Oleh: Mujahidin Nur, Direktur The Islah Centre, Jakarta & Pengurus LTN PBNU 2022-2027
Hari itu, 26/12/2021, Desmon Tutu, yang dijuluki cahaya dari Afrika tutup usia. Pengumuman kematiannya langsung dilakukan oleh Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaposa. Paska pengumuman kematian Tutu, duka seketika menyelimuti Cape Town dan Afrika Selatan pada umumnya.
Sebagai pertanda berkabung, Lonceng di Catedral ST George, Cape Town berdentang setiap sepuluh menit. Sementara Balaikota Cape Town dan Table Mountain ‘diselimuti’ cahaya ungu setiap malam sampai upacara penguburan Desmond Mpilo Tutu dilakukan.
Buku tamu untuk para pelayat disiapkan, mereka yang melayat menandatangani dan menuliskan ungkapan dukanya sebagai penghargaan pada mendiang peraih Nobel Perdamaian dunia itu.
Selama hidupnya Tutu bukan hanya berjuang untuk menghancurkan sistem Apartheid di Afrika Selatan dan tirani minoritas kulit putih. Di panggung Global, Tutu senanatiasa mengkritik penjajahan Israel atas bangsa Palestina, sehingga membuatnya bukan hanya dicintai oleh masyarakat Kristiani semata. Namun, masyarakat Palestina pun merasakan kesedihan atas kepergian laki-laki yang wajahnya senantiasa berbalut senyum itu.
Kecintaan Desmon Tutu pada Yerusalem khususnya dan Palestina pada umumnya bukan sekedar karena Tutu melihat Yerusalem sebagai kota bagi agama-agama Abrahamik; Islam, Yahudi dan Nashrani. Begitu juga kecintaan Tutu pada negeri yang memiliki Baitul Muqaddas (Rumah Yang Disucikan) bukan karena keiginan membela Yerusalem atau umat Nashrani disana namun lebih pada membela kemanusiaan. Inilah yang menjadikan Tutu menjadi figur ideal yang membela kemanusiaan, anti penindasan dan kolonialisme.
Perjuangan Desmon Tutu dengan semangat pembumian teologi Ubuntu (kemanusiaan) hampir serupa dengan perjuangan Ali Asghar Enggineer yang mengusung teologi pembebasan di India. Tutu menilai bahwa keselamatan manusia adalah anugerah dari Tuhan. Bukan hasil usaha manusia sendiri. Orang yang selamat adalah siapapun yang terhubung secara mutualis dengan Tuhan. Karenanya, baik penindas maupun orang yang ditindas tidak mencapai status sebagai manusia sempurna.
Teologi Ubuntu ini digunakan oleh Desmon Tutu untuk menentang realitas yang terjadi. Akibat paham apartheid, penindasan merajalela di Afrika Selatan. Apartheid menjauhkan manusia dari keserupaan dengan Tuhan. Ideologi rasis ini mengarahkan manusia menggunakan kekuasaan untuk menindas. Sehingga penindaslah yang memiliki kuasa untuk menentukan keberadaan pihak lain, bukan Tuhan.
Teologi Ubuntu inilah yang juga disuarakan oleh Desmon Tutu di Palestina. Sebagai wujud kecintaanya pada Palestina, tokoh kelahiran Klerksdorp, Afrika Selatan, tahun 1931 ini sempat mengunjungi Palestina dan Israel. Ia langsung tersadar dengan segala peristiwa mengerikan di Palestina; pengusiran paksa, penghancuran rumah, kontrol ketat atas setiap gerakan massa, perampasan tanah untuk pembangunan rumah orang-orang Yahudi, serta pembatasan pemilikan tanah orang Palestina.
Pada kesempatan konferensi di Boston, pria yang mendapat penghargaan Nobel perdamaian tahun 1984 itu mengatakan: “Saya sungguh sangat sedih ketika mengunjungi Tanah Suci; apa yang saya lihat disana mengingatkan saya pada segala yang terjadi pada kami sendiri, orang kulit hitam di Afrika Selatan,” (Theguardian, 30 Desember 2021).
Bagi Desmond Tutu, perilaku Israel di Palestina sama jahatnya dengan sistem Apartheid di Afrika Selatan. Ia mengatakan: “Saya melihat dengan mata dan kepala sendiri, Israel telah menciptakan realiatas Apartheid di dalam perbatasannya dan di seluruh wilayah penjajahannya. Itu sama dengan negeri tercinta saya, Afrika Selatan; sungguh sangat kejam.” Tutu ingin Israel menghentikan dirinya sendiri dari tindakan apartheid, ketika apartheid telah hengkang dari Afrika Selatan.
