Oleh: Abdul Majid Ramdhani
Kadar besarnya gurumu di hatimu maka demikian pula kadar besarnya dirimu di sisi Allah tanpa ragu (Manhajus Sawi: Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith Sumaith Ba’lawi al Husaini).
Pondok pesantren mempunyai peran yang besar dalam mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan agama dan sebuah lembaga pendidikan yang keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka. Para santri yang memiliki berbagai macam potensi tersebut harus selalu siap untuk diaktualisasikan dalam kehidupan. Kehidupan pesantren sekarang terus berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang progresif menghadapi ragam perkembangan era globalisasi yang akan tetap survive dengan landasan keislaman, kemajuan modernisasi.
Pondok pesantren memiliki andil yang sangat besar dalam perjalanan sejarah perjuangan hingga mencetak dan mencerdaskan sumber daya bangsa dan negara. Kedudukan pesantren sejak dulu tidak hanya sekedar sebagai lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan (pendidikan keagamaan), namun juga sebagai lembaga sosial kemasyarakatan (local community organization) yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mengemban amanat sebagai perekat umat.
Terlebih dengan jumlah pesantren di Indonesia, pada umumnya dan khusus untuk wilayah Banten. Provinsi Banten dengan jumlah pesantren yang menurut data statistik yang dirilis oleh Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan, bahwa Provinsi Banten dengan 6.423 pesantren.
Jumlah pesantren yang sangat banyak menjadi kekuatan besar penentu masa depan bangsa, penentu lompatan kemajuan bangsa, dan penentu keberhasilan mencapai cita-cita.
Untuk diketahui dari sekian banyaknya jumlah pesantren di wilayah Banten, ada satu tempat yang sangat menarik penulis, suatu kampung bernama Caringin, di kecamatan Labuan, Pandeglang Provinsi Banten. Sampailah penulis di tujuan, tepatnya di Pesantren Al-Qur’an Syihabuddin Bin Ma’mun, yang pada hari itu bertepatan dengan perhelatan “Haul Akbar Sayyidi Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, Mama Kiai Agung Caringin Syaikh Muhammad Asnawi dan KH Tubagus A. Idrisi Syihabuddin bertema Di ajar ngaKhidmah Salamina pada Kamis, Malam Jumat, 26 Oktober 2023 di Pesantren Al-Quran Syihabuddin Bin Ma’mun Caringin Labuan Pandeglang.
Membaca Al-Quran dengan berbagai ragam lagu mulai berkembang dalam bentuk tilawah Al-Quran, dimana hadir para ulama dan ahli qurra yang membawakan seni tilawah dengan berbagai lagu yang mereka kuasai, salah satu pusat untuk mendalami ilmu Al-Quran ialah di Pesantren Al-Quran Syihabuddin Bin Ma’mun Labuan Pandeglang ini yang telah memiliki banyak lulusan santri dari berbagai wilayah dan bukan hanya yang berasal dari wilayah Banten saja. Letak pesantren ini berseberangan dengan lokasi makam ulama besar Syekh Asnawi Caringin Banten.
KH Tubagus A. Syihabuddin ‘mendirikan’ pondok pesantren Al-Quran ini dimana belum ada lembaga yang khusus untuk mempelajari ilmu Al-Quran. Selain itu minat masyarakat yang ingin belajar cukup tinggi. Atas dasar itu KH. Tubagus A. Syihabuddin mendirikan pondok pesantren Al-Quran yang amat sederhana, namun santrinya cukup banyak, selain dari masyarakat sekitar
Hari itu, penulis disambut hangat penuh keramahan oleh salah satu putra dari Almaghfurlah Kiai Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin (Babah Memed), yang sekaligus merupakan cicit/dzuriyat Syeikh Asnawi Caringin, Kiai Tubagus Hasan Aang.
Kampung Caringin namanya, perkampungan asri dengan keindahan hamparan birunya laut yang tentu mempesona sesiapa saja termasuk penulis, indah sekaligus adem-ayem suasana pesantren yang dipenuhi asrama kobong santri.
