Oleh: Intan Syarifatul Ula Muhaimin
Etnis Tionghoa datang ke kota Surabaya sejak lama, tidak diketahui pasti kapan datangnya mereka. Ada salah satu sumber dari Tiongkong mengatakan bahwa kedatangan Etnis Tionghoa ialah pada abad ke 13, mereka mulai menyambung dan menjalani kehidupannya di kota pahlawan tersebut. Pada sumber ini juga menyebutkan bahwasannya Etnis tionghoa ini merupakan tentara Tar-Tar yang dikirim oleh Kubilai Khan. Untuk letak pemukimannya diperkirakan disekitar Sungai Brantas kiri (Kali Porong), yang mana pemukiman ini diperkirakan menjadi tempat tinggal awal masyarakat Tionghoa Islam pada abad ke 14 di kota Surabaya.
Persepsi tentang kejanggalan orang tionghoa masuk ke Indonesia khususnya dikota Surabaya masuk sejarah masuknya islam berlawanan dengan perjalanan sejarah masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang banyak disebarkan oleh Muslim yang berasal dari daratan China. Pelayaran orang-orang Tiongkok menuju Surabaya menggunakan dua rute yaitu rute timur dan rute barat. Rute timur melewati Filipina kemudian pecah menjadi tiga tujuan yaitu Maluku, Sulawesi dan Kalimantan yang berakhir di sepanjang pantura Jawa.
Lain hal nya dengan rute Barat, mereka menyusuri kawasan pantai Thailand menuju Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera dan berakhir di sepanjang pantura Jawa. Mereka diketahui telah berlayar ke Pulau Jawa jauh sebelum bangsa Portugis datang dikepulauan Nusantara pada 1511. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Surabaya mayoritas berasal dari Tiongkok bagian selatan.
Mereka mayoritas berasal dari Quanzhou, Xiamen dan Guangzhou (Canton). Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Surabaya pada awalnya adalah untuk menjalin hubungan perdagangan dengan penduduk pribumi. Hal ini dikarenakan Surabaya memiliki posisi strategis dalam jalur perdagangan laut Nusantara. Posisi sebagai pintu gerbang untuk masuk wilayah kerajaan-kerajaan yang tersebar di Jawa Timur, membuat Surabaya menjadi kawasan yang ramai dengan aktifitas perdagangan terutama yang menggunakan jalur aliran sungai-sungai besar.
Dikalangan Wali Sanga, terdapat seorang; yang masih keturunan Tionghoa. Wall tersebut adalah Raden Rahmad yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel, yang dahulu bernama Bong Swi Hoo. Dari tersebut diatas diketahui bahwa dipeluknya Islam di kalangan etnik Tionghoa tidak saja terjadi di masa kini, tetapi sudah dimulai kira kira pada abad 7 Masehi. Dalam perkembangan lcbih Ianjut. muslim Tionghoa membentuk wadah komunikasi.
Wadah tersebut dulunya bernama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang pada akhirnya berubah menjadi Pembina iman Tauhid Islam, tanpa merubah eksistensinya yaitu sebagai komunikasi antara Tionghoa muslim dengan Pribumi muslim. Seorang Tionghoa yang masuk Islam tidak dapat diidentikkan dengan PITI, karena keanggotaan PITI bersifat tidak mengikat. Tetapi, dalam proses keislaman seorang, Tionghoa. ia selalu disarankan untuk berhubungan denaan PITI yang bertujuan meningkatkan pemahaman tentang Islam.
Perkembangan buadaya Etnis Tionghoa Muslim banyak memberikan dampak posistif terhadap masyarakat lainnya, contohnya adanya pembaruan adat istiadat antara Etnis Tionghoa dengan agama Islam, dapat saling berkomunikasi dengan baik dan terarah antar masyarakat, adanya pembaruan agar tidak membedakan agama dan etnis, sikap toleransi terhadap perkembangan masyarakat serta menjalin persahabatan, kerukunan, dan perdamaian.
Etnis tionghoa muslim selain melakukan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah (pengajian, ceramah keagamaan, dzikir bersama) ada rasa kepedulian terhadap orang lain seperti bakti sosial, donor darah, kunjungan panti asuhan, panti jompo serta menyewakan tempat dilapangan masjid Muhammad Cheng Hoo untuk acara pernikahan ataupun olahraga. Akulturasi kebudayaan Etnis Tionghoa Muslim di Masjid Muhammad Cheng Hoo meliputi perayaan hari-hari besar imlek, cap go meh, ceng beng, idul fitri, idul adha, isra’ mi’raj dan juga pernikahan yang diselenggrakan di Masjid Cheng Hoo.
