Oleh: Eni Mufidah
(Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya)
Dalam filsafat ilmu, pengetahuan adalah sesuatu yang rasional dan empiris dan contoh nyata dari dari yang nyata dan empiris adalah filsafat sejarah. Salah satu tokoh islam yang berperan penting dalam filsafat sejarah adalah Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya teori sejarahnya telah merambah ke seluruh struktur masyarakat. Semua kalangan; baik rakyat, pemerintah maupun kaum terpelajar mempunyai semangat yang tinggi untuk mempelajari pemikiran sejarahnya.
Hal ini karena sejarah merupakan disiplin ilmu yang dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dari berbagai generasi. Sejarah mengeksplorasi keterangan tentang peristiwa-peristiwa politik, negara dan peristiwa-peristiwa masa lampau. Peristiwa itu mengajak kita dengan memahami keadaan makhluk, bagaimana situasi dan kondisi manusia dalam membentuk peradaban, bagaimana pemerintah memperluas wilayah kekuasaannya, dan bagaimana memakmurkan bumi sehingga terdorong mengadakan perjalanan jauh. Pemikiran Ibnu Khaldun ini layak untuk dideskripsikan mengingat para pemikir Muslim maupun Barat sama-sama mengagumi konsepsi-konsepsi dan teori-teori yang sudah dihasilkannya.
Perjalanan Intelektual Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliyudin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Muhammad bin Al-Hassan. Ia lahir di Tunis, Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M (1 Ramadhan 732 H) dan berasal dari keluarga Arab Spanyol yang jejak keturunannya bisa ditelusuri sampai pada sebuah suku di Hadramaut (Yaman). Ibnu Khaldun merupakan tokoh penting dalam peradaban Islam abad ke14. Dalam dunia modern, ia mendapatkan beragam berbagai gelar, mulai dari bapak sosiologi, peletak dasar filsafat sejarah, perintis ilmu ekonomi, hingga penggagas teori politik yang brilian.
Sejak kecil Ibnu Khaldun terlibat dalam kegiatan intelektual di kota kelahirannya, di samping mengamati dari dekat kehidupan politik. Kakeknya pernah menjabat menteri keuangan di Tunis, sementara ayahnya sendiri adalah seorang administrator dan perwira militer. Ibnu Khaldun di masa kecilnya ternyata lebih tertarik pada dunia ilmu pengetahuan. Di usianya yang relatif muda, ia telah menguasai ilmu sejarah, sosiologi dan beberapa ilmu klasik, termasuk ulum aqliyah (ilmu filsafat, tasawuf dan metafisika).
Setelah menginjak dewasa, Ibnu Khaldun aktif dalam kegiatan politik yang mengantarkannya menduduki posisi strategis. Khaldun muda oleh Sultan Abu Inan dari Fez, Maroko mendapatkan kepercayaan untuk menjadi sekretarisnya, walau waktu itu usianya masih 20 tahun. Dan di akhir kehidupannya, ia tidak lagi tertarik dengan kesenangan duniawi. Bahkan banyak sekali jabatan politik yang ia tolak, karena ia ingin konsentrasi dalam dunia intelektual. Pengalamannya yang begitu banyak menjadi bahan untuk menyusun teori dan pokok pikirannya dalam Muqaddimah dan beberapa buku lainnya yang menjadi referensi sejarah peradaban umat manusia.[1]
Konsep Filsafat Sejarah Menurut Ibnu Khaldun
Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibnu Khaldun, penting dipahami definisi sejarah yang diberikannya. Khaldun melihat dua sisi dalam bangunan sejarah, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Dari sisi luar, sejarah tak lebih dari rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau, tetapi jika dilihat secara lebih mendalam, sejarah merupakan penalaran kritis (nadhar) dan usaha cermat untuk mencari kebenaran. Sejarah merupakan penjelasan cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Ia merupakan pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Definisi sejarah demikian membawa Khaldun untuk berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam filsafat (hikmah). Oleh karenanya, Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri.[2]
Sebagai seorang filosof sejarah, Khaldun mengatakan bahwa pertautan sejarah pada filsafat mengantarkannya pada pengertian yang sederhana bahwa filsafat sejarah adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.
