Oleh: Mohammad Ulil Rosyad Mahasiswa S2 PTIQ Jakarta – Awardee LPDP PKUMI
Masih segar ingatan kita tentang klaim budaya wayang oleh negara serumpun kita, Malaysia. Klaim budaya memicu konflik bilateral baik dari masyarakat hingga level pemerintahan.
Tak hanya klaim negara, bahkan diberitakan pada tahun 2021 yang mana sebuah perusahaan produsen alat olahraga mengaminkan bahwa wayang merupakan warisan budaya Malaysia.
Sontak hal ini mengakibatkan demo masyarakat netizen di akun official mereka, untungnya perusahaan tersebut sudah meminta maaf melalui akun sosial medianya.
Namun hikmah datangnya konflik di atas cukup menarik perhatian kita terhadap warisan budaya Indonesia ini, setelah kita lebih memilih tayangan bioskop dan netflix untuk memenuhi kebutuhan hiburan kita dan melupakan hiburan tradisi masyarakat lokal sendiri.
Terkait apakah wayang warisan tradisi Indonesia atau bukan? Terdapat sejumlah pakar yang mengatakan bahwa wayang merupakan asli Indonesia seperti; J.L. Andries Brandes, G.A.J. Hazeu, Anker Rentse, J. Kats, dan Kruyt.
Menurut Brandes arkeolog Belanda yang ahli sejarah Jawa, wayang merupakan asli Jawa. Wayang menyajikan hasil‐hasil kebudayaan Indonesia purba, seperti gamelan, sistem moneter, batik, cara menanam padi sawah basah, kehidupan sosial, kultural dan keagamaan di tanah Jawa, bukan Malaysia.
Sependapat dengan Brandes, menurut mahaguru Sastra Jawa, Hazeu, desain teknis, gaya, dan susunan lakon wayang merupakan khas Jawa. Adapun J. Kats berpendapat, wayang merupakan kebudayaan amat tua yang lahir di Jawa tanpa bantuan India sekitar sebelum abad ke-9. Istilah teknis dalam wayang pun, menurutnya, berasal dari Jawa. Ia menambahkan, Ponokawan memakai nama Jawa, berbeda dari tokoh pahlawan India.
Datangnya para pakar Eropa memiliki peran besar dalam melegalisasi budaya Indonesia ini, selain menikmati estetika pertunjukannya.
Mereka berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan wayang yang ada, baik di Indonesia dan di negara mereka sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan, daya tarik apa yang menyebabkan pertunjukan ini menarik ditonton masyarakat mancanegara hingga saat ini.
Bernarkah adanya keeksistensian kejadian mistis dalam pertunjukan wayang? Oleh penulis ingin mengulik beberapa pakar dan seni pertunjukan internasional tentang alasan dibalik mereka mendekatkan diri pada benda bersejarah ini.
Zoologi & +17.000 Wayang, Walter Angst mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Wayang Indonesia: Die Phantastische Welt Des Indonesischen Figurentheaters” bahwa Wayang merupakan subjek yang menarik untuk dilihat.
Uniknya, kedatangannya dari Belanda ke Jawa untuk meneliti spesies Monyet dan Badak di Taman Nasional Ujung Kulon pada tahun 1971. Namun perhatiannya berpindah saat masyarakat lokal membicarakan seputar “pertunjukan wayang” yang di tampilkan saat acara sunatan (circumcision).
Ketertarikanya pada seni pertunjukkan tersebut mendorongnya membeli beberapa buah wayang untuk keluarganya di Belanda.
Pada tahun 1972, ia kembali ke Indonesia dan semakin terpukau dengan pertunjukan Wayang Kulit di Yogyakarta, hingga ia membeli satu set wayang beserta kotak wadahnya, beserta sejarah yang mengelilingi sputar wayang kulit, berupa buku karya Hardjowirogo yang berjudul “Sedjarah Wayang Purwa” yang membahas seputar 164 wayang kulit.
Ia sangat kagum dan terkejut tentang wayang dan segala filosofinya, yang menjadikannya bating setir untuk mengkaji sepenuhnya seputar Wayang.
Ia kagum dengan bagaimana si dalang membawakan cerita dan emosi dari benda mati tersbut hingga terasa hidup, beserta pembangkitan karakter pada wayang tersebut.
Nuansa spiritual pun dihadirkan dalam jiwa wayang yang tampak mati tersebut. Begitu tertariknya ia dengan wayang, ia mengkoleksi lebih dari 17.000 wayang dan dibawanya ke Jerman, sambil menelitinya dan menghasilkan salah satu Buku Enslikopedi Wayang terlengkap.
Pagelaran Wayang “William Van Oranje” di Belanda
Adapun seni pertunjukkan wayang telah mengglobal dari masa ke masa, salah satunya event di Kota Delft, berupa pertunjukan wayang kulit kontemporer “Willem van Oranje” yang dipentaskan oleh Ki Ledjar Soebroto dari Yogyakarta bersama cucunya Ananto Wicaksono berhasil memukau lebih dari 600 penonton dalam enam pertunjukkan di Museum Nusantara, Delft, Belanda, pada hari Minggu.
Ananto Wicaksono menyatakan bahwa pertunjukan wayang kulit ini merupakan bagian dari peresmian kembali Museum Nusantara Delft dalam wawancara eksklusif dengan koresponden Antara London.
Pertunjukan wayang kulit “Willem van Oranje” berdurasi satu jam dengan penampilan wayang yang menggambarkan tokoh sejarah tersebut, diiringi oleh musik yang menambah suasana pementasan.
