Esai  

“Ronda” Aktifitas Sosial di Seluruh Elemen Masyarakat

Sejarah sosial pertama kali dikemukakan oleh Annales yang berasal dari Prancis. Mereka menilai sejarah seharusnya tidak selalu berisi tentang politik, ekonomi dan hal-hal atau peristiwa besar saja. Dengan didasari oleh hal ini, akhirnya mereka menulis sejarah tentang orang-orang kecil yang sebelumnya luput dari kacamata sejarah. Melihat hal ini, penulis tertarik untuk menuliskan pengaruh adanya budaya ronda terhadap kondisi sosial masyarakat pada Masa Penjajahan-Orde Baru.

Hal ini didasari dengan melihat manfaat dan pengaruh yang sangat besar dari budaya ronda ini, mulai dari pengaruhnya terhadap penekanan angka kriminalitas, hingga membuat siskamling atau ronda ini sebagai wadah interaksi sosial dan penguatan sosial di level desa atau kampung yang notabene menjadi dasar pemulaan dalam sistem pengamanan dan struktur kemasyarakatan suatu negara.

Penulis juga menyayangkan karena akhir-akhir ini budaya ronda mulai dilupakan dalam sejarah sosial di Indonesia, sampai-sampai pada fakta pengaplikasiannya di lapangan sudah sangat jarang masyarakat yang melakukan budaya ronda ini. Ronda atau siskamling sendiri adalah budaya sosial yang sebenarnya sudah ada pada zaman kerajaan-kerajaan di Jawa pada dahulu kala.

Pada zaman dahulu di setiap wilayah perbatasan wilayah keraton pasti didirkan pos ronda untuk kegiatan ronda warga dan juga sebagai penanda batas wilayah. Maksud kehadiran gardu itu adalah demi menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos (Abidin Kusno,2007). Dan saat Belanda menginjakan kaki di bumi Nusantara ini, VOC selaku kaki tangan pemerintahan Belanda di Indonesia merubah fungsi pos ronda tersebut. Terjadinya perebutan kekuasaan antara VOC dengan kerajaan tradisional membuat pengaruh kerajaan terhadap wilayah mulai melemah.

Sejak saat itu, VOC membagi wilayah koloninyadenagn tujuan mempersempit ruang gerak bagi kerajaan. Dan VOC membuat batas-batas antar desa semakin jelas dengan menambahkan pos ronda pada setiap batas desa. Penggolongan desa menurut suku-suku yang ada telah dilakukan VOC. Sehingga memudahkan VOC untuk membuat sistem keamanan, Pada waktu itu sistem keamanan ronda ini dipimn oleh seorang kepala desa (Kapitan).

Baca Juga  Lukisan dan Lidah Seni

Perekrutan anggota ronda juga dilakukan oleh kepala desa di wilayahnya. Setelah didapati beberapa anggota, mulailah mereka melakukan gerakan ronda malam pada setiap pos ronda yang telah disediakan. Kata ronda sendiri berasal dari Bahasa Portugis yang bermakna berkeliling. Budaya ronda ini biasa dilakukan malam hari, dengan cara berkeliling kampung sampai batas desa masing-masing.

Budaya ronda kemudian tidak hanya muncul di kampung dan desa, tetapi juga hadir di pinggir jalan raya dengan dibarengi juga dengan pembangunan pos ronda pinggir-pinggir jalan. Ini berlangsung selama dan setelah pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometer pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808—1811).

Seiring maraknya kejahatan dan kriminalitas pada akhir abad ke-19. Khususnya di daerah Banten, Yogyakarta, Pasuruan, dan lain sebagainya telah terjadi perbanditan yang kian hari kian marak. Karena sebab inilah, mulai itu kegiatan ronda di desa-desa semakin ramai. Pos-pos ronda semakin ramai dengan kegiatan ronda, warga juga memberlakukan piket pada ronda di desa masing-masing dengan tujuan menekan angka perbanditan pada waktu itu.

