Poligami; Dulu dan Kini

Kolom Jumat Damhuri Muhammad - Dawuh Guru

Oleh: DAMHURI MUHAMMAD

Poligami selalu sengit diperdebatkan dalam diskursus fiqh munakahat Islam. Tak jarang sejumlah sejarawan melancarkan serangan telak bahwa nabi Muhammad lah yang pertamakali memprakarsai tradisi poligami itu, sampa-sampai ada yang berkesimpulan bahwa salah satu faktor penyebab cepatnya penyebaran Islam karena penghalalan poligami. Tapi, kemunduran dunia Islam disebabkan oleh poligami pula. Sepintas lalu, kesimpulan itu seolah-olah masuk akal, tapi bila ditelusuri lebih jauh, tudingan macam itu terasa mengada-ada, dan sukar dipertanggungjawabkan. Sebab, sejarah mencatat bahwa tradisi poligami sudah ada dan berkembang pesat puluhan tahun sebelum Islam datang. Praktik mengawini lebih dari satu istri telah berlangsung di kalangan suku-suku Arab pra-Islam, Persia, Yahudi dan suku-suku lainnya. Tak hanya dilakukan oleh suku-suku primitif, poligami juga beroleh tempat di kalangan suku-suku beradab.

Inilah cikal bakal silang pendapat perihal poligami yang hendak didedahkan Murthadha Muthahhari (2007) dalam bukunya Duduk Perkara Poligami  dengan menggali akar sejarah tradisi poligami sejak dari perkembanganya yang paling purba. Bagaimana mungkin para sejarawan berkesimpulan bahwa Islam menumbuhsuburkan adat poligami, padahal usia sejarah poligami lebih tua dari usia Islam itu sendiri. Sinyalemen ini diakui oleh seorang sarjana Barat, Wiil Durant (1935-1975) dalam The Story of Civilization bahwa bertahun-tahun sebelum kedatangan Islam, poligami telah menjadi adat yang lumrah di kalangan suku-suku primitif Arab.

Kalau memang demikian, kenapa Islam tidak menghapus tradisi perkawinan majemuk yang hanya akan memperkokoh dominasi pria terhadap wanita? Bukankah penghalalan poligami akan mengingkari hak-hak perempuan yang semestinya dijunjung tinggi? Bagi Murthadha, pertanyaan-pertanyaan itu muncul akibat dangkalnya pemahaman terhadap poligami. Islam memang tak sepenuhnya menghapus poligami (meski sepenuhnya menghapus poliandri), tapi membatasi poligami, artinya menghapus ketidakterbatasan poligami dan membatasinya sampai empat istri saja. Itupun dengan syarat dan batasan-batasan yang sangat ketat. Sayang sekali, buku tipis yang dalam edisi terjemahan Indonesia dijuduli Duduk Perkara Poligami itu hanya hasil terjemahan satu bab dari The Right of  Women in Islam  (1981), bukan gagasan utuh Murthadha yang sangat erat kaitannya dengan polemik soal poligami.

Baca Juga  Jalan Kenabian

Murthadha menyangkal poligami sebagai tirani, dominasi dan perbudakan pria atas wanita sebagaimana kerap didengungkan. Muasal sejarah poligami bukan karena pria mendominasi wanita, lalu mereka merancang adat dan peraturan yang menguntungkan mereka. Kemunduran poligami juga bukan karena dominasi pria sudah mulai goyah bahkan hampir roboh. Dalam konteks ini, ia menggunakan logika terbalik, kalau memang dominasi pria menjadi sebab poligami, kenapa Barat tidak menerapkannya? Mengapa sistem partriarkat dianggap terbatas di wilayah Timur saja? Padahal, di abad pertengahan, wanita Barat adalah wanita yang paling tidak beruntung di dunia, sebagaimana diakui Gustave le Bon (1841-1931) bahwa pada zaman peradaban Islam, wanita diberi kedudukan yang persis sama dengan wanita Barat jauh hari kemudian. Kita tahu bahwa raja-raja kita tidak menaruh hormat pada wanita. Setelah mempelajari sejarah zaman dahulu, tak ada lagi keraguan bahwa sebelum Islam mengajari kakek-kakek kita mengasihi wanita dan menghormatinya, raja-raja kita memperlakukan wanita dengan sangat biadab.

Kalau memang Islam menaruh hormat pada hak-hak wanita, kenapa hanya kaum pria yang boleh menikahi lebih dari satu istri (poligami) sementara wanita tidak diberi hak menikah lebih dari satu suami (poliandri)? Murthadha merujuk sebuah riwayat tentang peristiwa ketika sekelompok wanita menghadap saidina Ali r.a dan mereka bertanya, “Mengapa Islam memperkenankan laki-laki punya lebih dari seorang istri tapi tidak mengizinkan wanita bersuami lebih dari seorang? Bukankah ini tidak adil?” Ali menyuruh masing-masing mereka mengambil cangkir berisi air, lalu meminta mereka menuangkan air dalam cangkir masing-masing ke dalam mangkuk besar yang diletakkan di tengah-tengah pertemuan itu. Setelah cangkir-cangkir mereka kosong, Ali meminta masing-masing wanita itu mengisi kembali cangkir mereka dengan air dalam mangkuk besar itu dengan ketentuan; setiap orang harus mengambil air yang tadi ditumpahkannya ke dalam mangkuk itu. “Air itu sudah tercampur, tidak mungkin dipisahkan lagi” kata mereka. Maka, Ali berkata; “Apabila seorang istri memiliki beberapa orang suami, ia akan melakukan hubungan badan dengan setiap suaminya, kemudian ia akan hamil. Bagaimana ia menentukan ayah dari anak yang dikandungnya?”

Baca Juga  Bertamasya ke Neraka

Murthadha hendak meluruskan pemahaman yang keliru terhadap tradisi poligami yang telah memicu polemik tak kunjung usai. Ia tidak berpretensi memaklumatkan poligami lebih bermartabat ketimbang monogami, hanya mempertanyakan kenapa banyak orang mengecam keras perilaku poligami dan menuding poligami menindas hak-hak perempuan? Ironisnya, ketika mereka menentang poligami, pada saat yang sama, hubungan badan bebas justru diperkenankan. Pria-pria modern bisa gonta-ganti pacar tanpa formalitas dalam bentuk mahar, nafkah, atau perceraian. Mungkin itu sebabnya Moise Tshombe (mantan Perdana Menteri Kongo) menentang poligami. Ia pernah sesumbar dalam sebuah wawancara surat kabar, bahwa satu istri sudah cukup baginya selama ia dapat mengganti sekretaris wanitanya setiap tahun. Bertrand Russell, pemikir yang paling keras mengecam poligami, dalam otobiografinya berkisah bahwa dalam hidupnya ada dua orang wanita setelah ibunya, yaitu Aliys (istrinya) dan Lady Ottoline Morell (kekasihnya). Meski Russell tidak menyukai poligami, suatu hari filsuf itu jujur mengakui; mendadak saya sadar bahwa saya tidak lagi mencintai Aliys. Kalau sudah begini, tentu poligami tak berguna lagi…

DAMHURI MUHAMMAD

Kolumis

Tinggalkan Balasan