Oleh: Mambaul Athiyah
(Catatan Haul Asrama Putri Nur Khadijah 3 PP. Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang)
Berawal dari sebungkus kertas kado yang harus kami pakaikan membungkus kado buat santri-santri yang sudah lama menjadi alumni, Ibuk-demikian kami memanggil beliau-Bunyai kami, Nyai Muhassonah Iskandar mengajarkan kami pentingnya ketulusan.
“Mbak, kalau bungkus kado itu harus begini dan begini,” ujar beliau sambil merapikan lipatan kerdas kado yang kami pakai.
“Jangan plentat-plentot. Ndak rapi. Yang nerima juga kurang bungahe.” Begitu beliau melanjutkan. Karena, Ibuk mengatakan bahwa memberikan kado kepada handai taulan, kepada alumni-alumni yang sedang ada hajat baik pernikahan, kelahiran maupun duka, bukan sekedar memberi tetapi ada doa-doa, ketulusan, juga kasih sayang yang ikut serta diantarkan. Apalagi yang lebih membahagiakan selain itu semua?
Ya Allah. Setelah sekian lama, baru saya merenungi maknanya setelah menjadi alumni. Kemana aja selama ini, daku, Mamen. Pas mondok mungkin dulu cuma sibuk mikir lauk makan, setumpuk hapalan dan sekilas wajah si dia yang sempat bermain-main di celah batas pondok laki-laki dan pondok putri. Eaa. Ngaku.
Dari Bunyai-bunyai saya, di lingkungan pesantren juga saya menyadari bahwa kita dituntut untuk tetap mumpuni. Perempuan diberi hak untuk membuat kepengurusan pesantren putri. Harus berani jadi ketua. Harus berani memberi perintah. Harus berani menerima arahan. Jadi, tidak sekedar memerintah, ketika sudah berhadapan dengan pengasuh kita harus berani membuat keputusan kita tetap dipertahankan atau manut dengan saran pengasuh untuk dibatalkan dengan segala pertimbangan. Kita harus berani membuat pilihan, begitu kami diajarkan oleh para Gus dan Ning kami.
Santri putri kemudian tidak hanya terkungkung dalam hal keputrian. Ibuk, Bunyai Muhassonah Iskandar selalu ngendikan, kalau pulang ke masyarakat harus mau gabung di kegiatan masyarakat, ada kenduri, ada lahiran, ada kematian harus guyub ikut serta ngopeni. Jangan jadi anti sosial. Perempuan apalagi santri harus mau ‘ngawaki’ alias mau diriweuhi dengan perkara-perkara masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa santri putri juga punya power yang powerful.
Bahwa santri iku kudu wani. Berani membuat pilihan, berani menjadi tangguh, berani di depan, berani menjadi pionir tetapi tetap rendah hati, sederhana, menawan, baik hati dan hangat kepada siapapun.
Wani itu bukan perkara sok-sokan tetapi wani yang memang dalam arti hakiki. Berani menerima kekalahan juga di satu sisi.
Tahun ini, banyak pesantren-pesantren yang kian menua secara usia. Namun, diharapkan kebijaksanaannya sepanjang dalam kenangan para alumninya adalah mengayomi, tidak berubah kehangatannya dan tetap merangkul kami dalam rengkuhan kekeluargaan yang nyata.
Karena, sejatinya pesantren tidak melulu sekadar “tempat nyantri” saja. Pesantren harus juga menjadi rumah kedua, ketiga, kesekian bagi kami para alumninya. Di mana, ketika kami rindu doa-doa bunyai dan kiyai kami, pesantren menyambut kami dengan hangat. Dimana, ketika kami rindu dengan kenangan-kenangan optimisme masa muda, pesantren menyambut kami dengan gempita kemajuan yang menbuat kami rindu mengulang kisah keemasan masa lampau tetapi tetap melangkah lebih maju lagi ke depan. Di mana, pesantren harus bisa menyambut kami kembali dalam rangkulan identitas keluarga alumni yang meski raga sudah berada dalam atap yang sama tetapi denyut nadi santri kami masih nyambung sampai kapanpun.
Pesantrenku adalah rumah kami.
Pesantrenku adalah pelukan hangat yang menenangkan.
Pesantrenku adalah saran-saran kebajikan yang nasehatnya tidak pernah putus meski kami sudah melanglang buana hingga penjuru negara-negara nan luas.
Dan, Bunyai Muhassonah Iskandar juga membekali kami dengan doa keteguhan, manakala keputusan atas nama kebaikan hampir goyah maka bacalah selalu ya Muqollibal Quluub. Tsabit qalby alaa diinik.
Ada yang samaan dengan saya? Mendapatkan ijazahan ini dari Ibuk? Mari kita amalkan, semoga dengan gandolan Bunyai-bunyai kami, Allah mencatat kita sebagai ahlil jannah yang kelak akan bersama-sama berjalan di dalam firdaus bersama rombongan Rasulullah.
Amin amin ya Allah.
Allahumma sallimna ya Allah
Sallimna ya Allah
Sallimna ya rabbal ‘aalamin
___
Bunyai Muhassonah Iskandar adalah cucu KH. Bisri Syansuri, beliau juga Ibunda Gus Menteri A. Halim Iskandar dan Gus Muhaimin Iskandar.
___