Acara Halaqoh Pendidikan Politik Santri yang diadakan Pesantren Kreatif Baitul Kilmah kerjasama dengan LPP DPP PKB, sukses digelar dengan hikmat di Pendopo Baitul Kilmah, Sabtu, 15, Juli, 23.
Acara dimulai dari jam 08 pagi sampai sore hari ini mendatangkan narasumber dari berbagai kalangan praktisi dan cendekiawan Pesantren, seperti KH. Yusuf Chudlori, Bapak Bupati Bantul Abdul Halim Muslikh MA., Gus Dr. Muhammad Nur Hayyid., Dr. KH Jazilul Fawaid dan Bapak Aslam Ridlo, MA.
Acara tersebut diikuti sekitar 300 peserta, yang terdiri dari utusan pesantren se-DiY, kemudian calon legeslatif dari PKB se-DIY, utusan PMII Cabang sampai Komisariat, juga utusan dari MWCNU se-DIY.
Menurut sambutan Dr. KH Aguk Irawan, Lc., MA., selaku tuan rumah dan pemateri untuk turos fiqih siyasah mengatakan, acara ini diadakan selain sebagai pendidikan politik santri, juga dilatar belakangi stigma negatif pada politik. “Karena di lapangan, politik sering dipraktekkan dan diartikan secara sempit, yaitu sebatas kursi kekuasaan dan imbasnya kekayaan, bukan kebijakan, keberpihakan dan kemaslahatan ammah. Padahal pesantren punya ideologi yang kuat dalam berpolitik yaitu fiqih siyasah.” Katanya.
Kiai Aguk juga menjelaskan, bahwa lahirnya suatu peradaban itu tidak lain karena sebuah pemerintahan yang kuat, pemerintah yang kuat, karena disana ada ulama yang membimbing umara, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kitab-kitab fiqih siyasanya. “Jadi peradaban itu jelas prodak politik.” Jelasnya dengan mantap.
Menurutnya lagi, pada kejaayaan islam era Abbasiyah (golden age) misalnya disana ditemukan kitab fiqih turos yang berlimpah, ada ratusan, beberapa yang disebut, seperti Kitab Ahkamul Sultoniyah, Qowanin Al-Wizarah karya Imam Al-Mawardi, atau fiquh Siyasah Syar’iyah karya Abdul Halim bin Abdusslam atau pada dinasti Saljuk ada Kitab Tibru Masbuk karya Imam Ghazali, pada era Dinasti Fatimiyah ada kitab Minhajul Masluk karya Abdurahman Siroji.
Begitu juga ketika lahirnya peradaban islam di Nusantara, pada Kerajaan Islam Pasai, disana ada Kitab Tajjusalatin, Kerajaan Islam Demak ada Serat Surya Ngalam. Kerajaan Islam Pajang dan Mataram ada Serat Surya Raja dan lain sebagainya.
Kitab-kitab Fiquh Siyasi diatas menurutnya, sudah dengan detail memberikan arahan bagaimana seharusnya pemimpin dipilih dan diberhentikan oleh ahlu hal wal aqdi atau para wali, serta panduan pembagian kekuasaan dari tingkat atas sampai bawah dengan istilah-istulah nizam bilad, jihad, ahkam, iqtisad sampai ‘uqubat yang semua itu demi kemaslahatah rakyat, yaitu tegaknya keadilan, terwujudnya kedamaian, terjaminnya akses pendidikan dan kesejahteraan sosial.
Dalam ujung sambutannya, ia mengajak agar santri tidak hanya “melek” politik, tapi juga menyadari sepenuhnya bahwa politik sangat penting, sehingga santri mau melibatkan diri secara aktif. Secara terpisah, ketika ditanya secara khusus, kenapa Kiai Aguk sekarang nampak semangat berpolitik, ia menjawab dengan mengutip pendapat Imam Al-Ghazali, “Siyasah wa addin tau-amani mislu akhowain waladan min bathni wahidin; politik dan agama itu seperti saudara kembar yang lahir dari rahim ibu yang sama, maka merawat agama tanpa merawat politik, itu suatu kelaliman…”
Sementara Bapak Abdul Halim, Bupati Bantul, mengutip ayat 104 Surat Ali Imran. Menurut pemahaman Bapak Bupati, satu ayat Al Qur’an tersebut menyimpan tiga gagasan besar sebagaimana konsep Trias Politica. “Yad-‘una Ilal khoril menggambarkan fungsi legislatif, wa ya’muruna bil ma’ruf menggambarkan fungsi eksekutif, dan wa yanhawna ‘anil mungkar menggambarkan fungsi yudikatif.”
Dengan landasan ayat di atas, Bapak Abdul Halim menarik kesimpulan, “Trias politica adalah konsep yang terlambat, karena Nabi Saw sudah lebih awal mengajarkan substansi gagasan yang sama.”
Sementara itu Kiai Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) menegaskan “Berpolitik tidak mesti hukumnya fardu kifayah, jika sangat minim orang amanah di eksekutif, legeslatif dan yudikatif itu bisa berubah menjadi fardu ain, karena ushul fiqh punya prinsip, la yatimmu wajib illa bihi fahuwa wajibun, kewajiban tak akan sempurna tanpa sesuatu itu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula.” Tegasnya.
Gus Yusuf kembali menambahkan soal status dan posisi politik dalam agama. Menurutnya, “as-Siyasatu juzun min ajzais syariah” (politik adalah satu bagian dari syariah). Tentang tujuan politik sebagai syariat menurut Gus Yusuf adalah “Li istishlahil ummah” (memperbaiki kondisi dan nasib umat).
Sementara menurut Gus Nur Hayyid, “bila politik adalah ibadah, maka menang ataupun kalah sama-sama baik; jika menang kita bersyukur, dan jika kalah kita harus bersabar. Dua-duanya sama-sama baik.”
Dalam masalah pendanaan politik, Gus Nur Hayyid menegaskan bahwa dana politik itu kita harus pahami sebagai sedekah. Karena sedekah, maka pasti berpahala. Para politisi tidak perlu risau dengan harta sedekah yang dikeluarkannya dalam perjuangan.”
Sementara Bapak Aslam Ridho berpendapat, turots pesantren menyimpan term-term politik yang sangat berlimpah. Khazanah itu harus ditransformasikan oleh santri. Aslam Ridho mengatakan, “transformasi pemikiran santri mulai diarahkan untuk menciptakan rumusan-rumusan yang menyangkut urusan kebangsaan dan kenegaraan”.
Ketika santri sudah matang dengan pemikiran kebangsaan dan kenegaraan yang mau diusung, menurut Aslam Ridho, “sudah ada amanat undang-undang partai politik yang mendorong pembangunan relasi antara politisi dan masyarakat, dalam hal ini santri.” Partai politik akan jemput bola, menjaring aspirasi kaum santri.
Pemateri berikutnya, Dr. KH. Jazilul Fawaid, yang menggambarkan bahwa politik praktis bukanlah pasar sebagaimana dipahami secara negatif oleh masyarakat selama ini. Menurut Jazilul Fawaid, “politik adalah medan pertukaran gagasan.”
Perlu diketahui, menurut Jazilul Fawaid, “nasionalisme itu lahir dari pesantren. Politik di pesantren dipahami sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. Karena politik adalah amar ma’ruf nahi mungkar, maka politik adalah bagian dari agama. “Kemudian Jazilul Fawaid, menutup dengan mengisahkan politik praktis yang dilakukan oleh Walisongo. “Walisongo berdakwah kepada raja-raja, dan Walisongo juga menciptakan raja-raja (seperti Raden Fatah),” ujarnya.