Oleh: Bella Ana Sahida
(Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya)
Filsafat sejarah muncul untuk menggali lebih dari sekedar narasi sejarah yang dikemukakan oleh para sejarawan. Filsuf Sejarah ingin menggali lebih dalam temukan skema aktivitas sejarah. Upaya dan keinginan ini tidak terlepas dari pandangan filosof tentang makna masa depan dan kebebasan manusia. Rencana masa depan tertentu apa yang diperoleh filosof sejarah, dapat digunakan untuk melihat keseluruhan rencana kehidupan dalam bentuk universal. Masalahnya adalah untuk mengatasi apa yang diyakini para filsuf tentang signifikansi historis, tentang Makna masa depan, waktu, kebebasan, dan mesianisme; secara historis horizontal tidak dapat menjawab semua pertanyaan tersebut. Jadi kita membutuhkan bentuk metode lain berbeda tetapi dapat digunakan secara keseluruhan.[1]
Maka vertikalitas kemudian muncul sebagai solusi dan pembawa damai jelaskan bagaimana Faktanya, sejarah sedang berubah. Vertikalitas terkait dengan nilai subjektif diharapkan menjadi stabilitas gerakan sejarah. Pendekatan ini tidak bisa dihindari memimpin pendekatan penelitian mistisisme sebagai produk Pikiran manusia memiliki Minta langsung dari Tuhan. Pertimbangkan korelasi antar ide vertikalitas, nilai subjektif dan apa yang bukan mistisisme baru saja muncul. Roh muncul dalam filsafat sejarah dilucuti dari bentuk aslinya proses sejarah. Serentak, penelitian objektif (tergantung pada objeknya) tidak bisa bentuk pernyataan afirmatif sesuatu yang disebut fakta sejarah.
Metode Keberadaan keyakinan mistik, khususnya pemikiran Ibn al-Arabi tentang kesatuan realitas, menjadi kunci kajian ini. Pertama, mistikus dinilai sebagai orang yang tidak pernah melepaskan Tuhan dari segala sesuatu. sebagai hal yang negatif. Tuduhan seperti itu biasanya secara teologis tidak logis dengan asumsi bahwa pikiran mistik itu ada. Namun, pada tahap terdalamnya, keinginan mistik atau sufi adalah keinginan terdalam dari semua manusia. Selain itu, berusahalah untuk mencapai akses langsung ke sumber utama realitas atau Dewa tidak mengatakan bahwa dia tidak memiliki program yang dapat menghitung. Anggapan ini salah, mengingat setiap sufi memiliki koneksi dan hubungan pemikiran dengan sufi yang hidup sebelumnya.[2]
Misalnya, pemikiran Ibn al-Arabi tidak dapat dipisahkan dari pemikiran para sufi sebelumnya, seperti guru-gurunya dan orang-orang yang tidak bertemu dengannya. Misalnya, pemikiran dalam bentuk wahdatul adalah pemikiran Al-Hallaj. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi mistik atau tasawuf terdapat sederet pemikiran yang kurang lebih sama dengan yang ada dalam gerakan sejarah lateral, bahkan bisa dibilang lebih jelas dalam narasinya. Dengan demikian, hambatan awal untuk mempelajari sejarah dari perspektif ini telah surut. Vertikal historis menjadi satu-satunya prediktor pergerakan historis karena kemampuan dan propertinya yang “bisa” encloses”, sedangkan history-horizontal tidak memiliki fitur ini.[3]
Ketika gerakan atau hubungan vertikal diakui sebagai sesuatu yang sakral; singularitas yang besar dan tersebar luas. Sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan yang dibangun oleh manusia dan juga digunakan untuk manusia. Manusia terkekang oleh banyak hal dalam segala macam hubungan, baik secara pribadi maupun di depan umum. Secara mandiri, manusia selalu membutuhkan lebih dari dirinya sendiri. Bagi orang yang saleh, hanya dalam yang ilahilah sesuatu yang transenden dapat ditemukan. Kemampuan ini memungkinkan pergerakan vertikal historis untuk mengesampingkan dan mengontrol pergerakan horizontal.
Gagasan tentang kesatuan dalam sejarah memang diakui sebagai satu-satunya realitas yang tidak dapat diubah dan mudah ditemukan dalam pemikiran Ibn al-Arabi. Pengakuan tidak jauh berbeda dengan apa yang Hegel sampaikan ratusan tahun lalu Kemudian. Dalam perjalanan sejarah yang terus berubah, beberapa hal tidak berubah. Bukan sesuatu dalam bentuk skema atau pola, tetapi sesuatu dalam beberapa bentuk Kontrol Universal. Sifat universalitas ini tampaknya tidak mengarah pada sintesis, melainkan kapasitas keseluruhan. Dalam bahasa yang sederhana, kemampuan gabungan ini muncul dalam bentuk kegiatan terkait yang berlangsung, Sebagai suatu perubahan yang dinamis menuju suatu bentuk, keesaan dasar itu sendiri.
Ibn Arabi dan mistisisme membentuk kepastian tentang gerakan vertikal sejarah melalui gagasan kesatuan mendasar ini.[4]Filsafat sejarah dalam sudut pandangan mistisisme ini kemudian jelas membentuk skema baru yaitu skema yang berurusan dengan realitas riil; Allah. Kajian-kajian yang telah diberikan untuk menemukan skema ini telah melalui sebuah proses hermeneutis-filosofis yang cukup mendalam. Terutama sekali jika dihadapkan dengan pemahaman umum yang telah dilekatkan kepada kaum mistis mengenai kefanaan dunia materil, tentu saja dukungan filosofis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah usaha yang paling tepat. Filsafat sejarah tidak meninggalkan dan tidak melepas jejak apapun yangb muncul di dalam sejarah, bahkan dalam penelitian ini filsafat sejarah mendekati ranah yang seakan tak terdekati sebelum ini.
Sumber:
Misri, A. Muchsin, 2002, Filsafat Sejarah dalam Islam, Ar-Ruzz, Yogyakarta.
Walsh, W. H., 1970, An Introduction to Philosophy of History, Hutchincon & Co LTD: London.
Ankersmit, F. R., 1987, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah (pen. Dick Hartoko), Gramedia, Jakarta.
Afifi, A. E, 1989, Filsafat Mistik Ibnu ‟Arabi (pen. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman), Gaya Media Pratama, Jakarta.
Almond, Ian, 2004, Sufism and Deconstruction: A Comparative Study of Derrida and Ibn ‟Arabi, Routledge, London.
[1] A. Muchsin Misri, Filsafat Sejarah dalam Islam, ( Ar-Ruzz: Yogyakarta, 2002), hal. 21
[2]F.R Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah (pen. Dick Hartoko), (Gramedia: Jakarta,1987), hal.12
[3]A.E Afifi, Filsafat Mistik Ibnu Arabi (pen. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman), (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1989), hal. 19
[4]Lan Almond, Sufism and Deconstruction: A Comparative Study of Derrida and Ibn ‟Arabi, (Routledge: London, 2004), hal. 10