Syaikh Asnawi Caringin sendiri memiliki nama KH Tubagus Muhammad Asnawi merupakan seorang ulama karismatik di tanah Banten. Ketersambungan sanad keilmuan khususnya bagi para santri di pesantren sudah tentu harus menemukan kejelasan lajur-nya sebuah ilmu. Sanad merupakan hal yang vital dalam transmisi ilmu di pesantren.
Tak hanya dikenal sebagai ulama, penguasaan ilmu beladiri (jawara) dan kegigihannya beliau dalam menentang penjajahan Belanda di masa itu, Kiai Asnawi kesohor dan dikenal sebagai pendekar yang memantik semangat perjuangan pada masa penjajahan.
Beliau lahir di kampung Caringin Banten pada tahun 1850 M. Syekh Asnawi dilahirkan dari pasangan Abdurrahman dan Ratu Sabi’ah. Nasab pihak ayah, Syekh Abdurrahman bersambung kepada Sultan Banten, sedangkan nasab dari Ibu, Ratu Sabi’ah bersambung kepada pihak ke Sultan Agung Mataram.
Tentu dalam catatan sejarah nama Syeikh Asnawi Caringin, Banten telah menjadi panutan para alim ulama di Nusantara ini. Kiai Asnawi sezaman dengan Syaikhona Cholil Bangkalan, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), Syekh Asnawi Kudus dan lain-lain. Selain belajar ilmu-ilmu agama, Kiai Asnawi juga mendalami tarekat kepada Syekh Abdul Karim Tanara, salah satu ulama Banten yang bermukim di Makkah.
Allahummarhamna Bil Quran. Almaghfurlah Kiai Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin, ayahanda dari Kiai Tubagus Hasan Aang (Pesantren Al-Qur’an Syihabuddin Bin Ma’mun) yang sanad ilmu Al-Qur’an beliau bersambung jalurnya dengan Syekh Ma’mun al-Bantani, jalur sanad Sarbini ad-Dimyati.
Jika kita sebagai seorang santri melewatkan untuk mencontoh sejarah masa lalu, maka benar-benar hilang darimu sebuah keteladanan. Berusahalah mengikuti jejak mereka meskipun kamu tidak mampu seperti mereka. Sesungguhnya mengikuti jejak orang-orang yang mulia adalah keberuntungan.
Tatkala pena penulis mengisahkan kiprah “Sang Legenda Qiraah (Qura) yang Mendunia,” yang namanya harum merebak wangi hingga ke tanah Mekah. Qira’at atau Qiraah adalah disiplin ilmu yang membahas cara pengucapan tiap kata dari ayat-ayat Al-Quran melalui jalur menuturan tertentu. Penulis sedang melakukan semacam Rihlah Ilmiah yang berbekal cerita-cerita dari para dzuriyat Syeikh Ma’mun al-Bantani.
Jalur penuturan inilah yang telah memulihkan wawasan dan pengetahuan penulis tentang sejarah guru-guru Al-Qur’an yang terlupakan, kemudian penulis secara bertahap menikmati setiap proses penulisan buku, meskipun berbeda-beda alur cerita namun tetap mengikuti jalur muara aliran atau mazhab dari para imam qiraah, yang semuanya itu mengacu pada bacaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.
“Aktivitas membaca Al-Qur’an merupakan salah satu ibadah yang paling utama, taqarub teragung, dan ketaatan terbesar. Di dalam terdapat pahala yang besar dan ganjaran mulia,” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya).
Syaikh Ma’mun Al-Bantani menapaki sebuah kehidupan dengan Al-Qur’an, menentukan pilihan dan berjuang bagi dirinya sehingga kiprahnya diakui hingga ke Mekah.
