Opini  

Uskup Desmond Mpilo Tutu: Kita Hidup Dalam Semesta Moral

Oleh : Mujahidin Nur, Direktur The Islah Centre, Jakarta & Pengurus LTN PBNU 2022-2027

Sejak saya masih mengenyam pendidikan di benua Africa Terra atau lebih dikenal Benua Afrika, saya sudah menyelami pemikiran teolog kemanusiaan Desmond Mpilo Tutu (w. 2021).  Mendiskusikan pemikiran Tutu, bagi saya sama seperti menyelami samudera cinta dan kemanusiaan. Sehingga membahas Tutu seperti membahas nilai-nilai kemanusiaan (al-Insaniyah) yang membentang luas. Saking asyiknya, tidak jarang saya bersama teman-teman mendiskusikan pemikiran Desmond Mpilo Tutu di altar kampus tercinta al-Azhar As-Syarif, Kairo, di Masjid al-Azhar sambil belajar sebelum kuliah dimulai atau sambil minum kopi di Elshawy, kedai kopi tertua di di Mesir yang terletak di Khan El-Khalili Bazaar, Kairo sambil melepaskan penat usai mengikuti perkuliahan.

Daya tarik pemikiran Desmond Tutu bagi mahasiswa Muslim seperti saya dan umat Islam lainnya di dunia cukup beralasan. Saya mengenal Desmond Tutu sebagai Uskup yang pemikiran dan tindakannya senantiasa didorong perasaan cinta pada kemanusiaan (al-Insaniyah). Perasaan cinta pada kemanusian (al-Insaniyah) Desmond Tutu begitu kuat dirasakan di hati saya dan umat Islam di dunia sehingga nama Desmond Tutu melekat di hati umat Islam sampai mendiangnya.

Bagi saya, Desmond Tutu merupakan satu-satunya pemimpin non muslim di dunia yang marah dengan genosida yang dialami oleh umat Islam pada tahun 2015 yang dilakukan oleh The Lord’s Chritian Army, kelompok Kristen ekstrimis di Afrika yang melakukan penculikan, pemerkosaan, pembunuhan dan perbudakan sex pada anak-anak muslim. Desmond Tutu juga merupakan pemimpin dunia pertama yang mengkritik keras terjadinya slow genocide pada muslim Rohingnya di Nyanmar. Desmond Tutu menyampaikan pesannya kepada Aung San Suu Kyi dan mengatakan dengan lantang, apabila harga dari jabatan yang Anda duduki adalah diamnya Anda pada genosida yang dilakukan oleh pemerintahan Anda pada umat Islam di Rohingnya, maka diamnya Anda itu terlalu mahal bagi kami. Belum lagi perjuangan tanpa kenal lelah yang dilakukan oleh Desmond Tutu untuk memperjuangkan hak-hak mendasar masyarakat Palestina dan berusaha mengajak masyarakat dunia untuk menerapkan sangsi, pemboikotan dan membebaskan masyarakat Palestina dari berbagai macam penderitaan akibat penjajahan Israel.

Baca Juga  Hermeneutika Kitab Suci: Satu Dalil, Ragam Interpretasi

Saya meyakini, sebagai seorang teolog, pandangan Tutu berpijak pada kitab suci yang menjadi inspirasi Tutu dalam mengkritik berbagai penindasan dan kesewenang-wenangan termasuk dalam mengkritik penjajahan Israel atas bangsa Palestina. Hal itu membuat saya tersadar bahwa gerakan anti-kolonialisme sejatinya adalah gerakan yang sangat religius. Bukan semata-mata gerakan kemanusiaan.  Atas dasar nilai-nilai relijiusitas itu pula pada tahun 2008, Desmondd Tutu menyebut perbuatan Israel sebagai pelanggaran keras terhadap hak-hak manusia.

Desmondd Tutu mengutip kisah eksodus bangsa Israel dari Mesir dengan mengutip kitab suci. Ayat-ayat suci berbicara Tuhan pada peristiwa Eksodus digambarkan sebagai Tuhan yang peduli pada yang lemah, tertindas, menderita, janda, anak yatim, dan orang asing,” (middleeasteye.net, 26 Desember 2021).  Tapi, pada kenyataannya, Israel hari ini adalah pihak pencipta segala jenis penderitaan di bumi Palestina.

Rasa kemanusiaan dan anti-kolonialisme yang diperjuangkan oleh Desmond Tutu bukan tanpa resiko. Sang Uskup Agung Afrika Selatan ini harus menerima berbagai tekanan dan penghinaan rasial. Salah satunya terlihat pada grafiti yang tertulis pada tembok Katedral Anglikan St. George di Yerusalem Timur. Tempat dimana dahulu Desmondd Tutu berdiri membela Palestina pada tahun 1989. Grafiti itu berbunyi: “Babi Hitam Nazi. Tutu Seorang Nazi.” (English.alaraby.co.uk, 30 Desember 2021).

Penyebutan Tutu sebagai Nazi atau Babi Nazi Berkulit Hitam adalah pelecehan rasial. Pernyataan semacam ini juga pernah disampaikan oleh American Jewish Committee (AJC). Menurut komunitas Yahudi Amerika, zionisme memiliki banyak kemiripan dengan rasisme. Sama-sama menegasikan orang lain karena etnisitas. Inilah alasan kenapa Desmondd Tutu juga disebut anti-Semit oleh mereka.

