Oleh: Damhuri Muhammad
Selepas gol pembuka saat menghadapi Leeds United di laga pekan keempat English Premiere League (EPL) 2021-2022 yang membuat skor menjadi 0-1 untuk Liverpool, Mohamed Salah melakukan sujud syukur di rumput stadion Elland Road. Sejatinya, selebrasi penyerang sayap kanan itu tidak lagi janggal bagi fans Liverpool. Sebab, sejak bergabung dengan The Reds pada musim 2017-2018, Mo Salah sudah kerap melakukannya. Tapi sujud kali ini terasa lebih istimewa, karena bola yang menjebol gawang Illan Meslier itu telah menggenapi 100 gol The Egyptian King (julukan Mo Salah) selama ia berkarier di EPL.
Dalan catatan lembaga statistik performa sepak bola Inggris Opta Joe, Salah ternobat sebagai pemain ke-30 yang mencatatkan namanya ke dalam rekor “Club 100”. Hanya ada empat pemain yang bisa mencapai rekor itu dengan jumlah penampilan lebih sedikit dari Salah (162). Mereka adalah Alan Shearer (124), Harry Kane (141), Sergio Aguero (147) dan Thierry Henry (160). Mo Salah mencetak gol ke-99 saat menjamu Chelsea akhir Agustus 2021 lalu di Anfield, dan laga itu berakhir dengan skor 1-1. Gol ke-100 yang dicetak Mo Salah dengan asis dari Alexander-Arnold itu dipuji oleh legenda sepak bola Inggris, Gary Lineker. “Satu lagi gol Mo Salah. Satu lagi asis Alexander-Arnold. Dua pemain yang benar-benar kelas dunia,” tulis Lineker di linimasa twitter-nya (12/9/21).
Kepada fans berat The Reds, Mo Salah telah mempersembahkan mahkota juara EPL dan satu piala Liga Champion Eropa. Pencapaian menakjubkan setelah Liverpool berpuasa gelar selama 30 tahun. Ketika Mo Salah menerima penghargaan Player of the Year dari Professional Footballers’ Association (PFA) pada 2018, media-media terkemuka di Mesir memasang kabar itu di halaman depan, netizen Mesir membagikan tautannya tak kurang dari 25.000 kali sebagai ungkapan kebanggaan atas rekan sebangsa yang telah berjulukan The Egyptian King di daratan Eropa. Aktris Mesir ternama, Rasha Mahdi mengunggah foto profil Salah hasil olah-digital dengan menambahkan mahkota raja Mesir masa lalu di kepala sang mega bintang itu. “Mengherankan! Orang-orang bilang Mohamed Salah kebanggaan Mesir semata, dan bukan kebanggaan dunia Arab. Bagi saya, ia kebanggaan Mesir, Arab, Afrika, Timur Tengah. Kebanggaan seluruh manusia dengan rambut hitam, mata yang tersenyum, dan wajah-wajah yang selalu memancarkan keramahan,” tulis Rasha Mahdi di laman twitter pribadinya (23/4/2018). Dalam catatan Chris Bell and Rana Taha bertajuk Mo Salah: ‘The Egyptian King’ inspiring the Arab World di www.bbc.com (23/4/2018), Salah menjadi pemain asal Afrika kedua yang meraih penghargaan bergengsi itu, setelah gelandang Leicester City asal Aljazair, Riyad Mahrez, pada 2016.
Setelah Liverpool membuat FC Porto babak belur di kandang sendiri dengan skor akhir 5-0 pada Februari 2018 (yang memastikan The Reds melaju ke semifinal Liga Champion), para fanatikus Liverpool menggemakan sebuah chant (nyanyian bersama) di jalanan sekitar The Estádio do Dragão, Porto, Portugal, sebagai perayaan atas kemenangan yang kuncinya berada di kaki Mo Salah. If he scores another few, then I’ll be Muslim too (jika ia mencetak beberapa gol lagi, maka saya akan menjadi muslim juga)/If he’s good enough for you, he’s good enough for me (jika dia cukup baik untukmu, dia cukup baik juga bagi saya)/sitting in the mosque, that’s where I wanna be! (duduk di masjid, di situlah saya ingin berada)/Mo Salah-la-la-la, la-la-la-la-la-la-la….Demikian lirik lagu yang kerap pula cetar-membahana di stadion-stadion tempat Liverpool bertanding. Lagu pujian untuk pemain terbaik Afrika 2017, dan pemain inti yang membawa Mesir ke final Piala Dunia 2018 itu dimodifikasi dari lagu milik Dodgy, grup band Inggris berjudul Good Enough, yang dirilis pada 1996. Liriknya diganti untuk menghormati kerja keras Mo Salah untuk kemenangan demi kemenangan tim asuhan Jurgen Klopp itu.