:Sejarah telah mencatat bahwa di Banten adalah gudangnya Guru-Guru Ilmu Al-Qur’an. Syaikh Ma’mun al-Bantani (1872- 8 November 1928/26 Jumadil Ula 1347) ) adalah salah seorang ahli Qiraat di Indonesia. Tapi namanya tertimbun dan terlupakan. Kalau tak percaya ketik saja nama Syaikh Ma’mun atau Tubas Ma’mun di mesin pencari data, hanya sedikit informasi mengenai Syaikh Mamun. Untung saja ada Zainul Milal Bizawie, dalam buku Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya yang menyebut Syaikh Makmun sebagai jalur sanad Qura keempat, yakni jalur sanad Sarbini ad-Dimyati.
Selain Syaikh Ma’mun, menurut Bizawie, yang mengambil sanad dari jalur Syaikh Sarbini ad-Dimyati ini adalah ini Syekh Mahfudz At-Termasi, Syekh Yasin al-Padani, dan Syaikh Munawwir Krapyak (walaupun sanad yang diturunkan kepada muridnya diambil dari gurunya Syekh Yusuf Husein Abu Hajar ad-Dimyathi [w. 1190 H]).
Dari informasi Bizawie ini terlihat jelas bahwa Syaikh Ma’mun adalah teman seperguruan dengan Syaikh Mahfudz Termas –paling tidak mengambil sanad pada guru yang sama.
Lebih dari itu, Syaikh Makmun Al-Bantani telah menjadi guru Qiraat semenjak ia di tanah Arab. Di tanah Arab, Syaikh Ma’mun pernah mendirikan pesantren yang dikenal dengan nama Marja’ul Qura.
Beberapa murid yang mengambil sanad dari Syaikh Makmun di tanah Arab adalah Syaikh Salim (ajengan Balong), Syaikh Siroj, dan Syaikh Ahmad Hijazi al-Faqih al-Muqri’ (1303 H – 1381 H). Sementara murid-muridnya yang lain adalah KH Tb Achmad Chotib (Residen Banten), KH Thohir Pelamunan, KH Muhammad Abbas Banten, KH Mas Abdurrachman (pendiri Mathlaul Anwar, Menes), KH Abbas Buntet, Cirebon, dan lainnya.
Kemuliaan perangai dan keluasan ilmu yang dimilikinya menjadi magnet bagi penuntut ilmu dari segala penjuru Indonesia dan Mekkah saat itu. Katakanlah, Syekh Ma’mun ibarat, “al-Hibr Al-Quran An-Nusantara” (Tinta Al-Qur’an Nusantara).
Beliau lahir tahun 1872 di Kaloran Bale gede Serang, Banten. Pada tahun 1873 Syekh Ma’mun di umur 10 Tahun dibawa ayahandanya Tubagus Rafi’uddin (Ki Banjir) ke Tanah Suci Mekkah bersama kakak perempuan bernama Ratu Ruqoyyah dan menetap di rumah kakeknya Syekh Zubair di Qusyasyiyyah.
Pada tahun 1880 M sewaktu Syekh Ma’mun berusia delapan tahun, ibundanya Ratu Thoyyibah wafat di Mekkah al-Mukaromah.
Tahun 1881 M ayahandanya Tubagus Rafi’uddin kembali pulang ke Tanah Jawa di Serang, Banten dan Syekh Ma’mun diasuh dan di ajar oleh kakek dari ayahandanya bernama Syekh Zubair.
Tahun 1887 Syekh Tubagus Ma’mun pada berusia 15 Tahun pulang ke Tanah Jawa, Serang Banten. Di Serang beliau bertemu kedua orang tuanya sekaligus ingin melihat tangkai padi dan menetap selama 4 Bulan di Serang, Banten.
Pada tahun 1888 pada bulan ke lima di Serang, Banten Syekh Ma’mun kembali ke Tanah Suci Mekkah al-Mukaromah.
