Oleh : Mujahidin Nur, Ketua Departemen Luar Negeri dan Hubungan Antar Lembaga BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia.
Mekah hari itu begitu cerah. Awan-awan putih berarak indah laksana bentangan-bentangan kapuk putih yang menari-nari diatas langit. Sementara hembusan angin gurun mendesah-desah, menyapa segala sesuatu yang dilewatinya.
Disebuah rumah yang sederhana seorang perempuan paruh baya duduk termenung seorang diri. Sesekali matanya berkedip-kedip pelan sambil pikirannya menerawang jauh melewati sekat-sekat ruang dan waktu. Hatinya diliputi dengan pengharapan dan perasaan yang berat.
Wanita itu adalah Khadijah binti Khuwalaid, seorang perempuan mulia dan cantik, istri Rasulullah SAW. Beberapa hari terakhir ini Khadijah merasa hatinya begitu gundah. Pasalnya, sudah setahun ia menikah dengan Muhammad namun belum juga ia merasakan adanya tanda-tanda kehamilan pada dirinya. Pikiran-pikiran itulah yang membuatnya terkadang sering merenung dan membatin.
Kala itu Khadijah berpikir, apakah setelah melewati usia 40 tahun dia menjadi seorang perempuan mandul? Sehingga tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya tercinta. Akan tetapi dia merasa dirinya sehat, kuat, dan normal. Apalagi dia juga mengalami menstruasi secara teratur. Apa yang salah pada dirinya? Batinnya di dalam hati.
Tahun kedua pun berlalu. Khadijah belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Walau dia tidak pernah kehilangan harapan sama sekali. Namun perasaan bahwa dia tidak mampu memberikan keturunan bagi suaminya membuatnya jiwanya tertekan.
Kadang-kadang Khadijah merasa tidak bahagia dengan kehidupannya bersama Rasulullah. Bagaimana tidak, dua pernikahannya sebelum ini telah memberinya tiga orang anak. Sementara dengan Muhammad dia tak beroleh keturunan sama sekali. Dia pun bertanya apa yang terjadi dengan pernikahannya kali ini? Apakah Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak dari Muhammad?
Lama-lama Khadijah makin merasa khawatir. Dia tahu bahwa setiap orang mendambakan keturunan dari pernikahannya. Muhammad tentu bukan pengecualian dalam hal ini. Apa yang akan terjadi jika dirinya tidak mampu memberikan anak kepada suaminya itu? Tidakkah dia akan memilih wanita lain untuk dinikahi? Wanita yang mampu memberinya keturunan dan melanjutkan silsilahnya.
Kekhawatiran itu memenuhi perasaannya sepanjang tahun kedua pernikahannya. Hanya keyakinannya pada rahmat Tuhanlah yang membuatnya mampu untuk bersabar dan bertahan. Siang dan malam Khadijah selalu berdoa, memohon agar Tuhan mengabulkan keinginannya untuk memberikan keturunan kepadanya. Bertahun-tahun lamanya dia menjalani hidup yang bersih dan suci, apakah itu bukan alasan yang cukup bagi Tuhan untuk mendengar doanya?
Beberapa bulan dari tahun ketiga terlampaui sudah. Kesabaran Khadijah sudah hampir habis. Di saat kritis itulah rahmat dari Tuhan turun. Khadijah merasakan apa yang biasa dirasakan para wanita di tahap-tahap awal kehamilan. Akan tetapi Khadijah sering merasa ragu. Tidakkah itu sekedar ilusi karena keinginannya untuk beroleh anak yang begitu kuat? Akan tetapi makin lama tanda-tanda kehamilan di perutnya semakin terlihat kuat dan jelas. Janin yang dikandungnya kini sudah mulai bergerak-gerak, bahkan menendang-nendang. Betapa lega dan bahagianya Khadijah! Dia segera mengabarkan berita gembira itu kepada suaminya tercinta. Muhammad pun menerima kabar tersebut dengan rasa gembira yang tak terlukiskan. Mereka berdua berpelukan sambil tak henti-hentinya menghaturkan syukur ke hadirat Allah SWT.
Sesudah Khadijah menjalani masa-masa kehamilannya, sebagaimana wanita-wanita Quraisy di masa itu, Khadijah mengharapkan anak yang dikandungnya kelak lahir sebagai bayi laki-laki. Kaum Quraisy tidak pernah bangga memiliki anak perempuan seperti kebanggaan mereka memperoleh anak laki-laki.