Sebagaimana yang dilansir dari prasasti yang tertempel di Masjid Cheng Hoo, Masjid tersebut berlokasi di Jl. Gading No.2, Ketabang, Genteng, Surabaya, memulai pembangunan dari tanggal 15 Oktober 2001, diawali dengan peletakan batu pertama yang dihadiri sejumlah tokoh tionghoa di Surabaya. Pembangunan hanya memakan waktu satu tahun dan selesai pada Oktober 2002. Masjid ini didirikan atas campur tangan para sesepuh, penasihat, pengurus Pembina Imam Tauhid Islam (PITI), pengurus yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia, Jawa Timur, serta tokoh masyarakat Tionghoa yang ada di Surabaya.
Setiap bangunan yang ada di Masjid Muhammad Cheng Hoo memiliki ukuran bangunan utama berukuran 21×11 meter, dengan ukuran bangunan utama 11×9 meter. Panjang 11 meter yang terdapat di bangunan utama Masjid ini menyamakan dengan pada saat pertama kali Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS yang memiliki panjang dan lebar 11 meter. Lebar 9 meter juga memiliki arti lain pada bangunan Masjid ini , diambil dari keberadaan Wali Songo dalam melaksanakan syi’ar Islam di tanah Jawa. Sedangkan arsitekturnya sendiri yang menyerupai kelenteng itu perwujudan identitas sebagai muslim Tionghoa (Islam tiongkok) di Indonesia, selain itu agar dapat mengenang leluhur warga Tionghoa.
Keindahan seni dan budaya cukup kental di masjid ini. Masjid Cheng Ho Surabaya adalah masjid pertama di Indonesia yang menggunakan nama Muslim Tionghoa, dan menjadi symbol perdamaian umat beragama. Tak heran, banyak masjid didirikan untuk mengenang jasa laksamana asal Tiongkok ini. Beberapa masjid Cheng Ho dibangun dengan arsitektur khas Negeri Tirai Bambu, menjadi akulturasi yang sangat apik dengan arsitektur khas Islam.
Bagian atas bangunan yang bertingkat tiga merupakan pengaruh Hindu Jawa. Bentuknya segi delapan dan menyerupai pagoda. Dalam kepercayaan Tionghoa, angka 8 berarti ‘Fat’ atau keberuntungan. Di bagian serambi masjid terdapat lima buah anak tangga yang merepresentasikan Rukun Islam. Sedangkan enam buah anak tangga di bagian dalam masjid merepresentasikan Rukun Iman. Secara keseluruhan, Masjid Cheng Ho dapat menampung 200 orang jamaah.
Masjid ini merupakan hasil perpaduan berbagai gaya sehingga membuat Masjid Cheng Ho didominasi oleh empat warna merah, kuning, biru, dan hijau. Dalam kepercayaan Tionghoa, keempat warna ini adalah simbol kebahagiaan, kemasyhuran, harapan, dan kemakmuran. Selain menikmati keindahan arsitektur bangunan masjid, pengunjung juga dapat melihat relief laksamana yang bernama lengkap Muhammad Cheng Hoo bersama kapal yang digunakan saat mengarungi Samudera Hindia. Salah satu pesan yang hendak disampaikan melalui relief ini adalah agar umat Islam tetap rendah hati dalam menjalani hidup sehari-hari.
Sementara, pintu masjid yang dibangun tanpa menggunakan daun pintu. Ini melambangkan, Masjid Cheng Hoo terbuka bagi siapa saja, dalam arti kata, ketika ingin masuk ke dalam masjid, seseorang harus meninggalkan hal-hal yang bersifat golongan dan sektarian. Selain itu, ketika masuk masjid harus terfokus pada tujuan utama, yaitu beribadah kepada Tuhan. Masjid Cheng Ho Surabaya juga mampu menjadi wadah pendidikan dan pembinaan bagi umat, selain juga sebagai upaya untuk merangkul semua golongan, mengingat tujuan seseorang masuk ke masjid hanya satu, beribadah kepada Tuhan.