Tahun 1889 – Kakeknya yang bernama Syekh Zubair pengasuh Syekh Ma’mun sekaligus guru utamanya di Mekkah dan untuk pengawasan asuhannya Syekh Ma’mun diasuh juga oleh uwa-nya Syekh Hasan Zubair dan untuk meneruskan pembelajaran Al-Qur’an Syekh Ma’mun belajar Al-Qur’an kepada Syaikhul Qurra al Hafizh Al ‘allamah Syekh Muhammad Syarbini ad-Dimyati.
Pada tahun 1891 – Syekh Ma’mun hafal Al-Qur’an 30 Juz beserta sepaket dengan Qiroat Syabah’nya. Tahun 1893/22 Jumadil Akhir 1310 Hijriyah Ayahandanya bernama Tubagus Rafi’uddin (Ki Banjir) wafat dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) sekarang , di area kuburan Buah Gede, Kaujon Serang, Banten.
Dalam kesehariannya Syekh Ma’mun membantu uwa-nya Syekh Hasan Zubair mengurus jamaah di musim haji dan dari jerih payahnya ini Syekh Ma’mun mendapatkan persenan/upah/bakhsyisy sebagai tambahan uang jajan beliau.
Jarak tiga tahun sebelum Syekh Ma’mun berusia 22 Tahun (1894) menikahi kakak sepupunya bernama Ratu Khadijah bin Tb. Wasi’ bin Thohir bin Tb. Hafizh. Dengan Ratu Khadijah bin Tb. Wasi’ beliau memiliki anak laki-laki tetapi meninggal di waktu kecil, bersama pula dengan istrinya Ratu Khadijah dan meninggalkan Syekh Ma’mun.
Dalam masa jeda beliau Syekh Ma’mun setelah sepeninggal istri tercinta Ratu Khadijah, beliau di tahun 1898 menikahi Nyimas Sholhah binti Qolyubi (Ratu Maryam binti Abu Bakar) sungguh pun beliau kawin tapi tidak menjadikan rintangan baginya untuk melanjutkan pengetahuan dan pelajaran ilmu Al-Qur’an ke beberapa ulama yang masyhur di Mekkah al-Mukaromah terutama Syekh Ma’mun kepada sang guru Syaikhul Qurro Asyaikh Muhammad Syarbini ad-Dimyati dan beliau Syekh Ma’mun mendapat ijazah/syahadah al-Qur’an dari sang guru Syaikhul Qurro Asyaikh Muhammad Syarbini ad-Dimyati.
Kemudian di tahun 1902 beliau Syekh Ma’mun membuka Pengajian Umum di Qusyaiyyah Mekkah dekat bab Ali menghadap ke kantor pos.
Pengajiannya khusus ilmu Al-Qur’an yang dikunjungi oleh ratusan pemuda dari Indonesia dan Malaysia dan sebagian dari pelajarnya/muridnya terdiri dari Faqih atau istilahnya Qurro, sehingga majelis tempatnya mengajar dinamakan dengan “Marji’ul Fuqoha” atau yang berarti kembalinya ahli membaca Al-Qur’an.
“Pokoknya asal anak kiai, ustaz, ajengan, terlebih punya pesantren atau lembaga pendidikan agama islam, biasanya kalo di Banten mah dipanggil Tus, atau Tubagus,” ungkap Kiai Tubagus Hasan Aang, Cicit Syekh Asnawi Caringin, salah satu putera dari Kiai Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin (Babah Memed), Pesantren Al-Qur’an Syihabuddin Caringin, Labuan Banten.
Syaikh Makmun adalah Tubagus, atau Ratu Bagus –gelar anak-anak raja kesultanan Hasanuddin. Gelar Tubagus pada mulanya dipakai oleh menantu Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Djati, yakni Tubagus Pasai. Kemudian digunakan lagi oleh menantu dari pada Panembahan Sabakingking Maulana Hasanuddin yaitu Tubagus Angke.