Bulan berganti sampai tiba saatnya bayi yang dikandungnya akan dilahirkan. Khadijah makin intens melakukan persiapan-persiapan menjelang proses persalinan. Penantian terhadap lahirnya anakpun semakin menggebu-gebu. Orang yang akan menangani proses persalinan itu adalah Salma, pelayan wanita milik bibi Muhammad, Shafiyyah binti Abdil-Muththalib.
Ketika tiba saatnya, proses persalinan berjalan dengan khidmat. Doa dan harapan dipanjatkan oleh Muhammad demi keselamatan anak dan kemudahan istrinya dalam melahirkan si kecil. Persalinan pun usai. Semua berjalan lancar. Bayi lahir dengan selamat. Laki-laki. Khadijah dan Muhammad saling berpelukan dengan mata berkaca-kaca karena keharuan dan kebahagiaan yang menyelimuti. Semua orang gembira. Kemudian Muhammad memberi nama anaknya, Qasim. Sejak saat itulah beliau terkenal dengan nama Abul-Qâsim atau ‘ayah si Qasim’.
Qasim lahir ketika Muhammad berusia 29 tahun. Di hari ketujuh setelah kelahirannya, rambut sang bayi dicukur habis. Muhammad lalu bersedekah dengan perak seberat rambut yang telah dicukur itu. Dua ekor kambing disembelih untuk dimasak dan dibagi-bagikan. Hari yang sangat membahagiakan bagi Muhammad dan Khadijah mereka rasakan dan syukuri betul-betul.
Sebagaimana tradisi yang berkembang kala itu dikalangan para wanita Quraisy. Mereka beranggapan bahwa semakin banyak anak yang mereka miliki, semakin besar pula kebahagiaan dan kemuliaan yang akan mereka terima. Karena itu, mereka lebih suka membiarkan anak-anak mereka disusui dan diasuh oleh wanita-wanita lain agar mereka bisa lebih cepat mengandung lagi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Khadijah. Dia membiarkan Qasim diasuh oleh seorang wanita yang menyusuinya.
Hanya beberapa bulan setelah kelahiran anak pertamanya, Khadijah merasakan tanda kehamilan lagi pada dirinya. Itu membuatnya semakin tenang. Segenap penderitaan akibat kehamilan dijalaninya dengan rasa bahagia dan suka cita. Dia bahkan mulai berpikir, laki-laki atau perempuankah anaknya yang kedua nanti? Dia berharap Tuhan menganugerahkan kepadanya anak laki-laki lagi.
Hari berganti hari. Qasim sendiri menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Khadijah bahagia melihat anaknya itu kini mulai belajar merangkak. Qasim kecil merangkak dari satu sudut ruangan ke sudut lainnya. Kelucuan dan celoteh Qasim membuat seisi rumah dipenuhi oleh suasana bahagia.
Sementara itu, perkembangan kandungan anak kedua Khadijah juga berlangsung normal. Khadijah mulai bersiap-siap menghadapi kelahiran anak keduanya. Lagi-lagi Salma yang dipilihnya untuk membantu proses persalinan. Anak kedua pasangan Muhammad dan Khadijah pun lahir setahun dan beberapa bulan setelah kelahiran anak pertama. Seorang bayi perempuan yang molek dan cantik.
Muhammad menyambut kelahiran anak keduanya dengan gembira. Sama sekali tidak tampak kesan bahwa dia kurang bahagia memperoleh anak perempuan. Nama “Zainab” dipilihnya bagi anak yang lahir di saat usianya menginjak 30 tahun itu. Khadijah sendiri berusia 45 tahun. Untuk menunjukkan rasa syukur, seekor kambing disembelih dan dagingnya disedekahkan kepada keluarga, handai taulan, serta orang-orang fakir, dan miskin.
Khadijah merasa lega karena Muhammad tidak menunjukkan rasa kecewa terhadap lahirnya anak perempuan ini. Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan; bukankah itu sebuah perpaduan yang sempurna? Dua orang anak tersebut benar-benar menjadi buah hati keluarga dan pelipur lara di kala duka. Kebahagiaan tiada habis-habisnya meliputi kehidupan keluarga Muhammad dan Khadijah.
Muhammad mencurahkan perhatiannya untuk mengurus perdagangan dan mencari nafkah. Dalam kehidupan sosial, Muhammad juga senantiasa menyambung tali silaturrahim serta membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Namanya harum di tengah-tengah masyarakat Mekah. Sementara itu, Khadijah sibuk menangani urusan rumah tangga, mencurahkan segenap kasih sayangnya untuk suami dan anak-anaknya.
