Oleh: Mohammad Ulil Rosyad
Sering kita mendengar kasus viral akhir-akhir ini tentang pembully-an senior ke junior saat di sekolah. Kekerasan anak terhadap orangtuanya begitu juga sebaliknya. Hingga rekan kerja saling bertengkar sebab adanya miskomunikasi antar sesama. Dan tidak sedikit kasus tersebut hingga memicu pada tindak kriminal. Hal ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan “trend”, karena kejadian tersebut akan terulang secara terus menerus dan menjadi kasus viral tahunan. Melunturkan wajah indonesia sebagai negara yang ramah. Faktanya setelah diteliti lebih jauh ternyata salah satu penyebab kasus ini ialah karena kurangnya edukasi dan kontrol bersosial dengan baik.
Tiap manusia memiliki satu sifat yang sama secara naluriah, yakni mereka secara mental akan senang dengan orang yang berbuat baik pada mereka, sebaliknya mereka akan benci pada orang yang berbuat buruk. Hal ini berlaku secara universal pada semua umat manusia. Meski ada beberapa manusia yang memiliki cara pandang tentang standar baik buruk yang berbeda. Ambil contoh seorang sufi hanya akan menggunakan mata batin mereka untuk menilai bahwa semua yang terjadi padanya, hal baik maupun buruk ialah ketetapan dari Allah, dan kesemuanya adalah bukti kasih sayang Tuhan padanya. Sehingga cinta kasih sayang mewarnai kehidupan mereka dan menolak segala kebencian pada apapun.
Hal ini berbanding terbalik dengan seorang pemimpin negara/ penguasa yang mana stereotip baik dan buruk harus sesuai dengan kedudukannya. Semua harus sesuai dengan hak mereka sebagai penguasa. Selagi belum ada stempel “kinerja baik” maka tetap akan dipandang sebuah keburukan. Maka bagaimana sikap bijak kita sebagai manusia yang pasti mengalami interaksi sosial dalam mengatasi masalah di atas?
Oleh Ahnaf bin Qais –seorang sahabat Nabi & pujangga Arab- mengajarkan kita bagaimana cara bijak dalam berhubungan sosial. Bagaimana sikap seorang manusia dalam bersosial dan tidak menyinggung perasaan siapapun yang kita temui dan tetap menjaga persaudaraan, kita sebut ini dengan seni bersosial. Oleh Qais membagi manusia pada tiga tingkatan. Pertama, Manusia dengan derajat lebih tinggi darinya. Kedua, Manusia dengan derajat sama dengannya. Ketiga, Manusia dengan Kedudukan di bawahnya.
Ketiga tingkatan tersebut harus dihadapi dengan sikap yang sesuai pada tingkatannya masing-masing dan tidak bisa disamaratakan. Seorang bos tidak mungkin membongkar privasi keluarga pada pegawainya. Begitu juga seorang murid tidak akan pernah menyapa gurunya dengan kata “bro”. oleh karenanya berikut tips yang diberika oleh Qais bagaimana menempatkan sikap secara proporsional.
Bergaul dengan orang yang lebih Tinggi
Ketika seorang ingin berhubungan dengan orang yang lebih tinggi, baik dari segi ilmu, pangkat, ibadah, keturunannya. Maka harus menentukan sikap khusus agar tidak menyinggung perasaan mereka. Oleh karenanya sikap yang paling bijak ialah dengan menjaga tindak-tanduk yang mencerminkan pengakuan terhadap kedudukan dan kelebihan mereka. Contoh yang paling sederhana seorang junior harus menghormati seniornya.
Seorang yang Alim dan Sholeh diberi hak khusus oleh islam untuk dihormati. Hak tersebut ditetapkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Adapaun melaksanakan ketetapan tersebut merupakan ladang pahala bagi kita. Semakin luas ilmunya dan semakin saleh sikapanya, maka semakin besar kewajiban menghormatinya. Apalagi ia adalah guru kita sendiri. Menghormati seseorang tidak cukup hanya dengan mengakui kedudukannya. Harus dengan memosisikan diri di bawah mereka dan merendahkan diri di hadapannya. Secara total sikap yang diambil harus mencerminkan ketawadu’an.