Gelar Tubagus diberikan kepada keturunan Maulana Hasanuddin diberikan kepada Tubagus Tong atau Pangeran Arya Mandura Radja bin Sultan Maulana Abul Mafakhir Machmod Abdul Qadir.
Ya, dari Tubagus Tong (Pangeran Arya Mandura Radja) inilah darah kesultanan mengalir pada diri Syaikh Makmun. Dari Tubagus Tong inilah Syaikh Ma’mun mengenakan gelar Tubagus. Tubagus Ma’mun anak dari Tb Rafiuddin (Ki Banjir) anak dari Tb Zubair anak dari Tb Hafidz anak dari Qadi Santika anak dari Pangeran Mandura Raja (Tubagus Tong) anak dari Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir anak dari Maulana Muhammad anak dari Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin.
Sementara dari Ibundanya, Syaikh Ma’mun merupakan anak dari Ratu Thayyibah bin Tubagus Ismail bin Tubagus M Syadzily bin Tubagus Abdul Hamid bin Tubagus Abdurrahman (Pangeran Singandaru) bin Sultan Muda Abdul Ma’ali Ahmad bin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir.
Jika melihat silsilah ini terlihatlah bahwa Syaikh Makmun merupakan dzuriyyat dari Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Djati dari ayah dan Ibunya. Ia lahir pada tahun 1872
Sejarah telah mencatat kiprah leluhur Syaikh Makmun ini, beberapa tokoh sudah dikenal umum. Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, dan Maulana Muhammad adalah 3 raja pertama Kesultanan Banten yang mengenakan gelar Maulana.
Setelah itu, kerajaan diteruskan oleh Sultan Maulana Abul Mafakhir Machmod Abdul Qadir, raja pertama Banten yang mendapatkan gelar Sultan.
Sultan Maulana Abul Mafakhir Machmod Abdul Qadir ini memiliki sejumlah anak, di antaranya adalah Abul Ma’ali Ahmad (Putera Mahkota, ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa) dan Pangeran Arya Mandura Raja. Putera mahkota dari Sultan Maulana Abul Mafakhir adalah Abul Maa’li Akhmad (atau Pangeran Pekik), namun ia wafat setelah peristiwa Pagarage (1650),makamnya terletak di desa Kanari.
Karena itu setelah wafatnya Sultan Maulana Abul Mafakhir Machmod Abdul Qadir, tahta diberikan kepada putera dari Abul Maa’li Akhmad, yakni Pangeran Surya atau Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada saat kepemimpinannya, Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan paman-pamannya dan saudaranya untuk bersama-sama membangun Banten. Karena itu, ia memberikan jabatan Patih Mangkubumi diserahkan kepada Pangeran Mandura (anak dari Sultan Abul Mafakhir) dengan wakilnya Tubagus Wiraatmaja.
Kemudian sebagai Kadhi (atau Hakim Agung Negara) diserahkan kepada Pangeran JayaSentika bin Pangeran Mandura Raja (sepupu Sultan Agung Tirtayasa). Tapi Pangeran Jayasentika tidak lama menjabat sebagai kadhi, beliau wafat dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Habatan Kadhi kemudian diserahkan kepada Entol Kawista (menantu dari Abul Mafakhir yang menikahi Ratu Lor) yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmudin.
Mengenal Murid-Murid Syaikh Ma’mun
Syaikh Muhammad Siroj al-Qoruti (1895-1970) adalah ulama termasyhur, namanya masuk dalam laman Makkawi Qiblah ad-Dunya. Berkat keahlian dalam ilmu Qiro’at, ulama’ asli Garut, Jawa Barat ini mendapat lisensi untuk mengajar ilmu Qiro’at di Masjidil Haram dan kediamannya di distrik Qassasiyah.
Syaikh Syiraj juga pernah didaulat untuk menjadi muqrî (pelantun al-Qur’an) yang dilantik resmi oleh Kerajaan Saudi Arabia dan rutin melantunkan al-Qur’an di Masjid al-Haram setiap harinya.