Lima tahun kemudian, 1989, Desmond Tutu kembali datang ke Palestina. Ia menyampaikan bentuk solidaritasnya, saat peristiwa Intifada pertama meledak. Tutu disambut ribuah warga Palestina, baik yang beragama Kristen, muslim, maupun perwakilan gerakan perdamaian Israel. Ia bicara tentang kekerasan sistemik dan diskriminasi hukum. “Saya tidak bicara tentang Israel, saya bicara Afrika Selatan,” ujar Tutu di tengah kerumunan saat itu (Thisweekinpalestine, Januari 2022).
Dari segi pemikiran, Desmond Tutu terinspirasi oleh Nelson Mandela, pejuang anti-apartheid. Bahkan, Tutu menyerukan boikot terhadap Israel melalui koran Tel Aviv Haaretz, 9 Agustus 2014. Ia menulis: “Sabtu yang lalu, di Cape Town, terjadi peristiwa besar. Orang-orang berkumpul, tua muda, muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddis, agnostif, ateis, hitam, putih, merah dan hijau, sebagai satu kesatuan yang mengharapkan bangsa yang bersemangat, toleran, dan multikultural. Saya meminta massa itu untuk bersenandung bersama saya: ‘Kami menentang ketidakadilan penjajahan ilegal di Palestina. Kami menentang diskriminasi dan pembunuhan di Gaza. Kami menentang kekerasan yang dilakukan semua pihak. Tapi, kami tidak menentang orang-orang Yahudi.,” (Haaretz, 26 Desember 2021).
Dari sini, pelajaran penting dari Desmond Mpilo Tutu adalah bahwa perjuangan membela Palestina merupakan perlawanan terhadap pemerintahan Israel. Bukan umat agama Yahudi, bukan pula orang-orang Yahudi. Selain itu, Desmond Tutu menyerukan perlawanan terhadap kekerasan dengan jalan non-kekerasan. Ia sendiri menulis: “Tolong kencangkan tali perlawanan terhadap kekerasan dan kebencian dengan mengikuti gerakan tanpa kekerasan demi keadilan bagi semua orang di seluruh negeri.”
Ketidaksenangan Desmond Tutu terhadap penjajahan pemerintah Israel, bukan kepada orang Yahudi, juga ada alasannya. Dalam penjajahan selalu ada kapitalisasi binsis dari penjajahan tersebut. Diseluruh dunia ada sekitar 1.6 juta orang yang mengikuti gerakan Avaaz dan mengkampanyekan anti-korporasi yang mendulang untung dari penjajahan Israel. Antara lain: ABP dari Belanda, Barclays Bank, suplier sistem keamanan G4S milik Bill and Melinda Gates Foundation, perusahaan transportasi Veolia dari Perancis, perusahaan komputer Heelett-Packard, dan suplier bulldozer Caterpillar (Haaretz, 26 Desember 2021).
Desmond Tutu menegaskan bahwa Perjuangan membela Palestina bukan merupakan urusan agama, namun lebih pada urusan moral dan kemanusiaan. Menurut Tutu penjajahan Israel adalah repetisi atau pengulangan terhadap cara kerja Apartheid. Ada kekerasan sistemik dan ketidakadilan hukum. Ada kepentingan korporasi-kapitalis di balik proyek klaim keagamaan itu.
Kemanusiaan (al-Insaniyah) yang diperjuangkan oleh Tutu adalah pesan profetik dan ruh agama yang harus dibumikan oleh siapapun yang mengaku dirinya beriman. Dalam konteks yang lebih luas Kemanusiaan (al-Insaniyah) juga harus menjelma dalam filosofi berbangsa dan bernegara terlebih hal itu merupakan amanah konstitusi, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Artinya, negara hendaklah menjadi isntrumen yang mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya. Bukan sebaliknya, negara menjadi instrumen yang melakukan aksi kekerasan, penindasan dan segala bentuk ketidak adilan yang bisa merusak nilai-nilai kemanusiaan di tengah rakyatnya.
Dalam konteks Palestina, eskalasi politik yang terjadi di Palestina, menurut Tutu salah satunya karena selama ini kebijakan-kebijakan agresor Israel tidak mempunyai ruh al-insaniyah (kemanusiaan). Spirit kemanusiaan yang dalam bahasa Desmon Tutu apabila menjadi instrumen kebijakan niscaya akan mampu menciptakan kohesifitas sosial, perdamaian, keharmonisan dan keadilan. Sehingga mimpi mewujudkan ‘Rainbow country’ sebuah negeri ideal dengan multi ras secepatnya niscaya mampu terwujud. Wallahu a’lam bis shawab.