Oleh: Hermansyah Kahir
Penulis Buku Menjadi Santri 4.0
Sudah jamak diketahui bahwa Islam pernah mencapai peradaban gemilang di saat Eropa masih diselimuti kegelapan. Kegemilangan itu tentu tidak terlepas dari perhatian para khalifah terhadap ilmu pengetahuan yang didukung oleh para ulama yang istiqamah membaca dan menulis.
Membaca memang merupakan gerbang ilmu pengetahuan yang mampu menjadikan seseorang memiliki wawasan dan kedalaman dalam berfikir. Aktivitas membaca merupakan jendela peradaban. Sebab, dari membaca inilah peradaban sebuah negara menjadi maju.
Sayangnya, kegiatan membaca yang merupakan kebiasaan para ulama itu semakin memudar, lebih-lebih di era digital sekarang ini. Karenanya, kegiatan membaca masih perlu dibudayakan mengingat minat baca masyarakat kita masih rendah dibandingkan negara lain.
Fakta ini dikonfirmasi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyebutkan minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah di mana hanya 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menyebutkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.
Data lain dari Perpustakaan Nasional RI menyebutkan jika rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per pekan. Untuk setiap buku, kita menghabiskan waktu rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan hanya 5-9 buku per tahun.
Data di atas mengkonfirmasi bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Rendahnya literasi ini membuat masyarakat kita mudah termakan berita bohong (hoaks) yang bertebaran di media sosial. Informasi yang tersaji di platform digital ditelan mentah-mentah karena minimnya wawasan dan daya berpikir kritis. Budaya tabayyun yang merupakan ajaran Islam juga mereka abaikan dalam bermedia sosial.
Tampaknya kita memang kurang menyadari betapa pentingnya aktivitas membaca bagi kemajuan bangsa. Bangsa besar adalah bangsa yang menaruh perhatian serius terhadap tradisi membaca. Bahkan, di negara-negara maju kebiasaan membaca sudah ditanamkan sejak dini. Sejarah kemajuan negara-negara di dunia, seperti Finlandia, Belanda, Swedia, Jepang, Australia, dan China berawal dari ketekunannya dalam membaca, sehingga tingkat literasinya sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu ada gerakan dan dorongan untuk membangkitkan kembali minat baca masyarakat Indonesia. Tanpa upaya itu, sangat sulit bangsa ini akan naik level menjadi negara maju.
Teladan Ulama
Bercermin pada sejarah, salah satu kejayaan umat Islam karena ditopang dengan peradaban membaca. Bahkan, ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw adalah perintah membaca (QS. Al-Alaq: 1-5).
Kita bisa belajar dari kegemaran membaca para ulama, semisal Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Ia merupakan ulama yang sangat produktif dan telah menulis lebih dari 300 kitab. Ia menulis sangat banyak kitab dalam berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan. Hingga saat ini karya-karyanya dijadikan bahan ajar di pesantren seluruh Indonesia.
Ulama lain yang patut diteladani adalah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Ia dikenal karena kepakarannya dalam ilmu-ilmu keislaman. Karya tulisnya mencapai 100 judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Hampir semua karyanya menjadi rujukan bagi umat Islam Indonesia dan dunia.
Lahirnya karya-karya besar para ulama tersebut tidak dapat dilepaskan dari budaya membaca yang sudah dibangun sejak dulu. Kegiatan membaca merupakan modal penting bagi seorang penulis. Tanpa membaca, mustahil seseorang bisa menghasilkan karya tulis yang berkualitas.
Dalam konteks ini, santri perlu bercermin kepada para ulama yang telah memberi teladan tentang bagaimana bersemangat dalam membaca. Santri harus memiliki semangat membaca sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini, dibutuhkan peran pondok pesantren untuk membentuk semangat literasi di kalangan santri. Salah satu yang dapat dilakukan adalah menyediakan fasilitas membaca. Fasilitas ini sangat penting agar para santri bisa mengakses berbagai bahan bacaan sesuai kebutuhannya. Ketersediaan fasilitas nantinya akan mempengaruhi tingkat literasi warga pesantren.
Pesantren juga perlu menyediakan ruang media publikasi. Tersedianya ruang publikasi akan memberikan semangat para santri untuk menuangkan gagasannya ke dalam karya tulis. Karena itu, pihak pesantren perlu menyediakan media, seperti majalah, tabloid atau media online.
Akhirnya, semoga dengan upaya itu, para santri bisa mewarisi semangat literasi ulama-ulama terdahulu, sehingga kelak mereka menjadi pribadi yang berwawasan luas (tafaqquh fiddin) dan menebar manfaat di tengah-tengah umat (khairunnas anfa’uhum linnas).