Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya “Ketika Jurnalisme dibungkam Sastra Harus Berbicara” bertutur banyak hal, salah satunya adalah tentang bagaimana seorang wartawan menghadapi periuk kekuasaan yang mendominasi kontrol terhadap pers. Dalam buku itu, Seno sebagai seorang wartawan merekam rentang waktu sejarah republik pada tahun 1991.
Peristiwa yang akrab kita sebut dengan Insiden Dili 1991 itu tak pelak membawa nama Timor Timur mencuat dalam jagat konstelasi politik internasional. Konflik yang tak berkesudahan membuat situasi tak nyaman berlangsung hingga liberasi tahun 1999.
Seno dalam usahanya untuk membeberkan fakta-fakta tentang peristiwa tersebut mengalami banyak kejadian. Namun, seperti dapat ditemui pada sampul buku, pers Indonesia lebih dahulu “tiarap” dengan melakukan self-censorship. Sebagai “korban” kebijakan media tempatnya bernaung maka Seno menampilkan fakta-fakta itu melalui jalur sastra.
Di jalur sastra ini, Seno menulis buku dengan judul “Jazz, Parfum, dan Insiden”. Kemudian dimuat juga sebagai kumpulan cerpen berlatar belakang sama yaitu “Saksi Mata”. Ada beberapa cerpen mengenai ‘pembungkaman’ ini juga masuk dalam kompilasi cerpen lainnya seperti “Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta”.
Seno sebagai seorang wartawan juga sekaligus seorang sastrawan menggugat peran sastra di tengah masyarakat Indonesia yang diumpamakannya “masyarakat yang tidak membaca”. Makna kata “membaca” disini bisa menjadi satu bahan diskusi, apakah bersifat kata kerja sifat, misalnya. Tulisannya itu dibuat sebagai pidato ketika menerima penghargaan South East Asia Literary Awards di Bangkok, Thailand.
Saya kira, penulis buku Akubra karya Fathul H. Panatapraja ini mempunyai spirit yang sama dengan Seno gumira Ajidarma, meskipun dengan caranya masing-masing. Seno melalui cerpen dan novel sementara Fathul melalui antologi Puisi. Bacalah penggalan prapuisi nya ini, “Sudah saatnya puisi bertugas kembali untuk membersihkan halaman kita dari debu dan udara yang terjejal polusi kata-kata.”
Dalam bukunya, Seno sedang ingin memberi sebuah solusi, bahwa sastra bisa menjadi cara ungkap akan fakta yang ada, fakta yang tabu disampaikan secara jurnalistik di era Orde Baru. Orde Baru menekan jurnalis dan media dengan represi. Jika mengancam, tangkap jurnalisnya, bubarkan medianya. Maka selain menampung kegelisahan para jurnalis, Seno ingin bilang bahwa sastra bisa menjadi solusi yang aman, sebab sastra—dengan caranya sendiri—lebih bisa menyentuh dan memperingati. Atau dengan alasan yang gampang, jika Suharto marah, seorang bisa berlindung dengan berujar, ini kan fiksi, Jendral.
Tentu saja maksud saya tak sesederhana itu. Ada banyak dimensi lain dalam dunia sastra yang bisa dipakai untuk membuat sebuah kritik. Memuat sebuah keluh kesah dan protes sekaligus. Jurus yang ditawarkan Seno tak semuanya terbukti aman. Dengan menulis fiksi satire, meskipun fiksi, seorang sastrawan bisa tetap diciduk, dibuang dan dipenjarakan. Sastra adalah cara lain berbicara tentang fakta. Di antara garis batas fakta dan fiksi itulah sastra bermain dengan cara yang unik. Dengan cara sastra.
Dalam buku ini, Fathul sebagai seorang seniman dan budayawan yang tergabung dalam Lesbumi Kota Malang, nampaknya juga ingin menyampaikan sebuah kritik entah ditujukan kepada siapa, kritik itu terdapat dalam puisinya yang berjudul Sajak yang Lahir dari Gerimis :
Sajak itu turun dari kolong langit
Merupa air yang meluncur
Sendirian dan membeku di tanah basa
Sedetik kemudian
Sajak itu mengajak kawan-kawannya
Untuk turut serta turun dengan telanjang
Mereka terburu-buru seperti desingan peluru
Menghujaniku dalam dekap dingin bahasa Ibu
Sajak-sajak itu telah dipaksa untuk mendurhakai ibu
Dengan merubah bahasa dan alat kelaminnya
Menjadi politik makna
Sanggupkah ia menampung semua cinta
Yang semenjak mula sudah ada
Sejak Adam Hawa bercumbu mesrah di faradisa
Setiap pagi Hawa dengan teliti menghitung seluruh rusuk Adam
Kalau-kalau hilang satu
Maka akan ada Hawa baru
Sajaklah yang menjaga Adam dan Hawa
Sajak adalah bahasa dari ketulusan
Yang membimbing Hypatia menuju kebijaksanaan
Sajak adalah api Promethea yang menyala
Pada kereta matahari yang membara
Untuk manusia semesta raya
Sajak adalah lentera Diogenes yang selalu dibawanya
Bersama anjing-anjing untuk menuju Agora
Dan meneriakkan kalimat sinis;
“Tiada tempat untuk meludah di rumah orang kaya, kecuali di wajahnya.”
Sajak, adalah harta terahir yang dimiliki Manusia. (Malang, 29 Noveber 2018)
Kalau boleh jujur, butuh beberapa kali mengulang membaca puisi-puisi Fathul di atas untuk mendapatkan pemahaman atas kata-kata yang ia pilih, diksi yang ia gunakan, bahkan rima yang dipakai. Menulis puisi tentu berbeda dengan membuang latu rokok di asbak, asal sentil lantas latu itu akan melesat dari bara apinya. Apalagi jika puisi itu mengandung kritik dan teguran terhadap apa saja yang ingin dikritik dan ditegur melalui puisi.
Jenis puisi seperti di atas, mengingatkan saya kepada puisi-puisi yang ditulis oleh WS. Rendra, butuh pemahaman yang cukup ekstra untuk sampai pada intisari yang diramu oleh penyairnya.
Tema Puisi yang ditulis oleh Fathul bagi saya adalah tema puisi-puisi yang tak begitu peduli terhadap trend dan isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat, barangkali itu yang membuat puisi dalam buku ini tak begitu membekas dalam ingatan saya, kecuali satu baris yang menurut saya sangat kuat; “Sudah saatnya puisi bertugas kembali untuk membersihkan halaman kita dari debu dan udara yang terjejal polusi kata-kata.”
Apalagi di era Puisi Visual dan Digital yang sedang berkembang di halaman dunia maya kita hari ini, banyak sekali penggalan-penggalan puisi yang didesain menarik oleh para konten kreator. Saya rasa memang benar kata Fathul, puisi harus bertugas, membersihkan ruang maya kita dari hoaks dan ujaran kebencian!
Penafsiran saya boleh saja salah, sebab kedalaman batin penyair tak bisa dilacak oleh pembaca, apalagi pembaca yang miskin ilmu seperti saya ini. Bagi saya puisi yang bagus dan bisa membuat saya jengkel adalah puisi yang mampu mewakili perasaan dan keadaan banyak orang, jengkel karena kenapa puisi itu tidak saya saja yang menemukan idenya, bagus karena dari puisi itu saya bisa mengetahui fakta yang tersembunyi.
Buku puisi yang ditulis oleh Fathul ini, membuat saya jengkel!
*Ali Adhim adalah penyuka puisi, pernah menulis buku puisi.