Membentengi Pemikiran Dari Virus Diabolis

Pemikiran, dan segala hal yang menyerempet pemikiran menjadi isu yang sedang hangat dibicarakan, hal ini karena manusia memang dibekali akal pikiran yang membedakannya dari ciptaan Allah yang lainnya. Isu isu seperti liberalisme, sekularisme,feminisme yang kemudian akrab dengan istilah persamaan gender seolah mendapat angin segar setelah lama tak terendus oleh kehidupan manusia.

Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana hausnya manusia terhadap segala bidang keilmuan, salah satunya studi mengenai pemikiran, sebagai contoh bagaimana kampus kampus, baik yang berstatus negeri maupun swasta berlomba lomba menggaungkan motonya masing masing untuk melahirkan generasi yang memiliki intelektualitas tinggi.

Dewasa ini, nilai sesorang dapat dilihat dari cara nya berpendapat, mencerminkan kadar intelektualitasnya. Sebenarnya makna intelektual yang kita dapati dalam kamus besar bahasa Indonesia, memiliki perbedaan yang begitu kentara dengan makna inteletual pada asal usul nya, dimana ketika periode 1898 kata kata intelektual lebih berkonotasi negative dan lebih dimaksudkan sebagai  penghinaan daripada sanjungan.[1] Kemudian makna intelektual disematkan kepada mereka ynag tidak setia, tidak mau tunduk kecuali kepada pemikirannya sendiri, bahkan tidak kepada bangsa, Negara dan Agama.

Hal ini pula yang menggerakan seorang Syamsuddin Arif, Penulis buku Islam dan Diabolisme Pemikiran untuk memberikan penjelasan mengenai kedudukan pemikiran dalam kehidupan bermasyarakat dan yang lebih penting lagi bagaimana mengarahkan intelektualitas masyarakat kea rah yang benar. Mengingat Indonesia adalah bangsa dengan bermacam macam suku bangsa, sudah barang tentu setiap bangsa memiliki tradisi pemikiran yangh berbeda antara satu dan yang lain.

Beliau memulai penjelasan mengenai makna intelektual dengan menghadirkan memori sejarah bagaimana istilah  intelektual terbentuk. Hingga kemudian disusun nya penjelasan  secara runtut dari diabolisme intelektual, kemudian menjurus ke penjelasan liberalisme pemikiran,  lebih dalam mengenai pembahasan islam dan politik, turut dihadirkan pula solusi terhadap aliran “ baru” ahmadiyyah yang sempat menghebohkan itu,  hingga akhirnya ditutup dengan sebuah pemaparan mengenai averroisme dan renaissance.

Seorang orientalis kondang, Arthur Jeffrey yang menghabiskan hidupnya untuk mengkritik Al-Quran khususnya mengenai  kosakata kosakata dalam Al-Quran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan diabolos adalah sebuah istilah yang merujuk kepada penyebutan bangsa yunani kuno terhadap iblis.

Baca Juga  Pendidikan Rusak-Rusakan

Maka dapat diartikan bahwa diabolisme adalah pemikiran, watak, dan perilaku ala iblis  atau bahkan sebuah pengabdian kepada iblis. Iblis adalah model dari intelektual keblinger, sesaat setelah divonis Allah SWT, ia memohon supaya ajalnya ditangguhkan. Dibebaskan dan kemudian bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya dengan berbagai cara. Dijelaskan di buku ini bahwa kita dapat mengidentifikasi  para cendekiawan bermental iblis, sebagaimana di jelaskan dalam Al-Quran.

Pertama mereka selalu membangkang dan membantah.  Selanjutnya mental iblis mereka tercermin dari sifat takabbur termasuk di dalamnya sombong angkuh congkak dan arogan. Kemudian cirri yang terakhir adalah mereka selalu mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran, hakikatnya mereka tahu kebenaran itu akan tetapi mereka sengaja memutarbalikkan fakta dan data.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa di Negara Negara muslim seharusnya terdapat perlindungan terhadap akidah warga Negara nya, sebagaimana Negara melindungi keselamatan jiwa  warga negaranya dari tindakan ahli medis gadungan. Hingga yang demikian ini melahirkan ulama ulama gadungan, mujtahid palsu dan mufassir abal- abal .

