“buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, sebuah pepatah masyhur yang sering digunakan untuk mengambarkan kepribadian anak yang seringkali mirip dengan orang tuanya. Ternyata peribahasa tersebut memang terbukti, bukan hanya sebuah peribahasa kosong belaka karena kita sudah menyaksikan sendiri dalam perjalanan hidup kita. Bahkan, mungkin saja sudah kita alami dalam keluarga sendiri, bahwa memang benar tingkah laku anak-anak kita tidak akan berbeda jauh daripada perilaku kita sebagai orang tua mereka, yang selama ini menjadi contoh panutan bagi mereka. Meski demikian, setiap sesuatu pasti ada pengecualiannya karena terkadang ada seorang anak yang memiliki perilaku 180 derajat berkebalikan dari orang tuanya, Syekh Ihsan Jampes mungkin salah satunya.
KELAHIRAN
Syekh Ihsan Jampes dilahirkan di Jampes, Kediri, pada tahun 1901 M. Ayahnya adalah KH. Dahlan bin KH. Soleh, pengasuh pesantren di Jampes. Kakek beliau, KH Soleh, berasal dari Bogor, Jawa Barat, yang kemudian hijrah ke Kediri di Jawa Timur. Syekh Ihsan memiliki adik kandung yang juga terkenal alim, yaitu KH Marzuqi Dahlan, kelak menjadi pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri setelah dinikahkan dengan putri KH Abdul Karim Manaf Lirboyo. Beliau lahir dan dibesarkan di kalangan pesantren asuhan ayahandanya yaitu KH. Dahlan.
Syekh Ihsan Jampes memperoleh Pendidikan pertamanya dari ayahnya sendiri. Saat masa remaja, Syekh Ihsan sangat gemar menonton pertunjukan wayang dan terkenal sebagai remaja yang sangat nakal. Dari pertunujukan wayang itulah, Syekh Ihsan banyak belajar tentang kejidupan manusia. Meski dibesarkan di pesantren, hal itu tak menghalangi pemuda ini menjadi orang yang gemar berjudi.
Perilaku menyimpang Syekh Ihsan lantas membuat keluarganya resah dan gusar. Yang lebih parah lagi, meski sudah seringkali di nasehati kebiasaan berjudinya semakin hari semakin menjadi-jadi. Hingga suatu hari pihak keluarga mengajak Syekh Ihsan muda berziarah ke makam salah satu ulama besar nan sakti yang tak lain adalah kakeknya sendiri, Ki Ageng Yahuda. Di makam Ki Ageng Yahuda inilah pihak keluarga berdoa perihal Syekh Ihsan, “Ya Allah jika anak ini (Syekh Ihsan) tidak bertaubat, maka cabut saja nyawanya”.
Selepas berziarah, suatu malam Syekh Ihsan bermimpi didatangi Ki Ageng Yahuda yang membawa bongkahan batu besar sambal lalu berkata, “jika kamu tidak menghentikan kebiasaan burukmu, maka akan kuhantamkan batu besar ini”. Kemudian Syekh Ihsan menjawab pelan “apa hubungannya dengan kakek ? ini kehidupanku, mengapa kakek ikut campur”. Tak lama setelah itu melempar batu besar itu mengenai kepala Syekh Ihsan hingga membuat kepalanya pecah. Setelah itu Syekh Ihsan seketika terbangun, ber-istighfar dan berdoa “Ya Allah apa yang sebenarnya terjadi, Ya Allah ampuni segala dosaku”.
Sejak kejadian malam itu, Syekh Ihsan mulai sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah perbuatan tercela yang tak seharusnya dilakukan. Sejak saat itu juga Syekh Ihsan mulai belajar dan nyantri ke beberapa pesantren besar. Di antara guru utama Syekh Ihsan Jampes adalah para ulama besar tanah Jawa pada zaman itu, yaitu KH Kholil Bangkalan (Madura), KH Khozin Bendo (Pare), KH Idris Jamsaren (Solo), dan KH Soleh Darat (Semarang).
KARYA-KARYA
Sejak muda, Syekh Ihsan dikenal sebagai pemuda yang sangat gemar membaca. Buku-buku yang dibacapun beragam, mulai dari yang bertema Agama dan lainnya, dari yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia. Disamping hobi membaca, Syekh Ihsan muda juga gemar menulis dan mengarang.
Hal yang menarik dari sosok Syekh Ihsan Jampes adalah penguasaannya akan bahasa Arab yang matang, meski tidak pernah belajar dan bermujawarah di Makkah atau negeri Arab lainnya. Tingginya citarasa bahasa Arab beliau dapat tercermin dari karya-karya beliau yang ditulis dalam bahasa Arab. Terbukti, beliau memiliki karangan bebrapa kitab yang terkenal. Diantara karangan Syekh Ihsan Jampes adalah sebagai berikut :
1. Tashrih Al-Ibarat
Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat, kitab ini merupakan penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH. Ahmad Dahlan, Semarang.
2. Siraj Al-Thalibin
pada 1932, ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali. Kitab Siraj Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia, karena kitab tersebut menjadi kitab yang cukup populer di Mesir.
3. Manahij Al-Amdad
Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad, penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.
4. Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan
Selain Manahij Al-Amdad, masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan, sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam. Nampaknya, kitab satu ini terinspirasi dari kehidupan beliau yang sangat senang merokok ditemani secangkir kopi.
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama beliau hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin. Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia untuk membantu mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.
Dalam kolofon, didapati keterangan jika karya agung ini diselesaikan di Kampung Jampes, Kediri, pada siang hari Selasa, 29 Sya’ban tahun 1351 Hijri. Data ini bertepatan dengan 28 Desember 1932 Masehi. Tertulis dalam kolofon;
كانت مدة تهذيبه مع شواغل الدهر وإبلائه ثمانية أشهر إلا أياما، آخرها في نهار الثلاثاء التاسع والعشرين من شعبان المكرم الذي هو من شهور سنة إحدى وخمسين بعد الثلثمائة والألف من هجرة من له تمام العز والشرف. وذلك بمنزلي في محلة جمفس ببلد كديري من بلاد جاوة
Artinya : “Adapun masa penulisan kitab ini adalah delapan bulan kurang beberapa hari lamanya, akhir kali diselesaikannya pada siang hari Selasa, tanggal 29 bulan Sya’ban tahun 1351 Hijri. Selesai di rumahku di desa Jampes, negeri Kediri, salah satu dari negeri-negeri Jawi [Nusantara]”.
Keterangan dalam kolofon di atas sekaligus memberikan informasi lain yang sangat mencengangkan, yaitu kitab syarh setebal lebih 1000 halaman ini diselesaikan oleh Syekh Ihsan Jampes hanya kurang dalam jangka masa delapan bulan lamanya.
Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.
Syekh Ihsan Jampes wafat saat beliau masih terbilang muda pada usia 52 tahun. Beliau wafat wafat pada 25 Dzulhijjah tahun 1371 Hijriyah (September 1952 M) dan dikebumikan di Jampes, Kediri. Dengan wafatnya beliau, muslim nusantara kehilangan sosok sufi besar yang menjadi ikon keislaman di Indonesia.
Nama : Muhammad Hakim Mahdhum
Status : Mahasantri Ma’had Aly Situbondo