Oleh : Dian Annisa Rizkyah Wati
Riwayat Hidup Kiai Mahfudz Siddiq
Beliau lahir pada Kamis Pon, 27 Rabiul Awal 1325 H atau 10 Mei 1907 M di Jember. Dia adalah putra sulung pasangan K.H Muhammad Siddiq dan Nyai Hj. Maryam. Dari pernikahannya dengan Nyai Maryam, Kiai Muhammad Siddiq dikaruniai sembilan orang anak. Empat di antara mereka meninggal ketika masih kecil.
Kiai Mahfudz Siddiq merupakan seorang perokok berat dan kebiasaan itu tidak disukai oleh istrinya. Kebiasaan Kiai Mahfudz Siddiq merokok merupakan cara untuk memancing ide-ide dalam penulisan buletin NU. Kiai Mahfudz sempat mengatakan, “nek gak ngerokok, gak metu-metu.” (kalau tidak merokok, idenya tidak segera keluar). Maka kebiasaan merokok berat karena Kiai Mahfudz merupakan pemimpin buletin NU yang tentunya banyak menghabiskan waktunya untuk menulis.
Pada usia dewasa Kiai Mahfudz Siddiq mulai memikirkan pasangan hidup, Kiai Mahfudz Siddiq berusaha mencari sendiri pasangan hidupnya tidak bergantung pada keluarga. Kemudian pilihan Kiai Mahfudz tertuju pada gadis berdarah Jawa-Kalimatan yang bernama Sarah atau Muyassarah yang merupakan santri dari ayahnya. Pernikahan Kiai Mahfudz Siddiq dengan Sarah membuahkan delapan orang anak yaitu lima laki-laki dan tiga perempuan.
Kiai Mahfudz Siddiq merupakan seorang yang sabar dan tidak mudah marah. Jika sang istri marah Kiai Mahfudz hanya diam saja megalah dan tidak membela diri atau malah gantian memarahinya. Kiai Mahfudz Siddiq lebih banyak belajar otodidak dengan mempunyai koleksi buku dan majalah yang banyak. Kiai Mahfudz Siddiq meninggal dalam usia yang masih sangat muda, yakni pada usia 37 tahun. Kiai Mahfudz Siddiq meninggal di kediamannya di Jember pada 5 Muharram 1363 H atau 14 Juli 1944 M.
Orang yang pertama kali mengajar Kiai Mahfudz Siddiq adalah ayahnya sendiri, Kiai Muhammad Siddiq. Kiai Muhammad Siddiq adalah seorang pengasuh pesantren. Yang diajarkan adalah dasar-dasar agama Islam, seperti cara membaca Al-Qur’an, dan cara melaksanakan shalat dan lain-lain. Masuk pada usia remaja, Kiai Mahfudz dikirim ayahnya yakni Kiai Muhammad Siddiq untuk belajar ke Pesantren Tebuireng yang saat itu diasuh oleh Kiai Hasyim.
Saat menjadi santri Pesantren Tebuireng, Kiai Mahfudz Siddiq terkenal sebagai santri yang menyukai ilmu mantiq. Pengertian mantiq menurut istilah adalah alat atau dasar yang digunakan untuk menjaga dari kesalahan berpikir atau sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir sehingga seseorang yang menggunakan akan selamat dari berikir yang salah. Keahlian Kiai Mahfudz Siddiq dalam berdebat menunjukkan kemampuannya yang mendalam atas ilmu mantiq. Kemudian, Kiai Mahfudz Siddiq melanjutkan studinya ke Mekkah. Diantara gurunya yang paling terkenal saat di Mekkah adalah Syaikh Alwi al-Maliki.
Kiai Mahfudz Siddiq juga menulis artikel yang berjudul “ Al-Ijtihad wat Taqlid “. Artikel ini menguraikan persoalan ijtihad yakni usaha untuk menggali hukum Islam dari sumbernya langsung (Al-Qur’an dan Hadist), dan taqlid yakni mengikuti pendapat para mujtahid (ulama yang telah melakukan ijtihad). Menurut Kiai Mahfudz Siddiq, pada abad ke-20 masih dimungkinkan munculnya mujtahid, namun sangat kecil kemungkinanya karena beratnya syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak mampu melakukan ijtihad, umat Islam sudah selayaknya bertaqlid kepada para ulama.
Artikel yang ditulis oleh Kiai Mahfudz Siddiq merupakan tanggapan dari serangan “kaum Muslim modernis” yang sering menuduh taqlid sebagai akar kemunduran umat Islam. Kiai Mahfudz Siddiq ingin membela NU atau “kaum Muslim tradisionalis” yang mengamalkan taqlid dan menunjukkan bahwa taqlid masih dan terus diperlukan, karena sedikitnya atau tidak adanya orang yang benar-benar mampu melakukan ijtihad, sekelas Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i atau Ahmad bin Hambal. Artikel yang ditulis tersebut menunjukkan kepekaan Kiai Mahfudz terhadap perkembangan umat Islam. Pada tahun 1920-an dan 1930-an terjadi perang pemikiran yang sengit antara “kaum tradisionalis” dan “kaum Muslim Modernis”.
