(Mengenang 40 Hari Wafanya KH. R. Muhammad Najib Abdul Qadir Munawwir)
Sudah genap 40 hari Allah Yarham Romo KH. R. Muhammad Najib Abdul Qadir Munawwir berpulang meninggalkan kita. Tapi, masih begitu terasa kuat hawa “keberadaan” beliau yang dengan sabar nenggoni para santri setoran hafalan di ndalem, masih begitu jelas bayangan beliau dengan langkah dan dehemnya yang khas melangkah ke komplek Huffadh dan Ribath untuk mengajar talaqqi (kiai menyontohkan bacaan, santri menirukan), masih sayup-sayup terdengar suara beliau yang mendawamkan Laqad ja akum rasulun sesuai jamaah di masjid. Kita seolah dibuat tak percaya dengan kepergian beliau yang tiba-tiba, sedangkan atsar dari beliau yang masih demikian terasa.
Sudah banyak Kiai-Bunyai yang mengakui begitu mendalam dan habis-habisan khidmah beliau terhadap al-Qur’an. Tidak sedikit para tokoh yang sebelumnya tidak mengenal beliau, lalu sowan dan bertemu untuk pertama kali dengan beliau langsung bisa dekat dan akrab dengan beliau karena merasa diwongke. Bagi masyarakat umum pun, Mbah Najib dikenal dengan sosok kiai yang sangat egaliter dan sederhana. Apalagi dalam kaca mata para santri, Mbah Najib telah menjelma orang tua yang demikian perhatian dan mendalam mengenal santri-santrinya, bahkan bisa disimpulkan bahwa beliau hafal nama dan asal daerah dari semua santri yang mondok dan setoran kepada beliau.
“Menjaga Al-Qur’an itu tidak ada batas waktunya, sampai akhir hayat. Karena itu, perlu diingat bagi yang sudah beristri atau berkeluarga, bahwa istri pertama kalian adalah Al-Qur’an” merupakan dawuh yang benar-benar beliau terapkan dan contohkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua santri pasti menyaksikan bahwa hari-hari beliau penuh –untuk tidak mengatakan berlibihan— dengan al-Qur’an. Setelah mengimami subuhan di masjid Krapyak, beliau memimpin ngaji talaqqi sampai sekitar pukul 07.00. Lalu selang sebentar sekitar pukul 08.00, beliau menyimak setoran para santri putri sampai sekitar pukul 10.00 bahkan 11.00. Ba’da dhuhur sekitar pukul 14.00 beliau menyimak setoran para santri putra, tidak jarang sampai sore sekitar pukul 16.30. Malam harinya ba’da isya’, beliau juga menyimak setoran dari para santri sampai sekitar pukul 24.00, bahkan ketika bulan ramadhan bisa sampai menjelang sahur. Itu pun, beliau masih menerima tamu juga menghadiri undangan, acara, atau hajatan yang demikian padat.
Kita akan sulit melogika dengan manajemen Mbah Najib dalam membagi waktu, di mana beliau memiliki kewajiban kepada para santri tapi di sisi lain beliau juga memiliki tanggungjawab kepada masyarakat. Iya, beliau adalah sosok yang sangat tidak ingin membuat orang lain kecewa. Beliau selalu menomorsatukan apapun yang bukan tentang beliau, jika untuk maslahah beliau tidak segan-segan menomor sekiankan dirinya sendiri. Bahkan ketika sedang gerah yang terakhir –ternyata baru diketahui bahwa beliau merahasiakan dan menahan sakitnya sampai sekitar dua minggu—, beliau masih bersikukuh menerima setoran hafalan.
Ketika memandang beliau, hampir selalu kita jumpai dalam keadaan tersenyum, bukan hanya mulut beliau tapi wajah beliau yang tersenyum. Dengan hanya memandang beliau saja, bisa membuat unek-unek dan rupek-rupek di hati seketika sirna. Pernah suatu ketika, setoran di ndalem terlihat sepi, hanya beberapa yang ikut setoran (karena memang sebagian santri mondok sambil kuliah). Hari berikutnya semua santri yang jarang setor dikumpulkan di ndalem. Meskipun bisa jadi di kampus memang sedang banyak tugas, semua merasa bersalah dan takut jika Mbah Najib ghadab (marah). Namun yang terjadi diluar ekspektasi mereka, Mbah Najib sama sekali tidak ghadab. Mbah Najib memandang satu persatu yang santri yang berkumpul, lalu tersenyum, justru beliau tidak membahas apapun soal masalah jarang setoran, beliau justru dawuh “do sehat to kang? Melekkan ojo bengi-bengi, ngajine seng semangat. Yowes kang kunu do mbalek pondok” (sehat semua ya kang? Kalau begadang jangan malam-malam, ngajinya yang semangat. Yasudah kang sana pada kembali ke pondok).
Itulah Mbah Najib, beliau dihormati bukan karena orang-orang takut kepada beliau, tapi karena orang-orang dibuat takjub dengan akhlak beliau. Sebagaimana Mbah Munawwir, Mbah Arwani, dan Mbah Qadir, kini “Mbah Najib” bukan lagi sekedar nama yang dikenang, tapi sebuah idiom untuk menunjuk pengertian yang sesungguhnya dari kana khuluquh al-Qur’an. Mbah Najib adalah al-Qur’an itu sendiri.
Akhirnya penulis hanya bisa nyadong berkah serta berharap diakui sebagai santri beliau. Allahumma a‘ada ‘alaina min barakatih wa asrarih wa ‘ulumih amin.
*ditulis sambil mendengarkan muratal Mbah Najib
Demak, 29 Jumadil Akhir 1442H / 11 Februari 2021M
Waffada Najiyya