Oleh: Afrizal Qosim
Sejarah Islam awal menisbatkan dunia muslim penuh dengan musik yang bernuansa ideologi dan praktis keagamaan. Nuansa itu mengantarkan musik pada wilayah karam, pasang-surut perdebatan hukum pun terjadi berulang-ulang. Sejenak kita bisa mengambil jeda nafas dari pengap perdebatan ihwal halal-haram musik yang sesekali menyeruak di permukaan itu dan bermigrasi ke wilayah yang lebih rindang, yaitu estetika musik Islam.
Seperti pengalaman yang dialami oleh penikmat musik ketika mendapati sebuah gaya estetika musik modern dari kalangan pesantren. Penikmat musik itu merekognisi dirinya sebagai seorang Muhammadiyah-Abangan dan ‘aktivis sepuh’ dunia perbukuan di Yogyakarta.
Pada suatu waktu, dia pernah menulis status di Facebook-nya, jika dirinya “Tidak paham shalawat Burdah, Nariyah, Munjiyat dan shalawat populer lainnya”.
Meskipun demikian, penikmat musik itu memberi penjelasan yang bikin saya kagum,“Mungkin sudah setengah tahun ini, tiap hari (pagi, siang, malam) saya selalu mendengarkan lagu-lagu berbahasa Arab dari anak-anak Santri Njoso lewat youtube. Mereka adalah santri-santri dari Pesantren Darul Ulum Jombang”. Tulisnya sembari menautkan link shalawat dari Youtube Santrinjoso yang berjudul “Inni ‘Aroftuka” yang sudah ditonton sebanyak 1,300,000.
Tidak berhenti di situ, dia juga mendeskripsikan personifikasi personil Santri Njoso, “Saat tampil, biasanya mereka mengenakan baju koko, sarung dan peci. Benar-benar khas santri.”
Baru dari pengalaman Mas Buldan saja, kita bisa mengamini nilai universalitas sebuah musik; betapa musik menjadi sebuah instrumen modern yang mendapat apresiasi dari khalayak luas secara lintas generasi dan lintas wilayah geografis. Belum lagi proses sosial yang melekat dalam bermusik dan penerimaannya, menjadi suatu hal yang bernilai positif seperti pengalaman estetik spiritual yang, sama dengan pengalaman spiritualitas agama yang mengajak kepada pengakuan akan kebesaran ilahi dan penyerahan total kepada kebenaran.
Soundscape Santri
Santri Njoso merupakan akun youtube genre musik yang secara normatif dikelola oleh santri Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, salah satu pesantren tua di Jawa Timur yang didirikan oleh KH Tamim Irsyad pada tahun 1885. Akun Santri Njoso dibuat sejak 7 Agustus 2018.
Dalam perjalanannya, mulanya Santri Njoso merupakan sekumpulan grup hadrah pesantren yang berpentas di pesantren dan hajatan masyarakat sekitar. Kemudian mereka bermetamorfosis dengan mengamplifikasi bakat tersebut ke dalam musik digital. Melalui bakat ini, produktivitas dan kelihaian mereka nampak dalam memproduksi cover shalawat yang mengakomodasi irama musik pop dan alat-alat musik kontemporer.
Saat artikel ini ditulis, Santri Njoso sudah memiliki 678,000 subscribers, 134 video, dengan 124,400,194 penonton secara kumulatif. Dalam salah satu videonya yang berjudul Huwannur memperoleh 24 juta penonton sejak diterbitkan pertama kali pada 27 Oktober 2019, disusul lagu Shollallahu ala Muhammad dengan 24 juta penonton, Innal Habibal dengan 9,4 juta penonton dan Medley Shalawat Nariyah dan Munjiyat dengan 6,7 juta penonton. Meski angka itu belum sebanding dengan pencapaian Nisa Sabyan dkk, tapi mereka dinilai sudah berhasil mengambil hati umat digital.
Sahih, aktivitas dakwah dalam subkultur musik digital merupakan fenomena baru dalam mode dakwah pesantren. Sebelumnya, penyebaran dakwah digital pesantren masif diinisiasi oleh figur kiai, ustaz, karya tulis dan beberapa musik-musik dengan aransemen Islam klasik yang bergandengan tangan dengan budaya populer.
