Oleh: Hamizul Fuad
Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (Jombang) nama lengkapnya, yang dilahirkan di Jomban pada Selasa Kliwon 14 Februari 1871 M/24 Dzul Qa’dah 1287 H. Dari pasangan suami-istri Kyai Asy’ari dan Nyai Halim dari 11 bersaudara. Salah satu karya Beliau adalah Kitab ‘Adabul Mu’alim Wal Muta’alim yang benar berhak mendapatkan nominasi masterpiece yang sampai sekarang masih eksis di kalangan Pesantren sebagai lembaga Pendidikan Islam, khususnya untuk Indonesia. Tentu umumnya, untuk dunia.
Tersiar kabar, bahwa di PP. Miftahul Huda Tsani Nanggerang – Majalengka yang dipimpin oleh KH. Iwan Sofwan Anshori, S. Pd. I (Rais Ranting Desa Nanggerang Wilayah MWCNU Kec. Leuwimunding – Majalengka) mengadakan agenda tahunan (baca: ngaji pasaran). Beberapa kitab yang diaji yatu:
1). ‘Adabul Mu’alim Wal Muta’alim;
2). Al-Mandzuumah Al-Baiquuniyyah;
3). Kitaabul Hikam Al-Haddaad dan
4). Al-Mandzuumah fii ‘ilmil maquulaatusy Syaathibi Al-Qunthuri
Sedikit dalam catatan pinggir atau bahasa mahasiswanya footnote, dua sumbangan terbesar dari Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (Jombang), seperti: Pertama, Membangun Pondok Pesantren Tebuireng – Jombang. Kedua, mendirikan organisasi masyarakat berhaluan religius-nasional, yaitu: Nahdlatul Ulama.
Santri harus hafal siapakah pengarang daripada kitab tersebut. Sedikit kesal, beberapa halaman tidak dilughot dengan makna Jawa walau saja penjelasan dengan makna Sunda. Halaman-halaman tersebut dari halaman dua puluh dua hingga dua puluh delapan berasalan terdapat suatu kepentingan yang tidak bisa ditinggal seperti, rapat untuk tasyakur imtihan ke-31 PP. Raudlatul Mubtadiin (Rimbo), Leuwikujang – Majalengka.
Dua hal, bagi santri yang bisa menghambat dalam menuntut ilmu terutama di lembaga dengan sapaan Penjara Suci. Menurut Imam Nawawi R.A berkata, “Ilmu akan mati diantara dua paha wanita.” Sedangkan bertentangan dari pendapat awal menurut Imam Suyuti R.A berkata, “Ilmu akan tetap hidup diantara dua paha wanita.” Maka, selaku santri Anda sekalian yang menentukan.
Momen di kobong tiada duanya – Ujar KH. Iwan Sofwan Anshori, S. Pd. I yang tertulis dalam catatan pinggir. Suatu ketika, diceritakan ulama pada zaman dahulu tak luput dari pemikirannya yang dituangkan sebagai karya berupa mengarang beberapa sebuah kitab klasik.
Terdapat sebuah istilah, “Ilmu itu di datangkan bukan sebaliknya mendatangkan.” Namun, ulama pada zaman sekarang tidak menuntut kemungkinan untuk mengarang sebuah kitab klasik. Akankah, santri atau bagi penulis dengan senang menyebut kaum sarung pun mengarang dari buah pikiran semasa menempuh belajar di Pondok Pesantren? Dengan demikianlah, pantas bahkan berhak ulama yang mumpuni mengarang akan buah pikirannya disebut semestinya.
Lalu, kaum sarungan yang cikal bakal penerus disebut ulamnya. Semoga saja. Mengapa, karya beliau tetap eksis di kalangan Pondok Pesantren? Sebab, kitab tersebut mengajarkan tata krama dan sangat penting untuk dipelajari. Seratus tahun NU telah membumi bahkan menjadi bagian masyarakat dalam hal budaya bersamaan pula karangan ini mengikuti menjadi saksi sejarah akan lahirnya NU. Sebagai tabaruk-an, pada senin malam selasa, 10 April 2023 M/19 Ramadan 1444 H telah tamat semua kitab-kitab.
Dan setelah mayoran (baca: makan malam) ala santri kemudian menziarahi makam yang berada di Nanggerang, yaitu: Maqbaroh Buyut Wanasari yang berada di belakang PP. Miftahul Huda Tsani Nanggerang. Setelah usai, dan berlanjut ke komplek PP. Miftahul Huda, Rajagaluh Lor yang berada di Majalengka merupakan pusat dari PP. Miftahul Huda Tsani Nanggerang – Majalengka. Wallahu ‘alamu bish showwaab.