Pada tahun 1369 H (1949 M), ketika Stasiun Radio Kerajaan Saudi Arabia didirikan, Syaikh Siroj diangkat menjadi Muqrî al-Qur’an. Di radio ini lantunan bacaan al-Qur’annya yang tartil dan merdu pun direkam dan diputar berulang-ulang. Di radio itu Syaikh Siroj mengisi acara pembacaan Al-Quran bersama-sama dengan Syaikh ‘Umar Arba’în, Syaikh Muhammad Nûr Abû al-Khair, Syaikh Zakî al-Daghastânî, dan lain-lain.
Syaikh Siroj Garut wafat di Makkah pada 26 Rabî al-Awwal tahun 1390 H (1 Juni 1970 M). Syaikh Muhammad Siroj al-Qoruti memiliki beberapa murid yang masyhur, diantaranya KH. Muhammad Ashlah Banten, dan KH. Makmun Bakrie (Pendiri Pondok Pesantren Qiroatus Sab’ah, Kudang Limbangan, Garut). Salah satu murid sekaligus menantu KH. Ma’mun Bakrie adalah KHQ. Ahmad Syahid, Pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Bandung (Qori Internasional yang menyabet juara pertama Musabaqah Tilawatil Qur’an, Perdana pada tahun 1968 di Makassar).
Syaikh Siroj merupakan salah seorang putera dari Syaikh Muhammad Al-Qaruti. Saudaranya Syaikh Siroj, yakni Syaikh Salim b. Muhammad Garut juga berguru pada Syaikh Ma’mun al-Bantani.
Syaikh Muhammad Garut (merujuk Michael F. Laffan dalam “The New Turn to Mecca”) merupakan salah satu ulama penting di Priangan, karena Snouck Hurgronje dalam perjalanan di Priangan (sepanjang 1889-1891 (LOr. 7931: 26) mengemukakan nama Syaikh Muhammad Garut sebagai Kyai Kiarakoneng sebagai putra dari Kiai Hasan Basori Kiarakoneng, Suci, Garut.
Kiai Muhammad merupakan anak dari Kiai Hasan Basori dari istrinya yang berasal dari Jawa di Makkah. Kiai Hasan Basori sendiri adalah murid dari Kiai Mulabaruk Garut dan guru dari Penghulu Haji Hasan Mustapa. Kiai Hasan Basori Kiarakoneng ini merupakan guru dari Kiyai Adzro’i Bojong (Garut), ayah dari Kiyai Umar Basri (pendiri Pesantren Fauzan Garut). Kiyai Adzro’i Bojong juga berbesan dengan Syaikh Muhammad Garut (putra dari Kiai Hasan Basori Kiarakoneng).
Jejak tentang Syaikh Muhammad Garut terekam dalam buku Snouck yang berjudul “Mekka” (dipublikasikan pada tahun 1888). Snouck mendeskripsikan sosok Muhammad Garut sebagai ulama besar Sunda yang mengajar di Makkah dengan reputasi keilmuan yang tinggi. Syaikh Muhammad Garut juga terbilang sebagai penyambung koneksi keilmuan antara Makkah dengan Sunda (Priangan) yang penting.
Ia mengajar di Masjidil Haram dan membuka kelas keilmuan Islam di rumahnya yang terletak di Jabal (gunung) Abû Qubays, Makkah. Oleh karena itu pula, bagi kalangan orang-orang Sunda di Makkah, Syaikh Muhammad Garut lebih dikenal dengan julukan “Mama [Ajengan] Jabal”.
Julukan lain untuk Syaikh Muhammad Garut adalah “Ajengan Balong” atau “Ajengan Cibunut” (merujuk pada pesantrennya di Balong, Cibunut, Garut). Selain itu, Syaikh Muhammad Garut juga disebut sebagai salah satu murid dan suksesor Syaikh Ahmad Khatib Sambas, sang inisiator Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah.
