Oleh: Zahratun Naemah
COVID- 19 telah menjadi pandemi global semenjak diumumkan oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. COVID-19 petama kali muncul di Wuhan China pada akhir tahun 2019. Kemudian berkembang dengan cepat dan tidak terkontrol ke seluruh dunia. Yang membedakan virus ini dengan virus yang lain adalah mudah menular, kekuarangan pasokan bagi tenaga medis, dan banyaknya informasi di media sosial yang menyebabkan pengaruh psikologis pada banyak orang. Dampak yang nyata adalah kehilangan nyawa atau kematian, terganggu aktivitas pendidikan, dan yang paling mengkhawatir dampak psikologis dan perubahan perilaku pada masyarakat.
Perubahan emosi, seperti khawatir, cemas dan stres merupakan respon biasa ketika menghadapi situasi pandemi. Hal itu merupakan bentuk pertahanan diri atau tanda bahwa ada ancaman yang kita hadapi. Namun, apabila berlebihan, maka akan menganggu kondisi psikologis individu, seperti mengalami depresi. Dalam perspektif psikologi ada istilah psikologi epidemi (epidemic psychology) dan psikologi pandemi (pandemic psychology). Kedua istilah tersebut relatif sama, hanya dibedakan pada tingkat luas penyebaran pengaruh penyakit secara psikologis berdasarkan tingkat kecepatan dan luasnya penyebaran.
Menurut Strong (1990) epidemic psychology yang mengacu pada dua hal makna yaitu epidemi penyakit (fisik), yang berfokus pada penyebaran penyakit dan epidemic nature, termasuk psikologi (psikis). Menurutnya ada tiga tipe psikologi epidemi, yaitu epidemi ketakutan, yaitu, mengacu bagaimana penyebaran psikologis (ketakutan, kecurigaan) ke orang banyak secara cepat, kedua, epidemi penjelasan dan moralitas, yaitu berkaitan dengan kebutuhan informasi mengenai penjelasan tentang apa, kenapa dan bagaimana penyakit terjadi, serta memahami penyakit dari perspektif moral, dan agama, dan terakhir epidemi aksi yaitu terkait perubahan perilaku masyarakat secara masif baik individual maupun kelompok/komunitas dalam menghadapi epidemi penyakit. Psikologi epidemi sangat menganggu dan merusak, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara psikologis.
COVID-19 juga telah mengubah kehidupan dan perilaku social manusia akibat penyesuaian terhadap pandemi COVID-19. Perubahan tidak hanya terjadi pada individu tetapi juga kelompok. Hampir semua aspek terkena, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik dan agama. Perubahan itu menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat. Bayangkan saja, banyak dampak yang ditimbulkan dari COVID-19 ini seperti tidak diperbolehkannya mengadakan acara sakral seperti pernikahan yang ditunda atau dibubarkan kegiatan agama, seperti sholat jumat di masjid. Begitulah, besarnya dampak COVID-19 pada kegiatan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia. Beberapa himbauan yang digunakan pemerintah untuk mengurangi penyebaran COVID-19 yang secara langsung mengubah perilaku sosial, seperti, stay at home, social distancing, physical distancing, cuci tangan, menggunkan masker, dan sebagainya.
Berdasarkan pengamatan di daerah penulis, terdapat perubahan perilaku masyarakat akibat COVID-19. Perubahan itu berasal dari inisiatif sendiri maupun himbauan dari pemerintah. Misalnya jaga jarak sosial ketika berinteraksi, dan berkurangnya solidaritas masyarakat dalam bentuk kepeduliaaan pada masa pandemic. Hal ini terjadi salah satunya karena stigma. Stigma adalah suatu keyakinan negatif dari individu atau kelompok mengenai sesuatu. Stigma dapat berkaitan dengan sesuatu yang tampak dan tak tampak, kontrol dan tidak terkontrol, penampilan, perlaku dan kelompok. Stigma dibentuk sebagai hasil konstruksi oleh masyarakat, dan budaya pada konteks tertentu. Ketika seseorang terkena COVID-19, maka orang lain akan cenderung memberi stigma negatif ke orang tersebut.
Secara sosial, stigma mengakibatkan orang yang terkena COVID- 19 mengalami penolakan, dari orang sekitar. Adanya stigma menimbulkan dampak individu yang mengalami, seperti kecewa. Stigma juga dapat menyebabkan ketakutan, kekhawatiran berlebihan di masyarakat akan tertular COVID-19. Stigma negatif terhadap COVID-19 juga membuat orang cenderung tidak ingin berobat ke rumah sakit karena rasa ketakutannya yang begitu besar terhadap virus ini. Untuk mengurangi penyebaran dan dampak COVID-19, kita butuh solidaritas semua pihak, kita butuh kebersamaan untuk mengurangi penyebaran dan dampak COVID-19 salah satu upaya yang perlu kita lakukan yaitu tidak berlebihan mengakses informasi, utamakan informasi positif (pencegahan, penaganan) dibandingkan informasi negative, menjaga hubungan dengan orang lain yaitu selama melakukan social distancing perlu tetap menjaga hubungan dengan orang lain untuk membangun solidaritas dan saling dukung, dan juga bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait yang bertangung jawab dalam penanganan COVID-19, dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat dalam penanganan wabah ini.
*Zahratun Naemah, mahasiswa magister PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berkecimpung dalam dunia kepenulisan artikel dan anggota penulis buku isokopledia.
Sumber Bacaan
Adiluhung, Johan Wahyudi. Sosiologi Pedesaan di Era Corona Virus19, MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 12 No. 2 (2020): Agustus 2020, (P- ISSN 2085 – 143X) (E- ISSN 2620 – 8857).
Nasution, Khoiruddin. Berpikir Rasional-Ilmiah Dan Pendekatan Interdisipliner Dan Multidisipliner Dalam Studi Hukum Keluarga Islam, Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 1, Juni 2017 M/1438 H.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016.
Ni’mawati, dkk. Kajian Riset Monodisipliner Dan Interdisipliner Dalam Pendidikan Islam Menghadapi Isu Nasional Dan Global: Studi Kasus Terhadap Isu Covid-19, Misykat, Volume 05, Nomor 01, Juni 2020, hlm. 104.