Problem ini sudah menjadi pekerjaan rumah pemerintah, bukan hanya pemerintah Indonesia Arab Saudi pun tak luput dari kejadian seperti ini. Setali tiga uang dengan Arab Saudi dan Indonesia, di suriah terdapat  Mohammad Shahrour yang merupakan penafsir abal – abal dan telah menulis buku dalam jumlah yang tidak sedikit dan malah mencerminkan kejahilan daripada keilmuan.

Dalam hadits Rasulullah pernah berkata “perumpamaan seorang muslim terhadap seorang muslim lainnya adalah seperti dua buah tiang yang saling menguatkan satu sama lain.” Hal ini terbukti  ketika salah seorang oknum berorasi dengan nada menistakan agama islam, sontak seluruh muslim di Indonesia berseru dalam satu suara, bergerak dibawah satu komando menuntut keadlian atas apa yang telah dilakukan oknum tersebut.

Baca Juga  Tugas Tersembunyi Seorang Penyair, dalam Buku Puisi Karya Fathul H. Panatapraja

Puncaknya, ketika oknum tersebut yang diketahui non- muslim mencalonkan diri sebagai kepala daerah, wacana penolakan menyeruak dimana mana. Tak tanggung – tanggung unjuk rasa hingga bermuara pada istighasah meminta doa secara berjamaah pun digelar. Hal ini sejalan dengan khazanah intelektual islam, dimana dalam kajian pemimpin, terdapat tiga persoalan klasik mengenai kepemimpinan.

Yang pertama adalah pemimpin yang kurang layak, yang kedua adalah  pemimpin yang suka maksiat, hingga yang ketiga adalah pemimpin non muslim.  Persoalan terakhir menjadi  yang paling hangat dibicarakan  karena pada dasarnya secara normative maupun historis hal itu tidak boleh dan tidak pernah terjadi.

Imam An- nawawi sebagai seorang yang memiliki otoritas sebagai ahli fiqih dan ahli hadits menjelaskan ada syarat syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin, pemimpin haruslah akil baligh, orang islam, adil, merdeka, laki laki, berilmu,  berijtihad,   pemberani, mempunyai visi dan kompetensi, serta sehat pendengaran maupun penglihatan. Hal ini juga mencerminkan bahwa islam begitu perduli terhadap masalah masalah pemerintahan, tentu yang ada sangkut pautnya dengan politik .

Namun politik bukanlah tujuan utama ummat islam, lebih dari itu berpolitik dijadikan jalan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, kebahagiaan di dunia dan di akhirat.  Kajian Politik islam sendiri dapat diper rinci menjadi tiga bagian penting. Yang pertama adalah pembahasan tentang konsep dan norma perpolitikan menurut uraian para ulama, yang kedua adalah kajian yang menjadikan politik islam sebagai pustaka ilmiah, dan yang ketiga adalah kajian yang menyebutkan bahwa ajaran islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama adalah factor yang menyebabkan umat islam tak mampu membendung arus kolonialisme nan deras.

Buku Islam dan Diabolisme Intelektual ini bak oase ditengah padang pasir, hal ini menyangkut krisis pemikiran yang sudah memasuki fase kritis. Bagaimana tidak, segala bidang kehidupan telah dijangkiti virus virus liberalisme, sekularisme, bahkan yang paling gress adalah feminisme dan gender.

Baca Juga  Forbidden face; Memoar Kelam Seorang Gadis di Bawah Taliban

Buku setebal 253 halaman ini begitu memaparkan materi – materi yang harus nya begitu berat untuk dibahas, menjadi teman secangkir kopi hangat dalam sebuah diskusi hangat.  Faktor penulis yang berpengalam menulis buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran benar benar membantu dalam penyusunan buku ini.

Akan tetapi bagaikan gading , tiada yang tak retak buku ini pun masih memiliki kekurangan, diantaranya beberapa istilah akan terasa begitu asing bagi orang awam. Namun secara keseluruhan, penulis menyarankan untuk membaca buku ini, untuk menambah khazanah kita mengenai gejolak pemikiran yang ada dewasa ini.

[1] J-d. Bredin, The Affair : the case of albert Dreyfus ( new York : Braziller, 1986)

 

Penulis adalah seorang santri senior yang masih menuntut ilmu di Pondok Modern Darussalam Gontor, dan sedang belajar menulis sedikit demi sedikit dari apa yang dipelajari dan didapatkan di Pondok.

Tinggalkan Balasan