Esai  

Untuk Menjadi Penulis Harus Ikut Komunitas (?) Menyoal Komunitas Menulis

Satu

Sore itu Karna sedang mencuri dengar dan melihat Guru Drona mengajarkan teknik memanah kepada Arjuna, di bukit dekat lembah.

“Arjuna, kencangkan busurmu. Arahkan anak panahmu ke pohon mandas. Lihat di sana ada burung sirtu!”

“Nyalakan matamu dan tatap mata burung itu!”

“Apakah kau melihatnya Arjuna?”

“Tidak Guru”.

“Cuci matamu dengan satu kedipan”.

“Sekarang apa yang kau lihat?”

“Mata yang melotot Guru”.

“Lepaskan anak panahmu, Arjuna!”

Dua
Setelah penolakan dari Drona untuk menjadi muridnya. Karna kembali ke gua. Dipahatnya batu yang tiap hari menemaninya.

Mata Karna menyimpan mimesis wajah Guru Drona dan bentuk badannya. Dibentuklah patung itu sebagai jelmaan Guru Drona.

Setiap hari Karna berlatih memanah di depan patung Drona. Berlatih. Berlatih. Berlatih.

Karna yang lahir dilengkapi dengan Kavacha (zirah, baju perang) dan Kundala (sepasang anting-anting) di kemudian hari menjadi pemanah pilih tanding. Yang bahkan mengungguli Arjuna yang memiliki kromosom Batara Indra dan berdarah biru Hastinapura.

Kematian Karna dalam perang di Kurusetra karena ia lupa rapalan mantra Bramashtra. Jika tidak, Arjuna dan Pandawa, pasti tersungkur lebur oleh busurnya.
***
Karna dan Arjuna, dibalik juga boleh. Kalau pakai episentrum mayor berarti Arjuna akan saya dahulukan. Karena Arjuna belajar memanah dari komunitas atau lembaga bimbingan di bawah asuhan Dronacharya (Guru Drona).

Penggalan kisah Karna dan Arjuna yang belajar memanah di atas adalah sebuah pengandaian saya menyoal komunitas; komunitas menulis/kepenulisan. Tentunya harus ada keberpihakan, kemanakah saya berpihak? Saya berpihak dalam kemenduaan; kepada Karna yang giat belajar, juga pada komunitas yang tak sekadar sebagai eksistensi belaka.

Komunitas yang baik itu, setiap tahun sanggup menyapih anggota komunitasnya. Bukan malah menambah agen yang harus menyusu pada penggede dalam komunitas tersebut. Jika sebuah komunitas dibentuk untuk memperbanyak anggota, rasa-rasanya lebih layak untuk dilanjutkan sebagai partai politik saja. Tinggal berembuk dan membuat manivesto, lalu mendaftar. Toh dengan jumlah 30 orang sudah bisa bikin parpol di Indonesia.

Baca Juga  Esensi Peran Pesantren Untuk Kemerdekaan

Arjuna dan Karna, dua titisan dari dewa; Batara Indra dan Batara Surya. Arjuna berproses bersama komunitas asuhan Drona, Karna berproses sendiri dan membuat sebuah rivalitas imajiner, Arjuna tampil bak pesolek, Karna anak gua yang hidup sebagai ksatria, menolak menyerah pada sistem relasi kuasa. Lalu? Apa hebatnya jika berkelompok hanya untuk bergaya dan mengikuti tren? Apa nantinya tidak hanya sebagai barang solekan yang terlihat cantik. Tapi tak berdaya hidup keras. Ibaratnya Arjuna adalah burung Merak yang cantik, disediakan makan di kandang tangkaran. Sedangkan Karna adalah Elang Rajawali, yang mencari makan dengan berjuang dan mati-matian.

Hendak mau apa sebenarnya gegap gempita “kampanye literasi” hari ini akan bertujuan? Memproduksi gerakan apa? Membuat perkumpulan apa? Atau sebuah penyadaran yang menggiring pada proses? Jika jawabannya adalah yang ketiga, penyadaran untuk berproses, saya setuju. Jika hanya untuk memperbanyak jumlah massa berkumpul saya kurang sependapat.

Orang-Orang Kalah

Sebuah komunitas tak patut memonopoli kawasan kesusastraan atau dunia kepenulisan. Atau bisa dengan jumawa memvonis orang lain yang tidak masuk dalam komunitasnya dengan mengatakan “ia tak layak disebut penulis”, “karyanya lemah, bukan sastra, hanya curhat! Kalau mau jadi sastrawan ya gabung kesini..!”. Atau laku “sok menang-menangan” lainnya.

Menjadi orang tak beruntung dan kalah adalah jika kerumunan adalah syarat mutlak dalam menjalani hidup. Bahkan manusia lahir sendiri-sendiri, mati dan kembali juga sendiri-sendiri. Kenapa harus ditentukan dengan kuasa kerumunan?

Namun orang kalah adalah kunci dari peperangan. Kunci peperangan dalam epos klasik Mahabarata adalah Karna Raja Angga. Bukan Basudewa Krishna, atau Kurawa yang ambisius. Melainkan Karna. Jika Karna berhasil dibujuk dan tidak ikut perang, maka Kurusetra tak akan tergenang darah. Jika Karna tak lupa dengan rapal mantra dari Ramaparashu untuk memanggil senjata mematikannya, Brahmashtra, maka Pandawa akan binasa.

Baca Juga  Gus Dur, Imlek, dan Toleransi

Karna adalah orang kalah, dibuang sejak kecil, merana dalam hidup, dan direndahkan saat dewasa.

Dulu, Bani Hasyim sebagai rumah besar keluarga Nabi Muhammad pernah dikucilkan dan diembargo bertahun-tahun dalam perdagangan. Karena tidak mau menyerahkan Nabi Muhammad kepada orang-orang Quraisy. Mereka bersabar dan akhirnya ujian itu selesai. Jika mereka tak bersabar, bisa pecah perang antar suku dan kabilah, perang akan terus berkecamuk.

Jauh sebelum itu tersebutlah Socrates sebagai orang kalah, misalkan ia menyerah dan menuruti kemauan sidang, bahwa memilih untuk mengucapkan pengakuan “telah meracuni pikiran anak-anak muda”. Maka filsafat tak akan diterima di muka dunia. Untungnya Socrates memilih menenggak racun, sehingga filsafat terus hidup sampai kini.
Jadi, jangan pernah meremehkan orang-orang kalah.

Tinggalkan Balasan