Subkultur musik pesantren dengan wajah baru kemudian diperkenalkan oleh Santri Njoso melalui cover shalawat akustik. Bagi Sulthon Falakhudin, vokalis utama Santri Njoso, dia menyebut alasan utama memilih cover shalawat akustik karena minat dan saran dari pendengar, “Terutama jenis akustik yang bernuansa mellow. Tidak bisa dipungkiri bahwa nuansa dari musik akustik (dalam hal ini petikan gitar) adalah kalem, lembut dan kalau dibawakan dengan ketulusan akan bisa menyentuh hati para pendengarnya.”
Sebagai asas prioritas dalam berkarya, Santri Njoso dalam hal ini sudah mengalami apa yang disebut oleh Roger Fidler (1990) sebagai digital media-morphosis dari profesi content creator, yaitu keterbukaan, kolaborasi dan networking. Asas prioritas itu menunjukkan dua hal, pertama, ia membantah stigma jika kaum pesantren hanya sebagai pasar/konsumen. Kedua, ia menyulut tradisi kosmopolitanisme pesantren yang membuat selingkar wilayah segmentasi Santri Njoso kian membara.
Dari karakteristik tersebut, mereka berhasil menyasar penikmat dan pengamat musik Islam dari beberapa genre, mulai dari Arabic Instrumen, akustik, piano, keroncong, banjari, kentrung hingga reggae. Variasi genre musik yang mereka akomodasi menjadi kekayaan khos dalam misi dakwah Islam melalui jalur soundscape Islam dan menegaskan identitas Santri Njoso sebagai bagian dari Santri-Pop.
Wacana estetika musik Islam—gaya musik, repertoar, pemain, instrumen dan konteks—secara eksplisit dikaitkan dengan eksplorasi dan ekspresi berbagai identitas Islam, dalam hal ini di Indonesia kontemporer. Ekspresi dakwah musik Islam yang dilakukan Santri Njoso ini bisa dibilang sebagai counter culture dari medan musik populer sebagai arena perebutan antar beberapa kekuatan, yang pada taraf tertentu Santri Njoso akan mempertahankan status quo berdasarkan modal sosial berupa jaringan pesantren di Indonesia yang berjumlah sekitar 25,000-an itu. Dalam arti, kehadiran mereka sekaligus memperluas cakupan wilayah dakwah pesantren di jagad digital.
Estetika Islam
Pada dasarnya, mempercakapkan kreativitas dan ekspresi musik pesantren sama halnya dengan membincang estetika. Menurut Majdi Wahbah (1973) dalam Mu’jam al-Mustalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, estetika dipahami sebagai ‘ilm al-jamal, yang secara khusus hanya terkait dengan penilaian terhadap kualitas keindahan sebuah karya seni, terutama karya sastra. Dalam Islam, nilai keindahan merupakan unsur penting yang sama dan sejajar dengan nilai kebenaran dan nilai kebaikan. Tuhan, di samping dinyatakan Maha benar, juga disebut sebagai Maha Indah dan mencintai keindahan dalam bahasa Ismail Raji Al Faruqi (1998) al-wahid al-muta’addid fi al-mutajalli, satu tapi manifestasinya banyak.
Secara sosiologis, seni yang diterima dalam Islam ialah seni yang mengakibatkan pelakunya, memandang dan mempergunakannya dengan cara-cara unik dan khusus Islami. Hal ini sejalan dengan alasan dan tujuan utama Santri Njoso. “Tujuan yang utama tentu saja dakwah, khususnya dalam hal mensyiarkan shalawat, yaitu membuat orang tertarik membaca atau melantunkan shalawat. Selain itu juga mencari keberkahan dari shalawat. Melalui shalawat-shalawat yang kami lantunkan, salah satu harapan kami adalah dunia digital (terutama media sosial) ramai dengan konten shalawat”, kata Sulthon Falakhudin ketika saya wawancari beberapa waktu yang lalu.
Dengan begitu, kehadiran Santri Njoso memantik rangsangan kultural pengalaman estetik spiritual masyarakat urban dalam wajah mendengarkan dan melantunkan shalawat. Pengalaman itu menyifati kesalehan urban (urban piety) sebagai wilayah kompleks yang mewadahi kualitas nikmat dalam sebuah keindahan. Karena itu, sekali lagi, pengalaman estetik spiritual sama dengan pengalaman spiritualitas agama yang mengajak kepada pengakuan akan kebesaran ilahi dan penyerahan total kepada kebenaran.
Afrizal Qosim (Kolumnis, Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Santri PP Al Munawwir Krapyak).