Berulangkali KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gusmus) atau yang memiliki nama pena M. Ustov Abisri menyampaikan dalam berbagai tausiyahnya: “Tak ada profesi yang disebut dalam Al-Qur’an kecuali penyair”. Jika dirunut, Gusmus menyampaikan tentang satu surat khusus yang menyebut satu profesi, yaitu surat As-Syu’ara yang berarti para penyair. Allah secara khusus dan mengkhususkan sebuah profesi disebut di dalam Al-Qur’an. Sebuah keistimewaankah? Atau bagaimanakah? Bagi saya “status” bukanlah soal yang maha penting.
Soal lain yang perlu dilacak adalah, tak ada kata buruh dalam terminologi pengkhususan profesi di dalam Al-Qur’an. Padahal profesi ini adalah profesi yang selalu diperjuangkan banyak orang. Lalu bagaimana buruh kita asosiasikan?
Bila merujuk secara ketat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “buruh” berarti: bu.ruh (orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; atau pekerja). Dalam kamus Al-Munawwir buruh dalam bahasa arab adalah الاءجيرatau الاءعمال.
Taruhlah penyair adalah profesi yang disebut dalam Al-Qur’an. Lalu termasuk kerja apakah penyair itu? Bukankah jika merujuk kamus di atas, penyair adalah buruh. Misal kita sering dengar istilah “kuli tinta”, tak lain dan tak bukan, ia merupakan juga padanan dari buruh dalam kekaryaan kepenulisan. Penyair bekerja, untuk siapa? Untuk majikan. Entah untuk dunia, atau Tuhan serta keakhiratan, itulah majikan para penyair. Kerja kepenyairan, kepenulisan, kesusastraan, adalah sebenarnya kerja perburuhan. Secara leksikon bahasa.
Pekerjaan yang Tak Diakui
Jika Al-Qur’an mengakui dan membuat satu surat khusus untuk penyair, malah berbanding terbalik di dunia nyata. Di Indonesia, profesi penyair itu tidak ada. Profesi penulis-sastrawan-pengarang tidak tersedia, di kolom identitas KTP. Aneh memang. Tapi begitulah Indonesia.
Kadang profesi tersebut malahan bisa mencelakakan diri sendiri. Teman saya, suatu ketika ditilang oleh polisi. Dia ditanya apa pekerjaannya, teman saya menjawab dengan gagah, “saya penulis pak!” Mungkin agar si polisi merasa keder, ternyata tidak sama sekali. “Ya sudah, kamu kan penulis. Tulis sendiri di surat tilang, apa kesalahanmu!” Kata polisi tersebut. Matilah dia. Akhirnya ia pun melipir, di atas jok motor, ia tulis daftar kesalahan. Seperti zaman kekristenan-katolisitas Roma sebelum ditentang oleh Martin Luther dari Lutherstadt Eisleben. Menulis sebuah pengakuan dosa.
Kadang saya ketawa-ketawa sendiri saat ada kolokium bela negara. Di sisi lain negara harus dibela tanpa tawar menawar, di seberang jalan ada kelompok teriak “negara toghut”. Penyebabnya adalah melupakan puisi, dan menghamba pada politisi.
Negara Indonesia itu ngelamak pada Al-Qur’an karena tak memasukkan kerja kepenyairan sebagai kerja yang diakui, maka ya memang perlu dijewer. Jelas- jelas Al-Qur’an mengakui, ini cuman institusi negara saja malah menolak.
Negara harus ingat sumpah pemuda, bahwa diksi sumpah pemuda adalah sebuah tubuh puisi. Indonesia dibangun dari imajinasi sebuah puisi! Dan kini penyair tak pernah diakui sebagai profesi. Coba saja cek kolom pilihan profesi saat mengajukan KTP, tak ada profesi penyair. Penulis pun tak ada. Berarti profesi ini amatlah rendah, sehingga tak perlu dimasukkan di dalam kolom profesi. Tak perlu dicita-citakan dan tak ada untungnya mengembangkan pendidikan kepenyairan. Bubarkan saja fakultas- fakultas sastra atau ilmu budaya.
Ingatlah kata-kata Sir Muhammad Iqbal, “Nations are born in the hearts of poets, they prosper and die in the hands of politicians” (negara-negara lahir di hati para penyair, dan tumbuh sejahtera, tapi kemudian mati di tangan para politisi).
Dan dari sini kita semakian tahu, bahwa negara tak membangun jiwa. Tetapi raga. Dan belakangan, tol.
12 Ramadhan 1441 Hijriah