“Dia mulai meruntuhkan hambatan. Beberapa dari mereka (penggemar Liverpool) mungkin tak sepenuhnya menghargai lagu-lagu yang mereka nyanyikan tentang Mo Salah, tapi hilangnya Islamophobia yang disebabkan oleh satu orang, adalah pencapaian yang benar-benar fenomenal,” kata Steve Rotheram, Walikota Liverpool dalam sebuah talkshow bertajuk Mo Salah; Football is Life di BBC Radio 5. “Apa yang dilakukan Salah kini seperti apa yang dilakukan John Barnes untuk komunitas kulit hitam di era 1980-an,” tambah Walikota. Barnes adalah bek kiri kelahiran Jamaika yang bermain untuk Liverpool selama sepuluh tahun, juga untuk tim nasional Inggris.
Klaim Steve Rotheram tentang “Salah-Effect” di Inggris terdukung oleh hasil riset terkini tiga kandidat doktor di Amerika Serikat, yaitu Ala’ Alrababa’h, William Marble (Stanford University), Salma Mousa (Yale University), dan Alexandra A. Siegel (University of Colorado Boulder). Artikel panjang berjudul Can Exposure to Celebrities Reduce Prejudice? The Effect of Mohamed Salah on Islamophobic Behaviors and Attitudes yang tersiar di situs resmi Cambridge University Press (7/6/2021) menyuguhkan data tentang kasus kejahatan kebencian rasial di wilayah Merseyside (meliputi Liverpool) menurun sebesar 16% jika dibandingkan dengan data yang sama saat Mo Salah belum bergabung dengan Liverpool. Selanjutnya, dari 15 juta tweet yang diunggah oleh pendukung klub sepak bola terkemuka di ajang EPL, ditemukan proporsi tweet anti-muslim produksi fans Liverpool setelah Mo Salah membela The Reds sebesar 3,8%, sementara proporsi tweet anti-muslim sebelum kedatangan Salah ke Anfield sebesar 7,3%. Ini berarti sentimen anti-muslim di Liverpool mengalami trend turun signifikan sejak Mo Salah menandatangani kontrak dengan Liverpool.
“Mohamed adalah anak yang sangat biasa, seperti anak-anak lain di desa ini. Ia mewarisi kecintaan pada sepak bola dari ayah dan pamannya, yang bermain di tim Amateur Youth Center desa ini selama tahun 1980-an dan 1990-an,” kata Maher Shatiya, Wali Desa Nagrig saat menyambut jurnalis arabnews.com di desa kelahiran Mo Salah pada Maret 2018. Shatiya adalah orang yang dipercayai sebagai juru bicara, karena Salah tidak mau privacy keluarganya terganggu oleh media. “Ayah Salah memperhatikan bakat putranya dan menyuruhnya bergabung dengan tim Ittihad Basyoun ketika ia berusia 12 tahun,” lanjut Shatiya sebagaimana dicatat oleh Abdel Fattah Faraj dan Asharq Al-Awsat dalam reportase mendalam The Inspiring Story of Egypt and Liverpool Superstar Mohamed Salah, yang tersiar di www.arabnews.com (4/3/2018).
Suatu hari Reda El-Mallah, seorang pencari bakat sepak bola datang ke Nagrig untuk mengamati bakat seorang anak bernama Sherif dan mungkin akan membujuknya untuk bergabung dengan tim junior El-Mokawloon Al Arab. Namun, perhatian pada Sherif teralihkan oleh satu pemain yang tampak begitu memukau, dan kemudian diketahui bernama Mohamed Salah. Anak itulah yang akhirnya mendapatkan peluang untuk bermain di El-Mokawloon Al Arab. Dari situ Salah memulai perjalanan panjangnya. Mula-mula sebagai pemain tim junior yang bermarkas di Tanta (94 km di sisi utara Kairo), lalu terpilih sebagai bagian dari squad tim utama El-Mokawloon Al Arab (U15) yang berbasis di Nasr, Kairo. Di tahun pertama sebagai pemain junior, Mo Salah mesti menempuh 4 jam perjalanan dengan bis untuk bisa sampai di tempat latihan, dan itu dilakukannya setiap hari. “Mohamed bermain sebagai bek kiri, tapi saya pikir dia bisa lebih baik di depan. Saat itu, dia bukan pemain utama di posisinya karena kami memiliki empat pemain lain di posisi yang sama. Saya mencoba sesuatu yang berbeda dan menempatkannya di sayap kanan,” kata El Shishiny, pelatih tim junior El-Mokawloon Al Arab. Saat melawan ENNPI SC, El-Mokawloon Al Arab sudah menang 4-0, Mohamed punya tiga peluang untuk mencetak gol, tapi selalu gagal. “Setelah pertandingan saya pergi ke ruang ganti dan dia menangis. Saya bertanya, mengapa kamu menangis? Dia berkata, karena saya tidak mencetak gol hari ini. Semua orang senang karena kami menang, tapi dia sangat kecewa. Saya bilang, jangan khawatir, kamu akan menjadi pencetak gol terbanyak musim depan. Dia akhirnya mencetak 30 gol pada musim selanjutnya!” begitu kenang El Shishiny.
