“Agama berperan sebagai terapi, pencegah, dan faktor pembinaan bagi kesehatan mental. Pendidikan keluarga dan sekolah pun ikut memengaruhi.”
Tulisan ini akan mengulas Zakiah dari perspektif multidimensi, sebagaimana sosok pribadinya yang aktif dalam birokrasi pendidikan, seorang psikolog, dan ulama perempuan yang dikenal luas. Sebagai seorang psikolog, Zakiah selalu mengaitkan nilai-nilai agama dalam terapinya. Ia juga dikenal sebagai mubaligah yang menyampaikan kajian-kajian dengan cara yang santun. Sedangkan perannya di birokrasi pendidikan ia geluti dengan menjadi Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam di Departemen Agama (Depag).
Zakiah lahir di Kampung Kotamerapak, Kecamatan Ampek Angkek, Bukit tinggi pada 6 November 1929. Daradjat—ayah Zakiah—adalah salah satu tokoh Muhammadiyah di kampungnya. Sedangkan ibunya, Rapiah, adalah seorang pegiat Sarekat Islam. Aktivitas yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut menjadi sumber kesadaran Zakiah untuk aktif mengembangkan organisasi. Meskipun keluarganya bukan dari kalangan ulama, ia dididik dengan cara-cara yang sangat islami.
Suasana kampung di ranah Minang pun turut memengaruhi kepribadian Zakiah. Dengan suasana kampung yang religius, tidak heran jika sejak kecil Zakiah sudah mendapatkan pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Kampun Kota Marapak pada decade 1930 memang dikenal sebagai perkampungan religius. Menurut Zakiah, jika tiba waktu salat, masyarakat kampunya akan meninggalkan semua kegiatan dan bergegas ke masjid.
Perjalanan Akademis Studi ke Mesir
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas pada 1950, Zakiah meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studi di Yogyakarta. Kuatnya tradisi merantau dan corak budaya matrilineal di Minang membuat jalan Zakiah terbuka lebar untuk meakses pendidikan. Di Yogyakarta, ia menempuh studi di Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang sekarang dikenal dengan IAIN Sunan Kalijaga. Selain itu, Zakiah juga mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Namun demikian, kuliahnya di UII harus berhenti di tengah jalan karena atas rekomendasi dosennya untuk fokus pada satu studi.
Setelah mencapai tingkat doctoral satu (BA), Zakiah memperoleh tawaran dari Departemen Agama untuk melanjutkan studinya ke Kairo, Mesir. Ia adalah wanita satu-satunya di antara sembilan teman laki-lakinya yang dikirim ke Mesir. Beasiswa tersebut adalah kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Mesir. Tepat pada tahun 1956, Zakiah dan teman-temannya bertolak ke Mesir untuk melanjutkan studi magister di Universitas Ein Shams, Kairo.
Zakiah berhasil meraih gelar MA dari Universitas Eins Shams dengan sepsialiasi pendidikan. Ia mengangkat tesis tentang kajian problema Remaja di Indonesia pada tahun 1969. Kemudian ia berhasil menyelesaikan spesialisasi Psiko-Hygiene di universitas yang sama di tahun berikutnya. dari sinilah Zakiah mulai menekuni klinik kejiwaan hingga sering membuka praktik konsultasi psikologi. Setelah mendapat gelar MA, Zakiah melanjutkan studi S3 perkembangan ilmu psikologi di universitas yang sama. Pada 1964, ia memperoleh gelar Doktor dalam bidang psikolohi dengan spesialisasi kesehatan mental.
Mengintegrasikan Ilmu Psikologi dan Keislaman
Zakiah Daradjat mulai mengajar ilmu jiwa agama di IAIN Jakarta pada tahun 1967. Pada tahun tersebut, literature mengenai ilmu jiwa agama masih minim bahkan untuk rujukan menggunakan bahasa asing sekalipun. Ilmu tersebut tergolong baru dan belum banyak dikenal oleh masyarakat maupun akademisi. Dengan demikian, Zakiah mencoba menyusun diktat ilmu jiwa agama yang kemudian diterbitkan dalam buku yang berjudul “ilmu jiwa agama” oleh penerbit Islam kenamaan pada saat itu, Bulan Bintang.
Berdasarkan pengalamannya dalam memberikan konsultasi psikologi, Zakia menulis sejumlah buku yang berkaitan dengan faktor penting beberapa doktrin agama seperti salat, zakat, dan puasa dalam mengembalikan keseimbangan kehidupan mental seseorang. Ia juga mengelaborasi sejumlah doktrin dan rukun iman sebagai faktor yang menentukan dalam pengobatan. Perhatian Zakiah yang sangat intensif terhadap integrasi nilai-nilai religius dan terapi psikologi didasarkan pada asumsi akan pentingnya agama dalam menjaga kesehatan mental.
Landasan teori yang digunakan Zakiah untuk mencari titik temu antara kedua ilmu tersebut adlah metode non-directive yang dikembangkan oleh Karl Rogers. Dalam metode tersebut, psikoterpai berpusat pada klien dan oleh sebab itu nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh seorang klien sangat berpengaruh terhadap penyembuhan. Melalui temuan-temuan tersebut, Zakiah menulis beberapa buku seperti: Shalat dan Kesehatan Mental, Puasa dan Kesehatan Mental, serta Zakat dan Kesehatan Mental.
Selain itu, Zakiah juga aktif dalam memberikan ceramah agama melalui berbagai media elektronik, terutama radio. Pada tahun 1965 ia sudah memberikan ceramah mengenai akhlak, kemudian rutin memberi kuliah subuh. Pada saat itu, terangnya, ia hanya menggantikan Buya Hamka yang sedang berkunjung ke Aljazair, namun demikian ia melanjutkannya menjadi sebuah rutinitas. Sejak saat itu, ia berturut-turut mengisi ceramah agama dan kesehatan mental di RRI untuk agenda “Renungan Malam” pada pukul 02.00, “Hikmah Ramadlan”, serta “pendidikan budi pekerti”.
Sebagai realisasi ide-ide bidang pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan mental, Zakiah mendirikan sebuah Yayasan Pendidikan Islam bernama “Ruhama”. Lokasi yang dipilih adalah Ciputat, Jakarta Selatan. Di yayasan tersebut, Zakiah mencoba menerapkan pandangan yang mengaitkan agama dan kesehatan mental sebagai gagasan besarnya. Selain itu, Zakiah selalu aktif menulis dan menerbitkan beberapa buku tentang kesehatan mental.