Keduanya tidak pernah berpisah. Masing-masing menjalankan fungsi yang saling melengkapi. Dalam setahun, tercatat hanya sebulan Muhammad meninggalkan Khadijah, yaitu ketika dia berkontemplasi di gua Hira`, beribadah kepada Tuhan Sang Pencipta, dan menghindari pengaruh-pengaruh negatif dari tradisi politeisme di Mekah.
Bahkan di gua Hira` pun Muhammad menunjukkan kepekaan sosialnya yang sangat tinggi. Bekal makanan dan minuman yang disiapkan Khadijah untuknya seringkali dia sisihkan untuk para fakir miskin yang mendatangi tempatnya. Setelah sebulan, Muhammad selalu kembali ke Mekah dan melakukan thawaf sebelum akhirnya mendatangi rumahnya.
Demikianlah kehidupan terus berjalan. Tahun berganti. Zainab baru belajar merangkak. Qasim terus tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat. Hampir dua tahun usianya. Setiap hari, ia berjalan menjelajahi rumah dan berceloteh. Ia adalah cita-cita dan sumber kebahagiaan Khadijah. Seringkali Khadijah membayangkan bahwa suatu hari nanti, dia akan melihat Qasim menjadi pemuda kuat yang berdiri di samping ayahnya.
Khadijah mendambakan lahirnya seorang anak laki-laki lagi. Tetapi, setahun berlalu dan tidak ada tanda-tanda Khadijah akan mengandung. Itu tidak membuatnya resah. Barangkali Tuhan menginginkannya beristirahat untuk sementara. Khadijah berharap, jika saatnya tiba, dia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat.
Akan tetapi, tidak ada yang tahu apa yang tersembunyi di balik takdir. Mendadak sebuah peristiwa menghancurkan impian Khadijah dan Muhammad. Qasim meninggal dunia secara tiba-tiba setelah melewati tahun kedua dalam hidupnya. Rumah tangga Khadijah terasa gelap gulita. Semua angan dan cita-cita Khadijah serasa runtuh dan hancur lebur. Air mata tumpah ruah. Seisi rumah tenggelam dalam rasa sedih yang tiada terkira.
Bagi Muhammad, musibah ini benar-benar terasa berat. Sebagaimana umumnya seorang ayah, Muhammad juga berharap anaknya bisa tumbuh menjadi lelaki dewasa yang bisa membantunya dalam urusan-urusan hidup dan keluarga. Pertumbuhan Qasim yang sehat dan menggembirakan membuat harapan itu terasa tidak berlebihan. Maka, bisa dibayangkan, betapa mengejutkan musibah tersebut! Betapa besar rasa kehilangan yang diderita oleh seorang ayah ketika menyaksikan buah hatinya direnggut maut! Ditambah lagi kondisi Khadijah yang tenggelam dengan kesedihan akibat meninggalnya Qasim.
Dahulu ketika Qasim baru lahir dia membayangkan suatu saat nanti memiliki dua orang anak laki-laki yang membanggakan. Tetapi Allah melakukan dan memberi apa pun dan pada siapa pun yang Dia kehendaki. Selalu ada hikmah yang tersembunyi di balik apa yang ditakdirkan-Nya. Manusia dituntut untuk menyikapi setiap takdir dengan sabar dan rela.
Muhammad bersedih dan menangis. Dalam kesedihan dan tangisannya itu, Muhammad mengatakan sesuatu yang menggambarkan perasaan ikhlasnya atas takdir yang dikehendaki oleh Allah pada diri dan keluarganya, “Air mata boleh mengalir, hati boleh bersedih, tetapi lisan hanya boleh mengucapkan apa yang membuat Tuhan ridha. Kami sungguh bersedih atas kematianmu, Wahai Qasim.”
Waktu merambat pelan. Khadijah terus tenggelam dalam kesedihannya. Tetapi Muhammad tidak larut dalam kesedihan dan dengan cepat mengambil hikmah dari peristiwa ini. Dia tidak pernah bosan menghibur dan membujuk istrinya. Dia juga selalu meluangkan waktu untuk bercanda serta bermain bersama Khadijah dan Zainab sehingga perlahan keluarga mereka memperoleh kebahagiaannya kembali, walaupun Qasim sang anak impian yang dulu pernah menjadi pelipur hati dan penghias mata mereka kini tinggal kenangan di dalam batin mereka masing-masing. Karena Qasim telah pergi meninggalkan Khadijah dan Muhammad untuk selama-lamanya.*