Mei 2010, Mo Salah yang sudah berusia 17 tahun menjalani debutnya untuk El Mokawloon Al Arab di liga utama Mesir melawan El Mansoura dengan hasil imbang 1-1. Ia mencetak gol pertamanya tujuh bulan kemudian saat melawan klub elit, Al Ahly. Pada musim 2011-2012, ia menjadi starter reguler, tetapi setelah kerusuhan di Stadion Port Said yang menewaskan 74 orang, dan meletusnya Revolusi Mesir, kejuaraan nasional ditangguhkan. Di masa penangguhan kompetisi itu Mo Salah justru berkesempatan memperlihatkan keandalannya di laga persahabatan yang diselenggarakan oleh FC Basel (klub elit Swiss) melawan timnas Mesir U23, tepatnya Maret 2012. Salah masuk di babak kedua dan mencetak 2 gol, Mesir menang dengan skor 4-3. Sebulan kemudian, Salah mendapatkan kontrak profesional dengan klub Eropa perdananya, FC Basel.
Bersama FC Basel, Salah tampil impresif dengan torehan 20 gol dan 17 asis dari 79 laga. Pada musim 2012-2013, ia membawa FC Basel menjuarai liga utama Swiss, dan terpilih sebagai The Most Valuable Player, termasuk memenangkan penghargaan Swiss Golden Player award. Chelsea, Fiorentina, dan AS Roma, adalah tiga klub elit Eropa yang lebih dulu menjadi tempat merumput Mo Salah sebelum ia berlabuh di Liverpool, yang akhirnya membuat ia ternobat sebagai superstar dengan macam-macam julukan seperti The Egyptian King, The Egyptian Messi, The Pharaoh, Messi Muslim, Halal Hazard, Ramadan Robben, dan semacamnya. Rupa-rupa pencapaian yang telah direngkuh Salah, baik di level klub maupun saat membela bangsanya, membuat namanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar Mesir yang telah melegenda seperti Ummi Kultsum (musisi) dan Naguib Mahfouz (novelis Mesir pemenang Nobel sastra 1988).
“Saya tidak tahu mengapa media begitu peduli dengan detail pekerjaan yayasan. Ini amal dan harus dirahasiakan agar mendapat pahala dari Tuhan,” keluh Mohammed El-Bahnasi, pria 60 tahun pemilik sebuan toko kecil di Nagrig kepada media. Toko itu digunakan sebagai kantor pusat sementara untuk Yayasan Salah, yang dikelola El-Bahnasi bersama dewan pengawas yang terdiri dari ayah, paman, dan saudara laki-laki Salah. Tak mudah menemukan poster-poster besar Mo Salah di jalanan sempit Nagrig. Meski foto wajah sang idola seantero Mesir itu absen di ruang-ruang publik Nagrig, tapi artefak kesalehan sosial Salah tampak jelas dan begitu nyata faedahnya. Sebutlah misalnya The Azhari Institute for Girls yang dibangun dengan biaya 8 juta pound Mesir (setara 450.000 dolar AS), atau dengan biaya yang kurang lebih sama, Salah membangun fasilitas pengolahan air bersih guna memastikan warga Nagrig memiliki persediaan air bersih yang berlimpah.”Mohamed tidak suka berbicara tentang amal yang telah dia lakukan atau uang yang dia sumbangkan,” kata Abu Habsah, seorang guru di Nagrig. Gubernur Gharbia, Ahmed Daef Sakar, pernah menelepon ayah Salah untuk berterima kasih atas semua pekerjaan amal yang telah dilakukan putranya. “Dia adalah panutan yang hebat untuk diikuti oleh anak muda dan dicintai oleh jutaan orang di seluruh dunia,” tambah Abu Habsah.
Mega bintang Liverpool itu dikenal sebagai pribadi yang jauh dari hingar-bingar hidup keseharian selebritas kelas dunia, semacam pesta pernikahan yang gegap gempita, istri dari kalangan model terkemuka, atau liputan media tentang perjalanan berlibur dengan jet pribadi. Mo Salah mempersunting teman remajanya bernama Magi Sadeq, perempuan biasa yang bahkan tak punya akun Instagram. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai putri bernama Makka. Sebuah nama yang merujuk pada kota suci umat Islam sedunia, dan kiblat bagi setiap sujud syukur Mo Salah selepas melesatkan gol.