Seorang penonton Belanda, Geert van Waveren, mengakui bahwa pertunjukan wayang kontemporer ini, yang menceritakan kisah Willem van Oranje, sangat unik dan menarik.
Sebagai seorang spesialis anak, Geert van Waveren menyebut bahwa ini adalah pertunjukan wayang yang berbeda dari yang biasanya dan merupakan pengalaman pertama baginya.
Pertunjukan Wayang Kulit “Willem van Oranje” pertama kali diadakan di Belanda pada 11 Maret 2011, menceritakan kisah Pangeran William dari Oranye yang tewas pada tahun 1584 oleh Balthasar Gerards, seorang warga Perancis.
Ananto Wicaksono menjelaskan bahwa Pangeran William, yang juga dikenal sebagai William dari Oranye atau dengan panggilan William Diam, dihormati di hati masyarakat Belanda.
Awalnya, William menjadi gubernur untuk raja Spanyol, tetapi kemudian ia menjadi inisiator pemberontakan melawan penguasa Belanda-Spanyol, Raja Philip II.
Pertunjukan wayang kulit ini, karya Mbah Ledjar, sering ditampilkan di Tong Tong Fair, pameran Eurasia terbesar di Eropa yang diselenggarakan setiap tahun di Den Haag, dan merupakan pesanan khusus dari Museum Nusantara.
Pada tahun 2009, Ki Ledjar Soebroto membawakan pertunjukan Wayang Revolusi. Tahun ini, ia berencana untuk membawakan Wayang Kulit tentang letusan Gunung Merapi pada tahun lalu.
Selain, pertunjukan wayang ini, satu set wayang kulit buatan Ki Ledjar Soebroto menjadi koleksi permanen di museum tersebut.
Wayang kulit buatan Ki Ledjar juga telah menjadi koleksi permanen di berbagai museum di Belanda, seperti Wayang Kulit VOC di Westfries Museum, Hoorn, dan Wayang Kancil di Tropenmuseum, Amsterdam.
Menurut Cindy Smits, seorang warga Belanda dan pengajar di Instituut Indonesische Cursussen di Leiden, pertunjukan tersebut sangat menarik dan berbeda dari pertunjukan wayang sebelumnya yang pernah ia saksikan.
Di sisi lain, seorang arkeolog, Prof Hedi Hinzler, yang turut membantu pelaksanaan pertunjukan wayang “Willem van Oranje,” mengakui bahwa pertunjukan ini menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat Belanda, khususnya anak-anak.
Hedi Hinzler, seorang ahli purbakala Asia, menyatakan bahwa dengan diselenggarakannya pertunjukan wayang ini, warga Belanda dapat menyaksikan sejarah dalam bentuk yang berbeda.
Nanang, pembuat wayang yang mengisahkan perjuangan Pangeran William, menjelaskan bahwa pembuatan wayang ini bertujuan sebagai wahana pendidikan anak-anak untuk memahami sejarah Belanda.
Selain, wayang yang dipamerkan, juga ada pemutaran film animasi Wayang William van Oranje yang dibuat oleh Ananto Wicaksono sendiri.
Daya Tarik Mistisme dalam Wayang
Dalam Tulisan Risdhaniar Iswara, diungkapkan bahwa pertunjukkan wayang kulit erat kaitannya dengan seorang dalang, dan kebudayaan ini, berasal dari Jawa, membawa makna filosofis yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan dalang dari kota Nganjuk, Jawa Timur.
Para dalang di sana umumnya memandang pertunjukan wayang kulit sebagai bentuk tuntunan, hiburan, dan juga sebagai upacara ritual maupun seremonial.
Dalam peranannya dalam upacara ritual, dalang menjadi pusat perhatian dalam pertunjukan wayang. Elemen magis dan mistis dalam pertunjukan wayang masih sangat kuat, terlihat pada upacara Bersih Desa di Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, di mana sang dalang menempatkan sesaji dan melakukan doa serta mantra sebelum pertunjukan dimulai.
Masyarakat setempat meyakini bahwa seorang dalang berfungsi sebagai perantara antara dunia nyata dan dunia gaib, memiliki kekuatan magis yang diperoleh melalui berbagai ritual.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalang, untuk mencapai kesuksesan dalam pertunjukkan wayang kulit, masih menjalankan ritual yang penuh dengan unsur mistik. Ritual ini mencakup penyucian suara, tenaga, dan rasa.
Beberapa dalang juga rutin mengadakan selamatan, sementara sesaji digunakan sebagai persembahan untuk makhluk gaib dalam setiap pertunjukkan wayang.
Namun, ada juga dalang yang lebih memilih untuk tidak melibatkan ritual lama, hanya mempersiapkan diri dengan belajar sabetan sebelum pertunjukkan.
Makna ritual bervariasi antara satu dalang dan yang lain, dipengaruhi oleh budaya luar yang lebih praktis dan modern.
Meskipun begitu, sebagian besar dalang tetap mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka dengan melibatkan ritual lama. Sehingga dapat disempulkan dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa wayang, sebagai warisan budaya Indonesia.
Tidak hanya merupakan suatu bentuk seni pertunjukan, tetapi juga membawa dimensi spiritual dan mistis yang mendalam. Kehadiran wayang tidak hanya menjadi identitas kultural Indonesia, tetapi juga mengandung daya tarik universal yang memikat bahkan para peneliti dan pecinta seni dari luar negeri. (*)