Oleh: Dzikrul Hakim Tafuzi Mu’iz
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia” kutipan pidato Bung Karno.”
Sudah jelas saudara kita yang menuliskan kegundahannya setiap hari ini merupakan sosok pemuda yang energik dalam kesehariannya. Dengan berbekal cengkir (kenceng e pikir: daya pikir maksimal) ia membuat rekam jejak kehidupan dalam kesehariannya. Pasalnya, momentum pandemi memberikan daya lesu pada kebanyakan manusia. Tetapi tidak demikian dengan Aqib.
Dalam tulisan-tulisan esai singkat, ia memberikan petunjuk akan pencerahan baru bagi pembaca. Dengan latar belakang pesantren, penulis mencoba memberikan cuplikan-cuplikan kitab muktabar yang, tentu dengan harapan, menjadi wasilah akan adanya kekayaan ajaran Islam yang relevan dengan kehidupan manusia.
Selain itu, penulis menyajikan cerita pseudo moral akan adanya keengganan anak muda untuk mengambilkan tongkat nenek tua renta yang tertinggal di tempat duduk semula. Keengganan anak muda tersebut menjadi hal yang nirmoral karena etika untuk membantu yang lebih tua menjadi suatu kewajiban bagi anak muda.
Tetapi pada saat yang sama, nenek tersebut menjadi bersyukur atas keengganan anak muda tersebut karena kalau ia tidak engan, nenek tersebut akan meninggal tepat selangkah dari tempatnya berdiri karena adanya mobil yang melintas.
Cerita singkat di atas merupakan salah satu dari isi buku yang memberikan kesan adanya nalar positif thinking (husnuzan) yang harus dikedepankan, baik dari generasi tua maupun generasi muda.
Penulisan karya-karya singkat nan ringan dalam gelanggang sastra kian padat penduduk. Salah satu penduduk yang kompeten adalah Muhammad Aqib Kh. Strategi menyelipkan karya sastra dalam dunia baca sebagai generator peradaban menjadi seksi untuk dikembangkan.
Fenomena ini menjadi menarik lantaran generasi yang berminat pada karya sastra semakin hari semakin dini. Artinya, pembaca karya sastra yang semula berusia belasan tahun, sekarang menjadi usia dengan satu digit.
Salah satu upaya pengawalan generasi sudah dilakukan oleh Aqib dengan menggelar perhelatan seminar Bedah Buku dan Pelatihan Menulis bertajuk Mengabadikan Pelajaran dari Perjalanan, ia menjadi narasumber yang sudah membimbing puluhan orang secara daring untuk menuliskan pengalaman tanpa rasa takut pada kualitas diri.
Buku ini memiliki nilai-nilai paradoks yang dominan untuk diangkat menjadi judul. Mau dikategorikan esai sejarah, tapi ada esai surat untuk the number one in Indonesia (Hbd, Pak, hlm. 17), mau dikategorikan esai budaya kok ada percintaan (Diversifikasi Diksi “Cinta”, hlm. 95). Paradoks memang layak menjadi judulnya.
Kemudian ada sekelumit kisah wali songo yang menyebarkan dakwah dengan akulturasi budaya. Toleransi menjadi basis yang mendasari kisah ini dengan nilai-nilai tenggang rasa dalam menyebarkan ajaran Islam. Tak terkecuali PR besar untuk generasi setelahnya untuk melestarikan sikap tersebut agar tidak terjadi bentuk-bentuk kebencian atau ketidaksukaan yang lain.
Berhubung beberapa esai di sini ditulis dalam rentang waktu 2020 hingga november 2021, maka topik pandemi Covid-19 tak dapat dielakkan. Aqib berusaha memandang pandemi bukan sebagai azab maupun cobaan, melainkan sebagai pengingat akan ketidakberdayaan manusia. Tuhan sekali lagi membuktikan keangkuhan manusia akan akalnya tidak mampu mencegah kuasa-Nya.
Hal ini menuntut intropeksi (muhasabah) dan kontemplasi yang mendalam untuk menemukan pencerahan. Perenungan yang bermula dari kesadaran penuh akan kebergantungan manusia pada-Nya dapat menjadi fondasi kokoh agar terhidar dari kepanikan yang banyak melanda manusia pada masa pandemi Covid-19.
Dalam buku How to Read a Book, buku dapat dijadikan guru yang tak hadir. Aqib mengingatkan pembaca bahwa semua cerita di dalam buku ini dapat dijadikan guru karena guru merupakan episentrum peradaban bangsa. Semakin cermat, cerdas, dan pandai seorang guru dalam mengajar semakin tergambar pula arah masa depan kemajuan suatu bangsa.
