Ada salah seorang rekan kerja bertutur, entah pertanyaan retoris atau keluhan. Kurang lebih katanya, “Kalau komentar di grup atau menyatakan pendapat di forum, kadang ada tanggapan yang nggak mengenakan, jadi malas dan malu”. Maka, ungkapan rekan tersebut saya tanggapi.
Namanya diskusi, debat, dialog ataupun musyawarah emang kayak gitu, kadang ada yang kurang mengenakan tanggapannya. Tapi sebenarnya itu perasaan subjektif saja.
Sebenarnya itu hal biasa, yang penting sudah menyatakan pendapat dan argumen. Mungkin saja pendapat kita cukup membantu membuka posibilitas solusi atas buntunya sebuah keadaan.
Namun demikian, argumen-argumen kita harus siap dikomentari dan dibantai. Itu namanya dialektika, hal biasa dalam dunia akademis. Tapi dari situ muncul ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Lebih dari itu, yang penting berangkatnya dari semangat mencari solusi bukan emosi. Ditambah lagi, etika dan adab dalam berdiskusi, jangan sampai lupa.
Hasil akhirnya, terima saja dengan lapang dada, meski mungkin berseberangan dengan pendapat pribadi. Tapi karena sudah menjadi konsensus, ya sudah, jalani saja.
Kalau suatu saat, hasil keputusan itu bermasalah atau ada celah-celah kekurangan untuk disempurnakan atau bahkan diganti. Lets go, diskusi lagi donk.
Perbaikan itu kan terus-menerus. Orang Jepang menyebutnya kaizen. Dalam Islam biasa disebut ishlah atau istilah tajdid juga populer.
Barangkali yang jadi masalah, ada orang yang tipenya sensitif, mainnya perasaan mulu. Yah… repot juga yang kayak gini.
Memang sih, menjaga perasaan orang lain sangat penting, itu bagian dari peradaban manusia, humanisasi.
Sialnya, ketika dikritik dan ditanggapi sedikit saja, langsung “baper bin galau”, seolah pengkritik itu bawa pistol terus nembak kepala dan hati. Aduh, sakitnya tuh di sini.
Padahal seperti saya bilang tadi, “Biasa aja, nggak usah deh over baper”. Beda pendapat, komentar, kritik itu biasa. Toh berangkatnya sama-sama dari “titik dingin” bukan “titik panas”. Harapannya, tentu happy ending, walau tak seindah pernikahan dua sejoli.
Ingat pesan KH. Ahmad Dahlan, “Jangan marah dan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan”.
Satu lagi pesan Maulana Zulfikar Ahmad An-Naqsyabandi, “Kritik itu seperti cermin yang memberitahu kekurangan kita, sehingga kita bisa membetulkannya. Maka, tidak selayaknya cermin yang menunjukkan keburukan kita, justru malah dihancurkan”.
Oke, sekian dulu, selamat berdiskusi. Lâ taghdab wa laka al-jannah. Wa salâmun ‘alaikum bimâ shabartum.