Pada tahun 2005, Tutu menulis kata pengantar di buku Michael Prior yang berjudul “Speaking the Truth: Zionism, Israel, and Occupation”. Tutu menulis, “Orang di Amerika takut mengatakan Israel penjajah atau Israel salah, karena lobi pro-Israel sangat powerful. Namun tidak bagi Desmond Tutu. Baginya dunia ini adalah milik Tuhan. Kita hidup dalam semesta moral. Semesta moral juga yang dahulu menumbangkan pemerintahan apartheid Afrika Selatan yang juga sangat powerful.” (English.alaraby.co.uk, 30 Desember 2021).

Baca Juga  Belajar Api Islam dari Bung Karno

Desmondd Tutu mengajarkan kepada saya apabila kita mempunyai kekuatan moral di bawah hukum Tuhan maka tidak perlu takut, apalagi hanya pada kekuatan politik sekuat apapun kekuatan politik itu, seperti lobi pro-Israel di Amerika mupun pemerintah apartheid di Afrika Selatan. Tutu menjadikan kekuatan agama (al-quwwah al-dinniyah) sebagai sumber perlawanan terhadap kezaliman penguasa, demi membela keadilan dan hak-hak manusia.

Prof. Mitri Raheb, pendiri dan rektor Universitas Dar al-Kalima di Bethlehem, berusaha membaca pemikiran kemanusiaan Desmondd Tutu. Menurut Raheb, Afrika Selatan dan Israel sama-sama produk sejarah kolonial bangsa Eropa. Belanda dan Ingris menciptakan kebijakan-kebijakan berdasarkan ras dan etnisitas di Afrika Selatan dan berdasarkan agama di Palestina. (thisweekinpalestine, Januari 2022).

Masih menurut Prof Mitri Raheb, ciri-ciri kolonial itu sama saja; baik yang kolonialisme klasik maupun neo-kolonialisme. Kolonial selalu ingin berkuasa di wilayah orang lain secara permanen, mengontrol hukum dan kedaulatan pribumi, bahkan berupaya mengeliminasinya. Sementara tanah milik pribumi dipahami sebagai “terra nullius” tanah kosong yang menunggu dimaknai dan menjadi properti pribadi para kolonial.

Realitas kolonialisme di Afrika Selatan inilah yang menginspirasi Desmondd Tutu, sebagai anak berkulit hitam dan miskin di bawah sistem pemisahan antara pendatang kolonial dan pribumi ia sangat merasakan penderitaan karena penerapan sistem apartheid di Afrika Selatan. Karenanya, pada tahun 1953, setelah berprofesi sebagai guru berkulit hitam, ia mulai memprotes Undang-undang Pendidikan Orang Hitam, karena menurutnya UU itu hanya akan melahirkan tenaga kerja murahan. Tahun 1960, ia menjadi tokoh Anglikan, serta mulai tertarik pada teologi orang hitam dan gerakan anti-apartheid.

Ketika Tutu ditahbiskan menjadi uskup Johannesburg, sekelompok teolog Afrika Selatan mengeluarkan manifesto “Kairos South Africa Document”. Manifesto inilah yang menggerakan perlawanan terhadap ideologi apartheid tidak saja di jalan-jalan atau di forum-forum internasional, tetapi juga di ranah teologi. Dalam manifesto perlawanan pada sistem apartheid mereka membagi tiga jenis pembagian teologi; Pertama, teologi negara, Kedua teologi gereja, dan Ketiga teologi profetik.

Baca Juga  Internalisasi Etika Utilitarianisme dalam Dinamika Pesantren

Manifesto itu menjelaskan bahwa dua jenis teologi pertama harus dilawan. Teologi negara dalam manifesto itu disebut sebagai teologi pembangunan yang memberi jalan mulus bagi ideologi apartheid. Supremasi kulit putih dirujuk dan didasarkan pada ayat-ayat suci Alkitab. Sedangkan teologi gereja walau tidak secara langsung mengamini ideologi apartheid, namun menghalangi perlawanan rakyat terhadap apartheid. Dua ideologi ini (negara sekuler dan gereja) mencegah perlawanan.

Bagi Desmondd Tutu dan manifesto komunitasnya, hanya ada satu teologi yang benar, yaitu teologi profetik. Teologi profetikla yang berani lantang menyebut apartheid sebagai perbuatan dosa melawan Tuhan. Teologi ini memahami Alkitab dengan pendekatan liberasi atau pembebasan, baik dari dosa maupun dari penindasan sosio-politik dan ekonomi. Menurut tafsiran Mitri Raheb atas teologi profetik Desmondd Tutu, zionisme adalah ideologi sekuler negara, yang menggunakan Perjanjian Lama sebagai blueprint untuk melanjutkan kolonialisasi terhadap tanah dan orang-orang Palestina (thisweekinpalestine, Januari 2022).

Di level ini, kita bisa memahami teologi profetik Desmondd Tutu dari inti Kristianitas itu sendiri, sebagai agama cinta. Karena mencintai manusia, maka penindasan yang tidak memanusiakan manusia dianggap dosa pada Tuhan. Dosa ini bisa dilakukan langsung oleh negara berideologi apartheid maupun secara tidak langsung oleh gereja yang menghalangi perlawanan terhadap apartheid. Sebaliknya, melalui teologi profetik, kita diajak membela manusia dari segala macam penindasan dan kolonialisme; sosial, kultural, politik dan ekonomi dengan kekuatan semesta moral dibawah Tuhan. Wallahu ‘alam bishowab.

Tinggalkan Balasan