Perbanditan ini dimaknai sebagi gerakan sosial para petani yang memprotes pabrik-pabrik dan perkebunan yang mulai mendesak ke bidang pertanian. Korban perampokan atau perkecuan adalah pihak-pihak yang merugikan petani dan mendukung ekstraksi yang dilakukan tanah partikelir, perkebunan, dan pabrik (Suhartono W. Pranoto,2010).

Berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Mereka mengambil alih pos-pos ronda yang ada dan merubah sistem ronda tersebut. Sistem ronda yang pada awalnya hanya memanfaatkan tenaga dari masyarakat desa setempat, oleh Jepang dirombak dengan menambahkan Keibodan atau barisan pembantu polisi dari kalangan pribumi untuk mengisi pos ronda bersama warga setempat. Hal ini dilakukan oleh Jepang karena tidak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan sistem ronda yang terjadi di era VOC.

Baca Juga  Asy’ariyah Oponen Mu’tazilah, Pergulatan Syariat dan Akal

Pos ronda sendiri pada waktu pendudukan Jepang merupakan reprentasi akan berhasilnya sistem pemerintahannya. Karena pada waktu itu tidak peduli warga biasa atau bangsawan, harus tetap melaksanakan ronda. Secara tidak langsung Jepang juga menyelaraskan kondisi sosial pada waktu itu yang sering terpaut akan kasta.

Tetapi, pengarung Jepang terhadap kegiatan ronda berbalik arah ketika Indonesia mengumandangkan proklamasi. Kegiatan ronda menjelmma sebagai garda terdepan ketika ada pasukan Jepang atau sekutu yang mencoba menerobos dan menguasai desa-desa di Nusantara. Sistem ronda ini pada akhirnya diadopsi oleh pemerintahan era Orde Baru. Pasa era ini fungsi dari kegiatan ronda sendiri tidak hanya sekedar menjaga keamanan desa. Namun, pos ronda dan kegiatan ronda diamnfaatkan untuk memata-matai gerak gerik rakyat.

Melalui program ABRI Masuk Desa, negara masuk ke ruang-ruang terpencil yang jauh dari pusat kekuasaan. Pos ronda merupakan tempat terpenting bagi ABRI untuk mengindoktrinasi warga tentang pentingnya budaya ronda untuk keamanan dan ketertiban lingkungan. Pada era Orde Baru kegiatan ronda terus digalakkan, karena angka kriminalitas yang tinggi pada waktu itu sehingga membuat kondisi sosial masyarakat menjadi kurang stabil.

Dengan adanya pasukan ronda tiap malam, yang bercirikan senjata khas “Kentongan” itu membuat suasana ditiap desa terasa sangat aman. Angka perbanditan, pencurian, perampokan semakin menipis. Sehingga roda perekonomian dan kegiatan sosial masyarakat berjalan lancer dan tidak ada hambatan. Memang melihat dari sejarahnya, ronda ini merupakan budaya yang telah ada pada era prakolonial.

Tepatnya pada era kerajaan-kerajaan di Nusantara. Mengapa hal ini tidak dihapus pada masa penjajahan? Malah sebaliknya, hal ini terus digalakkan oleh pemerintah dari masa penjajahan hingga Orde Baru. Menurut saya alasan paling relevan adalah budaya ronda ini dapat menekan angka kriminalitas yang terjadi di suatu wilayah.

Baca Juga  Muhasabah Diri di Akhir Tahun Masehi

Bila angka kriminalitas menurun, otomatis akan membuat rasa aman dan nyaman pada kegiatan sosial masyarakat setempat. Dan apabila kondisi sosial masyarakat stabil dimulai dari tingkat desa, hal ini juga akan mempengaruhi kestabilan sosial suatu negara. Faktor ini tentu saja akan menunjang berbagai faktor lainnya, misalnya faktor ekonomi, dan faktor politik

Tinggalkan Balasan