Bila banyak orang mesti berteriak-teriak di pangkal toa dengan mulut berbusa-busa, atau memproduksi jutaan konten di kanal Yutub untuk menjernihkan bahwa Islam itu tidak begini dan tidak begitu, guna meminimalisir gelombang Islamophobia global, The Egyptian King membereskan ikhtiar itu hanya dengan sepasang kakinya dalam 2 x 45 menit. Menggiring bola, menerabas hadangan pemain lawan, melesatkan gol-gol ajaib yang membuat lagu I’ll be Muslim Too bagai menggetarkan seisi stadion. Satu gol Mo Salah yang membobol gawang lawan bagai telah membinasakan jutaan bentuk kebencian pada warga muslim dunia.
Mo Salah-la-la-la, la-la-la-la-la-la-la…
Mo Salah-la-la-la, la-la-la-
Cerita dari kumpulan beberapa pendapat orang yang memang melihat salah dengan pasti tanpa melalui opini. Menyimak Mo Salah bagi saya juga jadi teringat sosok yang kini jiga masih aktif mengajar di sebuah perguruan tinggi di luar negeri. Yang oleh ibuknya sejatinya telah disuruh pulang untuk mengasuh ponpes mendiang sang Ayah, namun dia enggan, karena ternyata sang anak ini juga berpunya misi untuk menebarkan ajaran Islam nan Rahmatan Alamin. Hingga akhirnya sang Ibu maklum, dan merestuinya, yang konon menurut penuturan sang anak, betapa keridhoan ortu itu sangat berimbas kepada anaknya, hingga akhirnya sang anak diterima menjadi dosen tetap. Hingga akhirnya salah satu koleganya juga senantiasa merujuk perilakunya sebagai barometer, bagaimana sejatinya Islam itu. Cerita pakCik sejatinya juga mengingatkan saya pada Islam diturunkan olehNya di Arab adalah untuk memperbaiki AKHLAK. Komentar saya, tulisan diatas diatas rasanya juga menjadi cermin bagi saya pribadi. Islam telah memberi saya #guiden, namun sejauhmana dengan guiden itu saya menjadi #migunanitumrapingliyan bila disimak dari perilaku saya yang Muslim, rasanya saya baru hanya sebatas Muslim, dan tak layak disebut Mukmin. Cerita tentang dosen tadi juga saya simak dalam kemasan podcast yang dipandu oleh dua sosok, yang kini salah satunya sudah wafat, entah bagaimana saya koq jadi kerap alpa lagi untuk menyimaknya. Sebuah acara yang dispnsori oleh jenama rokok, dikemas dalam format humor, namun justru dari mendiang saya banyak mendapat masukan, kritikan, juga celotehnya yang kerap makjleb. Satu bukunya telah saya baca, sebelum saya hadiah kan kepada anak teman saya saat menikah. Pamungkasnya sejatinya bermuara pada AKHLAK. Output yang bernama Akhlak itu bahkan kerap tak menjadi masalah apapun agama(mu). Karena kala dalam keadaan darurat, dan kemudian kita mendapat pertolongan dari seseorang, memangnya kita tanya dulu; sampeyan sholat Jumat dimana? Hehehe .. dan bila sudah merujuk perihal ini, ingatan saya sering kepada mendiang Presiden kita pasca alm. HABIBIE yang saya sejatinya juga ngefans. Presiden penggantinya dari lubuk hati terdalam sejatinya saya kurang #sreg karena perihal kesehatan, dan sebagian pengagumnya di mata saya seolah mengkultusindividukan. Ini memang dalam ranah #hematsaya saya. Namun justru pasca beliau wafat, saya malah banyak memetik manfaat dari “cairnya beliau dalam pergaulan sesama manusia, tanpa melihat apapun backgroundnya”. Inilah yang seolah kerap menyadarkan saya pribadi. Dan inilah yang kerap menjadi peetanyaan pasca menyimak bacaan yang #menghujam dalam ke lubuk hati juga nalar.
Dan itulah salah satu juga kenapa saya demen The Reds, yang awalnya bukan karena Salah, tapi karena Gerard, Ian Rush, apalagi setelah Salah dan Mane gabung. Dan kebetulan dosen di negeri manca yang juga Gus itu demen pula Liverpool … hehehe.
Okelah, paling tidak tulisan pakCik menstimulasi #udarrasa saya. Disamping istilah itu juga kutipan dari kedemenan saya membaca tulisan si Bung Gondrong yang dulu kerap dominan beliau yang mengisinya.
Salam sehat rohani jasmani di masa pandemi.
Karena sehat itu sejatinya anugerah terindah yang ku miliki. Nyomot lagi ini dari lagu dedemenanku from So7.
Tabik
SamOdir????
ayo baca artikel lainnya di http://www.dawuhguru.com