Cerpen  

Takdir Lain di dalam Secangkir Kopi Terakhir

Oleh : Ramdhani Sastra Negara

Tercium aroma asap rokok kretek yang menyengat bercampur aroma berkas kertas yang sudah menumpuk di atas meja kerja Ali. Sejenak Ali tercenung. “Semampunya akan aku rampungkan tulisanku,” kata Ali sungguh-sungguh.

Ruangan kerja menjadi satu-satunya tempat bagi Ali untuk menghabiskan waktu di malam minggu. Ali langsung menghubungi Dawiyah dan membatalkan rencana pergi untuk makan malam bersama. Kotak biru berisikan cincin permata yang rencananya akan diberikan kepada Dawiyah pun tertunda.

“Ternyata kamu semakin pintar bicara selama menjadi ketua tim liputan” cerocos Dawiyah sebelum menyudahi obrolannya dengan Ali di telepon. Ali meneguk kopinya dan menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.

Ali jelas menyesal karena tak biasanya Dawiyah bersikap dingin seperti itu. Rasanya aku tak bisa meninggalkan tanah indah ini, yang kini tetap saja menjadi hamparan taman bunga cita-cita. Surga ‘buatan’ yang menawan dan memberiku harapan.

“Paling tidak aku harus tetap merawat segala asa dan cinta dengan tenaga ekstra,” ujar Ali sambil merapikan tumpukkan berkas yang mesti diselesaikannya sebelum jam 12 malam. Ali harus menerima segala risiko dengan lapang dada.

Tanpa sadar Ali merogoh-rogoh kantong jaket kulitnya dan mengeluarkan catatan buku saku, yang berisikan tulisannya dari hasil wawancara dengan beberapa anggota dewan dan pejabat-pejabat yang terjerat kasus korupsi.

Ali tak habis pikir, bagaimana bisa orang-orang yang tergolong berpendidikan “maha-tinggi” seperti mereka, masih melakukan pencurian secara massal dan masih bisa tersenyum sumringah di hadapan bidikan kamera para rekan pewarta.

Ali menyalakan lagi rokok kreteknya, lalu menghembuskan asapnya ke arah atas plafon ruang kerjanya. “Aku yang bekerja sampai mati-matian begini, tak akan pernah bisa membeli rumah mewah di kawasan elit, apalagi memiliki motor Harley Davidson seri terkini.” pikir Ali sambil menguncir rambutnya.

Baca Juga  Buku Saku “Si Petualang Rasa”

Malam minggu kali ini kelabu. Seisi kalbu terbelenggu oleh endapan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan tertimbun gumpalan perasaan rindu yang membentuk seperti lekuk pucuk bukit, dadaku terhimpit oleh getir takdir.

“Aku bisa menemukan tempat ngopi yang nikmat, tetapi aku tak akan pernah bisa menemukan pasangan hidup yang tepat.” keluhnya, lalu Ali menelan habis air kopi didalam cangkir terakhir, yang telah menjadi dingin. Sedingin kalbunya yang tak lagi punya rasa ingin.

Tangerang Selatan, 25 September 2021.

 

Tinggalkan Balasan