Peran Penting Dan Prestasi Besar KH. Mahfudz Siddiq Bagi NU
Muktamar NU ke 12 di Malang pada tahun 1937, Kiai Mahfudz Siddiq tepilih sebagai Ketua Umum PBNU (dulu masih disebut Presiden Tanfidziyah HBNO). Kemudian, Kiai Mahfudz Siddiq terpilih lagi menduduki posisi yang sama pada Muktamar NU ke 13 di Menes Banten pada 1938, Muktamar NU ke 14 di Magelang 1939, dan Muktamar NU ke 15 di Surabaya pada tahun 1940. Dulu sebelum masa kemerdekaan, Muktamar NU dilaksanakan setiap tahun.
Di bawah kepemimpinan Kiai Mahfudz Siddiq selaku Ketua Umum Pengurus Besar, Nahdlatul Ulama telah menyusun progam ekonomi, pertanian, wanita dan pemuda disampping pendidikan, sosial dan dakwah yang telah berjalan sejak Jam’iyah itu didirikan pada tahun 1926. Kiai Mahfudz Siddiq tercatat sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama yang berhasil dalam meletakkan pembaharuan tehnik perjuangan berorganisasi. Dalam masa jabatannya selaku Ketua Umum Pengurus Besar (1937-1942) Nahdlatul Ulama menjalankan tugas-tugasnya melalui sistem organisasi modern.
Pada Muktamar ke-12 di Malang yang dipimpin oleh Kiai Mahfudz Siddiq dan Kiai Abdullah Ubaid membentuk Gerakan Pemuda sebagai usaha kaderisasi dengan nama pemuda Ansor. Dalam Muktamar NU ke 13 di Menes Banten pada 1938 diresmikan berdirinya organisasi untuk kaum wanita yang ada dibawah payung NU. Organisasi tersebut bernama Nahdlatoel Oelama Bahagian Moeslimat (NOM) yang kemudian berubah nama menjadi Muslimat NU dalam Muktamar NU ke 15 di Surabaya.
Tujuan lahirnya organisasi wanita adalah untuk mendidik dan mengajar kaum wanita muslimat agar menjadi istri dan ibu dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang mengadakan pengajaran dan pendidikan, kursus dan dakwah, mendirikan dan mengurus madrasah bagian banat (wanita), dan mengusahakan kerajinan dan jalan mendapat rejeki yang halal. Muktamar Nu di Menes juga memutuskan berdirinya badan otonom NU yang disebut Ma’arif NU yang dalam perkembangannnya menjadi Lembaga Pendidikan Ma’arif. Badan otonom ini bertujuan umtuk mengembangkan pendidikan di kalangan kaum nahdliyyin.
Pada 27 Juni 1939, Kiai Mahfudz Siddiq dipanggil menghadap Bupati (regent) Surabaya. Pemanggilan ini adalah bentuk kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda atas Pekan Rajabiyah yang diselenggarakan kaum nahdliyyin. Maka, Kiai Mahfudz Siddiq dipanggil dengan tujuan agar menghentikan gerakan qunut nazilah. meskipun kelihatannya warga NU berhenti mengamalkannya, masih banyak yang tetap membaca qunut nazilah.
Muktamar NU ke 15 pada 1940 di Surabaya adalah Muktamar terakhir pada masa penjajahan Belanda. Maka, para ulama bermusyawarah mengenai siapakah yang berhak memimpin negeri ini atau yang berhak menjadi presiden. Musyawarah yang diikuti 11 tokoh NU dipimpin langsung oleh Kiai Mahfudz Siddiq. Muncul dua nama dalam musyawarah ini, yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Kenyataanya memang Soekarno terpilih sebagai presiden RI pertama, dan Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
Prestasi besar yang diukir Kiai Mahfudz Sidddiq adalah lahirnya konsep Mabadi’ Khaira Ummah, sebuah konsep yang meletakkan dasar dan strategi untuk mengembangkan kehidupan ekonomi kaum nahdliyyin. Konsep yang diperkenalkan oleh Kiai Mahfudz Siddiq ini bertumpu kepada tiga pilar, yaitu al-sidiq (jujur), al-amanah (dapat dipercaya) dan al-wafa bi al-„ahd (menunaikan janji).
Pada tahun 1940 Kiai Mahfudz Siddiq mewakili NU melakukan kunjungan ke Jepang. Setelah pulang dari Jepang Kiai Mahfudz Siddiq punya gagasan untuk mendirikan Syirkah Mu’awanah atau gerakan tolong-menolong. Syirkah Mu’awanah adalah koperasi yang didirikan NU untuk meningkat taraf hidup warga nahdliyyin.
*Penulis adalah Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Jurusan Aqidah Dan Filsafat Islam
Daftar Pustaka :
- Sholahudin. 2017. Nahkhoda Nahdliyin Biografi Rais Aam Syuriah dan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak 1926 hingga sekarang. Kediri: Zamzam.
Kasman. Suf. 1994. Pers dan Pencitraan umat Islam. Jakarta: Lkis.
Masyhuri. Aziz. 1983. NU dari masa Ke masa. Jakarta: Lakpesdam.