Opini  

Madura Mart yang Menjamur dan Spirit Kesantrian

Madura Mart yang Menjamur dan Spirit Kesantrian
Gambar: beritasatu com

Oleh: Imam Nawawi, M.Hum

Fenomena Warung Madura, “madura mart”, memunculkan dua pertanyaan sekaligus; komitmen keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil dan komitman etnis Madura terhadap kultur kesantrian. Sebelum pernyataan tidak populer Menteri Kooperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menjadi viral, fenomena madura mart telah dipertanyakan kaum akademisi.

Sebagian akademisi kampus sempat menyesalkan, beberapa keluarga dari kalangan warga Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, lebih mementingkan usaha warung kelontong mereka di kota-kota besar, seperti Jakarta, dari pada pendidikan anak-anak mereka. Dalam pengamatan mereka, arus migrasi warga Sumenep ke kota-kota besar ini merongrong tradisi warga Madura yang sejak awal mendahulukan pendidikan keagamaan (mondok).

Pada kenyataannya memanglah benar demikian. Contoh kecilnya, salah satu anggota keluarga besar saya memang putus sekolah, sebagian hanya lulusan sekolah menengah, dan tidak melirik perguruan tinggi sama sekali. Hal itu mereka lakukan karena melihat orangtua mereka telah membuka warung kelontong di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Dampaknya, pendidikan yang lebih tinggi tidak semenarik mencari kerja dengan penghasilan bulanan yang jelas, bahkan saving mereka melebihi upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.

Kegelisahan akademisi kampus semacam itu mendapat sanggahan, terutama dari para intelektual/sarjana lulusan kampus, yang kemudian memilih terjun membuka warung kelontong pasca kuliah mereka. Dalam amatan kelompok ini, fenomena migrasi besar-besaran warga Madura ke kota-kota besar adalah lumrah. Karena mereka juga bisa membuktikan, kontribusi orangtua yang buka warung Madura terhadap biaya pendidikan anak-anak mereka di kampung halaman sangat nyata. Mengingat satu hal lain, bahwa pemerintah Kabupaten Sumenep tidak mampu membuka lowongan pekerjaan semenggiurkan apa yang ditawarkan oleh warung kelontong.

Pilihan para orangtua untuk merantau menjadi sangat logis. Keuntungan bisa ditabung dan dikirimkan ke kampung halaman. Hal itu menjadi jaminan anak-anak mereka bisa menuntaskan kewajiban belajar 12 tahun. Bahkan, keluarga besar saya sendiri yang buka warung kelontong di Jakarta mampu membiayai pendidikan sepupu-sepupu saya saya di beberapa perguruan tinggi. Artinya, pro-kontra menjamurnya warung Madura memiliki sisi positif sekaligus negatif. Sisi positifnya, anak-anak bisa tetap melanjutkan kewajiban belajar mereka hingga ke perguruan tinggi. Sisi negatifnya, memang tidak semuanya berhasil melanjutkan ke perguruan tinggi, karena memilih berhenti setelah tamat sekolah menengah.

Baca Juga  Makna Tersirat “Semua Adalah Guru” Menurut sebagian Santri di Indonesia

Pro-kontra dalam analisa para akademisi ini sebenarnya bisa dipecahkan dengan syarat. Pemerintah Madura, khususnya Kabupaten Sumenep, sebagaimana yang saya amati, mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan kualitas taraf hidup masyarakat, serta memastikan biaya pendidikan dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi terakses oleh semua golongan. Itu saja tidak cukup. Pemerintah juga dituntut berpikir lebih keras, agar Pulau Madura yang kaya akan tradisi dan sumber migas yang besar memiliki kota-kota besar, sebagaimana kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa, misalnya. Dengan begitu, pendapatan keluarga tidak saja untuk menyekolahkan generasi muda tetapi juga meningkatkan kesejejahteraan keluarga.

Ada alasan-alasan yang faktual di balik menjamurnya warung-warung Madura di kota-kota besar. Pertama, lapangan pekerjaan di Madura tidak lagi memikat hati, berbeda dengan yang bisa diberikan oleh kota-kota besar di Jawa. Kedua, walaupun Pulau Madura kaya akan migas, tetapi tanahnya cukup gersang. Misalnya, hasil panen Palawija di Madura, dengan ukuran luas lahan yang sama, jauh di bawah apa yang bisa dihasilkan bumi Jawa. Mencari alternatif sumber penghasilan menjadi logis, seperti menjual sate, besi tua, dan sekarang membuka warung kelontong. Di jaman teknologi yang begitu maju seperti sekarang, di mana gurun sahara bisa diubah menjadi hijau seperti dilakukan China, semestinya pemerintah Madura, khususnya Sumenep, mampu melakukan revolusi pertanian.

Spirit Santri Warung Kelontong

Terlepas dari kepentingan ekonomi dan problem kebijakan politik tersebut, menjamurnya warung-warung Madura juga bisa dibaca dari spirit kesantrian. Bisa dikatakan mayoritas suku Madura beragama muslim, dengan sistem pendidikan ala pondok pesantren. Alam pikir kaum santri tidak bisa dipisahkan dari cara masyarakat Madura menentukan sikap dan mengambil tindakan, termasuk dalam keputusan untuk bermigrasi ke kota-kota besar dan membuka warung kelontong. Sudah nyata dalam Islam dikatakan, sebagaimana hadits Nabi saw:

Baca Juga  Madura Punya Cerita

“Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud as makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)” (H.R. Bukhari, no. 1966).

Kerja serabutan, jual sate keliling, mengumbulkan besi-besi tua, dan sekarang buka warung 24 jam, adalah jauh lebih baik dari pada harus melakukan hal-hal yang haram, seperti korupsi, pengedar narkoba, prostitusi, perampokan, dan semacamnya. Walaupun Pulau Madura gersang nan tandus, angka kriminalitas tidak setinggi kota-kota lain di pulau-pulau yang tanahnya subur.

Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur tahun 2023, dikatakan angka jumlah penduduk miskin Kabupaten Sumenep sebesar 206,10 (ribu jiwa), Pamekasan 126,43 (ribu jiwa), Sampang 221,71 (ribu jiwa), dan Bangkalan 196,66 (ribu jiwa). Kabupaten lain yang lebih tinggi dari Sumenep hanya ada dua di Pulau Jawa, yaitu Malang sebesar 251,46 (ribu jiwa) dan Jember 236,46 (ribu jiwa). Artinya, tingkat kemiskinan Kota Sumenep berada pada uruan ke-2 se-Madura dan urutan ke-4 se-Jawa Timur.

Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, sungguh sangatlah beruntung pemerintah karena orang-orang Madura tidak banyak menuntut. Mereka memilih meninggalkan sanak-kerabat di kampung halaman, bahkan beberapa kasus dari kalangan mereka berani menghentikan anak-anak mereka untuk tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Itu semua dilakukan atas satu nilai “bekerja dari jerih payah sendiri” adalah perbuatan mulia di hadapan agama.[]

Tinggalkan Balasan