Sementara itu, nuansa cinta tergambar dalam buku ini dengan keindahan klasifikasi cinta Ibn Arabi. Cinta menjadi bertingkat dengan kadar yang bisa digambarkan melalui contoh. Aqib berusaha menjelaskan cinta dengan empat varian: hawaa, hubb, wudd, dan ‘Isyq. Semua memiliki arti cinta, tapi kedalaman membedakan semuanya.
Aqib menjelaskan klasifikasi cinta dengan ciamik lantaran hawaa digambarkan sosok yang jatuh cinta (karena arti hawaa adalah jatuh dalam bahasa arab) tetapi tidak hilang kedirian sang pecinta. Selanjutnya hubb yang memposisikan pecinta sudah menempatkan objek kasihnya dalam hati. Strata hubb lebih tinggi dari hawaa karena sudah menghilangkan kedirian.
Kecintaan yang sudah mengabadi dalam hati seseorang dan telah menghiangkan kediriannya dalam waktu yang lama disebut wudd. Dalam pernikahan kita sering mendengar doa sakinah mawaddah wa rahmah. Nah, mawaddah memiliki akar kata yang sama dengan wudd, artinya seorang kekasih diharapkan senantiasa mengedepankan kekasihnya ketimbang diri sendiri.
Dan etape terakhir adalah overlove yang mengakibatkan kefanaan diri, yaitu ‘isyq. Pecinta sejati digambarkan secara totalitas tidak memperhatikan diri sendiri, melainkan lebih memperhatikan sang kekasih. Di sinilah letak para pecinta yang rela mengorbankan segalanya untuk sang kekasih.
Tulisan-tulisan yang suguhkan penulis cenderung mengajak perenungan diri akan fenomena lingkungan sehingga kita bisa menerka pesan apa yang ingin disampaikan penulis. Kendati demikian, penulis merupakan penulis muda yang memiliki gairah sastra yang tinggi terbukti dengan maraknya tulisan-tulisan puisi di laman pribadinya maupun di platform sabdadiksi.my.id.
Tak ada sesuatu yang istimewa, bila kita menikmati buku ini. Setelah kita membacanya, alhasil kita seperti diombang-ambing dalam kesan yang acak-acakan. Si penulis rupa-rupanya berkarya hanya sekadar berkarya saja. Ia hanya ingin mengikuti arus.
Dibanding dengan karya keroyokan (antologi) atau esai tunggal sekalipun, buku ini agak kurang lincah dalam penggarapannya. Pada beberapa bagian nampak sekali penulisnya seperti mengkhotbahi para pembacanya
Kesan grasah-grusuh seperti orang yang tidak ingin ketinggalan ‘sepur’ tampak jelas dalam penyusunan kalimat demi kalimat karena kurang tuntas menjelaskan topik apa yang akan dibahas dalam paragraf tersebut.
Selain itu, keinginan untuk ikut andil dalam gelanggang sastra yang kian deras arus angka-angka kenaikan penulis muda yang ngetop. Semangat memang penting, tapi modal yang lain juga diperlukan untuk menunjukkan kreativitas seorang (calon) penulis ulung.
Seperti adanya miskonsepsi dalam pembagian disiplin ilmu Bahasa Arab. Nahu menjadi padanan sintaksis untuk mempelajari harakat akhir kata. Sedangkan balagah untuk mempelajari kandungan bahasa. Hal ini secara serampangan diterjang penulis dengan menjelaskan balagah sepadan dengan morfologis, yang pada dasarnya adalah wilayah saraf (ilmu derivasi kata).
Pembaca dituntut cermat dan awas dalam membaca tulisan ini lantaran masih banyak absurditas ditemukan di sana-sini.
Adalah menjadi keniscayaan suatu hal sempurna itu tidak ada karena pasti terdapat blindspot (titik buta) yang penulis sendiri alpa untuk mengavernya. Pepatah mengatakan “ketidaksempurnaan adalah kesempurnaan itu sendiri”. Jadi, perjuangan tiada henti merupakan poin penting dalam merekam jejak aksara.
Identitas Buku
Judul Buku : Kumpulan Esai Paradoksikal Hikmah
Penulis : Muhammad Aqib Kh
Editor : Husni M
Penerbit : Yayasan Baitul Kilmah
Cetakan : Pertama, Juni 2022
Tebal : x + 112 hlm
Ukuran : 14.8 x 21 cm
ISBN : 978-623-94070-0
Harga : Rp. 50.000
Peresensi : Dzikrul Hakim Tafuzi Mu’iz