuah kalimat yang diucapkan dari zaman ketika perang bukan hanya soal senjata, melainkan juga soal jiwa. Sebuah kebijaksanaan yang barangkali semakin kehilangan gema di era kini, era di mana “perang” justru berpindah ke layar-layar kecil, di tangan-tangan yang gemetar oleh amarah dan pembenaran.
Kini, kita melihat bagaimana pertengkaran di media sosial tumbuh seperti jamur di musim lembab. Di sana, “medan perang” bukan lagi padang Kurusetra, melainkan kolom komentar.
Para buzzer, penggemar, dan pengikut menjadi semacam bala tentara digital yang tak perlu dikumpulkan, sebab mereka sudah siap berperang setiap kali sebuah nama dianggap menyinggung “kebenaran” mereka.
Ada seorang Gus, seorang dai muda, mungkin bukan dari trah yang mapan berbicara di ruang publik. Kata-katanya dianggap terlalu berani, kurang “kode etik dakwah”, atau tidak sesuai dengan tafsir yang dianggap benar oleh sebagian. Maka datanglah “pasukan kebenaran”, menyerang, memotong cuplikan, menuduhnya sesat, bahkan kadang menertawakannya.
Ironisnya, semua itu dilakukan atas nama agama yang mengajarkan adab.
Sunan Kalijaga, bila ia masih hidup di antara kita, mungkin akan tersenyum getir melihat betapa jauh kita melenceng dari makna yang dulu ia ajarkan. Ngluruk tanpo bolo, artinya keberanian untuk menyampaikan kebenaran tanpa mengandalkan massa, tanpa memanggil pasukan. Sebab kebenaran, bagi seorang yang berjiwa jernih, tidak perlu diorganisir.
Namun di media sosial hari ini, kebenaran seolah baru dianggap sah bila mendapat “like” ribuan dan pasukan komentar yang riuh. Kita merasa baru menang kalau lawan sudah jatuh, reputasinya hancur, suaranya tenggelam bahkan followernya habis.
Padahal Sunan Kalijaga melanjutkan dengan: menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan).
Dalam bahasa yang lebih lembut, itu adalah cara orang yang sudah berdamai dengan egonya sendiri. Ia tahu, musuh sejatinya bukan orang lain, melainkan dirinya yang ingin diakui, ingin dipuji, ingin dianggap paling benar.
Di sinilah letak jarak antara hikmah dan kebisingan. Hikmah mengajak orang untuk merenung. Kebisingan mengundang orang untuk bertarung.
Fenomena buzzer hari ini, baik yang berlabel politik, agama, atau ideologi, menunjukkan betapa kita mudah terjebak pada semangat ngluruk nganggo bolo: menyerbu dengan pasukan, membentuk barisan untuk menyerang. Kita tak lagi mengoreksi dengan cinta, tapi menegur dengan ejekan.
Kita lupa bahwa meruntuhkan bukanlah bukti kemenangan, sebagaimana menundukkan bukanlah tanda kekuatan.
Mungkin inilah yang ingin dikatakan Sunan Kalijaga: bahwa kemenangan sejati bukanlah ketika lawan kalah, melainkan ketika amarah kita tak lagi perlu menang. Bahwa dalam setiap perdebatan, yang diuji bukanlah kepintaran, tapi kelapangan dada.
Dan barangkali di titik inilah kita perlu kembali mengingat firman Tuhan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.”
(Surat An-Nahl, Ayat 125)
Ayat tadi boleh jadi bukan sekadar pedoman dakwah, tetapi juga panggilan untuk menata kembali cara kita menegur dan berbicara. Menjaga kejernihan ruang maya dan merawat kerukunan.
Bahwa menyampaikan kebenaran tak berarti harus memukul, menegur tak harus membuat luka. Dan untuk ikut viral tak harus turut memviralkan kejelekan yang lain.
Ingat. Bukan kita, yang benar-benar tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk.
Wallahu A’lam…