Dalam jaringan ini, Syaikh Muhammad Garut selevel dengan Syaikh Abdul Karim Banten, murid dan suksesor Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang paling masyhur. Syaikh Muhammad Garut memiliki seorang murid sekaligus suksesornya dalam tarekat ini, yaitu Kiai Muhammad Shalih dari Sukabumi.
Dua dari Putera Syaikh Muhammad al-Qaruti merupakan murid dari Syaikh Makmun al-Bantani, yakni Syaikh Sirodj dan Syaikh Salim. Ihwal keterkaitan Syaikh Salim Garut (Sâlim b. Muhammad Qârût al-Makkî) ini dilihat dari naskah sanad keilmuan Syaikh Salim yang menceritakan lingkaran ulama Banten yang menjadi gurunya Syaikh Salim.
Pada naskah 10 (sepuluh) halaman ini dikemukakan sejumlah ulama yang menjadi gurunya syaikh salim, yakni Syaikh Muhammad Garut (ayahnya sendiri), juga ulama-ulama lainnya yang diidentifikasi berasal dari Banten yaitu Syaikh Ma’mun b. Rafi’uddin Banten, Syaikh Ahmad Djaha Banten, Syaikh Arsyad b. Alwan Banten, Syaikh Syadzili b. Wasi Banten dan Syaikh Abbas b. Wasi Banten.
Pada halaman 1 sampai 5 dikemukakan sanad dan ijazah ilmu Qiraat al-Quran yang diterima Syaikh Salim Garut dari gurunya yang bernama Syaikh Ma’mun Banten, (pada tahun 1332 Hijri/1913 Masehi); sanad dan ijazah kumpulan shalawat, wirid dan doa dari Syaikh Syadzili b. Wasi dan Syaikh Ahmad Djaha Anyer Banten (ditulis di Makkah pada hari Kamis 24 Dzulhijjah 1327 Hijri/ 7 Januari 1910).
Sekarang kita lihat murid lain dari Syaikh Ma’mun yang bukan berasal dari Indonesa, yakni Syaikh Ahmad Hijazi.
Syaikh Ahmad Hijazi ini kemudian banyak melahirkan murid dari Nusantara. Murid-muridnya adalah Syaikh Muhammad Zain Batubara, Syaikh Abdul Wahab Batubara, Syaikh Azrai Abdul Rauf Al-Mandili, Medan, Syaikh Mahmud
Syihabuddin Mandailing Natal: (keempatnya berasal dari Sumatera Utara ), KH. Abdur Rasyid Shiddiq, Palembang Sumatera Selatan. Kesemuanya ini menjadi sumber sanad al-Quran bagi para qari di Sumatera. Murid lain dari Syaikh Ahmad Hijazi adalah KH. M. Junaid Sulaiman, Bone, Sulawesi Selatan: ini menjadi salah satu rumpun sanad al-Quran di Sulawesi.
Dari reputasi para muridnya inilah terlihat bahwa Syaikh Ma’mun adalah Ulama Qura yang patut diperhitungkan dan dijadikan panutan bagi kita semua. Beliau ulama Banten, yang harum namanya hingga ke tanah Mekah. Syeikh Ma’mun dimakamkan di area TPU Buah Gede, Kaujon Serang Banten.
(*sumber tulisan : SYAIKH MA’MUN AL-BANTANI
Al-Quran Mengalir Sampai Jauh, Prof. Dr. H. Bambang Qomaruzzaman (Q-Anees), Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat.)
Semoga para pewaris ulama Caringin, Banten, dari pohon nasab Syeikh Ma’mun Al-Bantani dan Syekh Asnawi Caringin Banten ini mendapatkan berkah hidup, dengan tetap melestarikan nilai-nilai budaya keislaman yang rahmatan lil alamin dan menjaga nilai-nilai kehidupan melalui Al-Quran. Karena Al-Quran adalah pedoman hidup sekaligus menjadi sumber ilmu pengetahuan. Allahummarhamna Bil Quran.