Oleh: Khoirur Rozi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘Cinta’ mengandung arti suka sekali, sayang sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali dan khawatir. Secara universal dari beberapa arti tersebut menyimpan maksud bahwa cinta adalah sebuah perasaan seseorang yang muncul akibat rasa sayang, keinginan, terpikat rasa berharap dan juga khawatir kepada sebuah objek (benda) dan kepada seseorang yang sedang jatuh hati. Sedangkan menurut ilmu psikologi, cinta merupakan keadaan seseorang yang melibatkan perasaannya sendiri secara individual terhadap sebuah benda ataupun orang lain. Demikan ini cinta cenderung membawa unsur emosi daripada menghitung matematis dan logistik. Walau bukan berarti cinta selalu berhubungan dengan hal-hal logis.
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata cinta disampaikan salah satunya dengan kata ‘hubb atau mahabbah’, istilah ini sering digunakan oleh kalangan sufi. Bagi para ahli tasawuf atau sufi ‘mahabbah’ merupakan istilah atau kata yang memiliki maksud khusus yakni cinta kepada Allah. Oleh sebab itu para sufi selalu mengungkapkan perasaan-perasaan cinta sejati dalam puisi-puisinya, yaitu cinta kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Menurut mereka para sufi, muhabbah menjadi makam tertinggi sesuai pula dengan makrifatullah-nya.
Selain dari pengertian umum tentang cinta di atas, para masing-masing tokoh sufi juga mempunyai pengertian sendiri. Hal ini sangat dekat kaitannya dengan pengalaman hidup mereka dalam meraih dan menjaga cinta Allah. Definisi cinta oleh Rabi’ah Al Adawiyah mendefinisikan cinta sejatinya lewat bait-bait puisi, sebagimana kutipan berikut:
“Aku mencintaimu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena dirimu. Cinta karena diriku adalah keadaan mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan Tabir hingga Engkau dapat aku lihat.”
Definisi cinta menurut tokoh besar sufi perempuan ini terbagi jadi dua hal, yaitu ketika seorang hamba mengingat Tuhannya, Berzikir kepada Allah dalam keadaan apapun, berzikir dengan hati, lidah, dan selalu menjaga segala perbuatannya dari kemarahan Allah. Saat-saat seperti iitulah Allah memberikan cahaya cinta-Nya kepada hamba pilihanya. Sedangkan definisi cinta kedua yaitu ketika Allah menyingkap tabir-Nya, sehingga hamba yang dikasihinya mendapat kesempatan untuk menjumpai zat-Nya.
Di samping pengertian cinta dari tokoh sufi termasyhur di atas, terdapat pula landasan-landasan hukum cinta Allah. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah berikut ini:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang percaya sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang yang berbuat dzalim itu, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat pedih azab-Nya (niscaya melihat mereka menyesal).” (QS. AL-Baqarah [2]:165).
Ayat di atas menjelaskan banyak ragam atau variasi yang dimiliki oleh seorang hamba dalam beribadah kepada Allah. Ada yang mengagung-agungkan Allah dengan cinta tulus ada juga yang mencintai selain Allah. Apabila kualitas cinta seorang hamba melebihi cintanya kepada Allah, maka ia termasuk orang yang kelak di hari akhir. Dengan demikian perlu kita diingatkan agar mencintai sesuatu di dunia ini di dasari cinta kepada Allah, dan jangan sampai menduakan Allah dalam segala hal. Terkait dengan ini kita bisa meneladani kehidupan para tokoh sufi yang telah melewati jalan zuhud dan mencintai Allah melebihi dari apapun dan siapapun. Maka hanyalah orang-orang beriman, seperti kaum sufi yang benar-benar bisa mencintai Allah melebihi cintanya kepada selain Allah. [1]
Cinta atau mahabbah dalam ilmu tasawuf tidak mungkin terlepas dari Rabi’ah Al Adawwiyahh yang mempunyai konsep. Melihat konsep Rabi’ah bahwa cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa. Dari konsep Rabi’ah inilah kemudian lahir bermacam konsep mahabbah dari lisan kaum sufi seperti Fariduddin al-Athar, Ibnu al-Faridh, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi dan lain lain. [2]
Kesimpulan konsep cinta oleh Rabi’ah Al Adawwiyah adalah dimana seorang hamba tidak lagi memiliki rasa cinta kepada sesama makhluk, tetapi semataa-mata diberikan kepada sang pencipta, yaitu Allah SWT. Cinta tidak lagi memiliki ketakutan terhadap siksa api neraka, ataupun pengharapan kepada surga. Tetapi semata-mata hanya karena Allah SWT, dan bukan sebab mengharap sesuatu. Sesungguhnya rasa cinta itu sendiri adalah nikmat yang paling tinggi yang tidak ada ketinggian di atas cinta tersebut. Konsep cinta yang dikemukakan oleh Rabi’ah Al Adawwiyah ini sangat istimewah karena ia memberikan contoh yang sangat menarik kepada kitadan cinta itu sendiri relevan sepanjang masa yaitu bagaimana kita menyembah Allah dengan penuh ketulusan. [3]
Sementara penerapannya di era milenial yaitu sebagai wanita di abad ini serta sebagai umat islam harus belajar dari sufi wanita ini bagaimana menyembah Allah dengan penuh ketulusan (mahabbah) cinta. Konsep tentang cinta pun sudah dijelaskan dalam agama sendiri yakni “cinta sesama dan cinta Tuhan” dalam kata lain, cinta sangat penting dalam keseharian. Di era seperti sekarang apalagi di negara indonesia yang mengakui adanya 6 agama resmi, konsep cinta ini sangat dibutuhkan saat berhadapan dengan masyarakat yang bermacam identitas (agama, suku, budaya, kepercayaan) cinta memainkan peranan yang sangat damai, berbuat baik kepada sesama dengan ikhlas dan tulus. Dengan begitu pemikiran tentang cinta dapat menjadikan manusia yang autentik tidak akan ada penolakan perbedaan yang membuat keharmonisan akan roboh kedepannya. [4] Jika dilihat dari konsep cinta Rabiah sebagai umat muslim harus bisa membedakan antara cinta kepada Allah dan kepada sesama mansia, jangan sekali-kali cinta kepada sesama manusia melebihi cinta kepada Allah. Karena hal demikian sangatlah dibenci Allah dan jangan sampai kita membuat Allah cemburu dengan membagi cintanya karena sesungguhnya Allah maha tahu.
Daftar Pustaka
[1] Ahmad Abi, 2020, PESAN-PESAN CINTA RABIAH AL ADAWWIYAH Mabuk Rindu Perempuan Sufi Kepada Sang Pencipta. 54-56
[2] Muhammad Afif Bahaf, 2015, Akhlak Tasawuf. Hal 146
[3] Mohammad Amin Bin Khoiril Anwar, LEGENDA SUFI 2020. Hal 23-24
[4] Miftahul Anam, dkk. 2021 Membangun Harmoni Antar-Umat Beragama. Guepedia, h.17-20