Bergaul dengan orang yang Sepadan
Ketika bergaul dengan orang yang tikatannya sama (teman), sering dari kita cenderung melakukan kesalahan-kesalahan yang tak disengaja. Ini wajar terjadi karena antara satu orang dengan lainnya tidak terdapat jarak status yang cukup untuk menjadi rem otomatis dalam bertindak. Coba kita perhatikan ketika berkumpul dengan seorang ustad maka akan ada perasaan untuk berhati-hati agar tidak menyinggung perasaanya dan berusaha untuk menghormatinya.
Kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja akan terjadi baik dari dalam diri atau dari teman. Maka satu-satunya cara bersosial dengan bijak ialah dengan menumbuhkan rasa saling pengertian, saling memaafkan dan saling memahami. Alasan apapun yang diberikan harus didengar dan diterima sebagai langkan menghargai perteman antara sesama.
ketika mereka menceritakan problematika yang terjadi di keluarga maka kita harus berusaha bagaiamana membantunya, meski hanya mendengarka curhatannya. Karena ketenangan dalam bercerita lebih dibutuhkan daripada memberikan solusi yang intimidatif.
Bergaul dengan orang yang di Bawahnya
Ketika berkumpul dengan orang-orang yang masih dibawahnya; seperti bos ke pegawai, senior ke junior, guru ke murid, mentri ke anggota dan lain-lain. Maka hendaknya seseorang dapat menjaga sikap yang mencerminkan nilai kewibawaan. Tindakan yang salah, seperti meludah sembarangan, berteriak-teriak, tertawa keras, hate speech di sosmed, bergurau secara berlebihan dapat menjatuhkan kewibawaan dan harga dirinya di mata mereka. Jika hal seperti ini dilakukan oleh seorang tokoh panutan, maka dapat merusak moral masyarakat secara umum.
Seorang pemimpin di hadapan kaumnya ibarat selembar kain putih yang akan menampakkan kotoran dengan jelas walaupun hanya berupa titik kecil. Imam as-Syafi’i mengatakan:
احفِظُ لَشَيْبِكَ مِنْ عَيْبٍ يُدَيْسُهُ # إِنَّ البَيَاضَ قَلِيلُ الْحَمْلِ لِلدَّنَسِ
“Jagalah ketuaanmu (kewibawaanmu) dari keburukan yang mengotorinya, sesungguhnya (kain) putih sangat rawan terhadap kotoran.”
Satu hal lagi yang perlu diperhatkan oleh pemimpin adalah menyadari peran yang harus diambilnya saat berhadapan dengan masyarakat. Jika dia adalah seorang ahli ilmu, maka ia harus menularkan ilmunya, jika seorang jutawan maka harus mendermakan hartanya, dan seterusnya. Ketika seseorang terlalu menjaga sikap dan jarak sampai melupakan apa yang harus ia berikan pada mereka dengan keunggulannya. Ia akan tersingkir dalam pergaulan. Ia akan mendapatkan social judgment secara alami.
ومَنْ يَكُ ذَا فَضْلٍ فَيَبْخَلْ بِفَضْلِهِ# عَلَى قَوْمِهِ يُسْتَغْنِي عَنْهُ ويُذَممُ
“Barang siapa memiliki keutamaan, kemudian kikir pada masyarakat dengan keutamaan yang dimilikinya, maka ia akan ditinggalkan dan dicela”
Bersosial dengan Bijak
Pada kesimpulannya semua manusia di dunia ini mendapatkan peran yang penting pada masing-masing lini. Hukum sosial yang memilah mereka menjadi guru-murid, bos-pegawai, mandor-tukang, memaksa mereka semua masuk pada skenario besar Allah. Tidak akan ada guru tanpa adanya murid, tidak akan ada pemerintahan bila tak ada masyarakatnya.
Bilamana hal ini dipahami oleh semua umat manusia, maka akan menciptakan pandangan yang sopan terhadap orang lain dengan tidak meremehkan siapapun. Hingga menjadi sebuah keharmonisan yang tak hanya sektor sosial namun juga agama, bangsa dan bernegara.
(والله أعلمُ بالـصـواب)