Dengan pertautan sejarah pada filsafat, Khaldun tampaknya ingin mengatakan bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat. Pada pihak lain, filsafat menawarkan kekuatan logis kepada sejarah. Dengan aset logika kritis, seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkritik sumber sejarah baik tulisan maupun lisan sebelum ia sampai pada proses penyajian final dari penyelidikannya.
Dalam Muqaddimah, ia membagi pembahasan tentang sejarah dan peradaban umat manusia ke dalam empat bagian yang terdiri dari: satu pengantar dan tiga pokok bahasan. Pertama, pengantar yang menguraikan tentang manfaat besar historiografi (ilmu sejarah), pengertian tentang segala metode historiografi dan secara sepintas menyebutkan kesalahan para sejarawan. Kedua, pembahasan pertama yang menguraikan tentang peradaban (‘umran) dan ciri-cirinya yang hakiki. Ciri tersebut mencakup: kekuasaan, pemerintahan, mata pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan.
Ibnu Khaldun berpendapat, penyelidikan terhadap peristiwa sejarah harus menggunakan berbagai ilmu bantu. Ilmu bantu diistilahkan Khaldun sebagai ilmu kultur (Ilm al-Umran). Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat, melacak akibat-akibat dari perbuatan itu, sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibnu Khaldun pada dasarnya mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur‟an.
Ibnu Khaldun menerangkan bahwa penyebab sejarawan tidak sanggup membedakan antara yang benar dan yang dusta pada cerita-cerita sejarah. Diantaranya adalah fanatisme terhadap suatu pendapat atau suatu aliran agama tertentu. Selain itu juga adalah cepat percaya, ketidaksanggupan menafsirkan peristiwa-peristiwa, dan mencari muka kepada penguasa melalui pujian dan sanjungan.
Konsepsi Ibnu Khaldun mengenai daur gerak sejarah, yaitu suatu konsepsi yang ditegakkan di atas suatu teori tentang kebudayaan manusia yang membuat Ibnu Khaldun menjadi terkenal. Kebudayaan menurut Ibnu Khaldun adalah masyarakat manusia yang dilandaskan di atas hubungan antara manusia dan tanah dari satu segi, dan dari segi lain di atas hubungan antara seorang manusia dengan lainnya yang berakibat timbulnya upaya mereka untuk mematahkan kesulitan-kesulitan lingkungan, kemudian untuk mendapatkan kesenangan dan kecukupan dengan membangun industri, menyusun hukum, dan menertibkan transaksi.[3]
Berdasarkan pemikiran filsafat sejarahnya itu, dapat dikatakan bahwa Khaldun telah melahirkan bibit filsafat sejarah diantaranya aliran sosial, karena dia berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan dan teoriteorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah, berikutnya aliran ekonomi, yang menafsirkan sejarah secara materialistis dan menguraikan fenomenafenomena sosial secara ekonomis serta merujukan setiap perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya pada faktor ekonomi.
Ibnu Khaldun merupakan tokoh penting Islam abad ke-14. Ia pernah memberikan sumbangsih pemikirannya bagi perkembangan renaissance di Eropa abad ke-16 sampai ke-18 yang menjadikan Barat maju dan berkembang hingga sekarang. Peranan yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun tak terbatas kiranya sehingga ia mendapat berbagai julukan diantaranya sebagai bapak sosiologi, bapak ekonomi, bapak sejarah dan lain sebagainya. Dengan diakuinya hasil dari pemikiran Ibnu Khaldun yang sampai sekarang tulisan-tulisannya masih dijadikan rujukan baik di universitas Barat maupun Timur. Oleh karenanya, konsep pemikiran Ibnu Khaldun dilihat dari sudut pandang Islam yang mewakili entitas dunia Timur layak kita kaji dan dalami secara komprehensif.
Sumber Bacaan
Kasdi, Abdurrahman. (2014). Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Perspektif Sosiologi dan Filsafat Sejarah. Fikrah, Vol. 2, No. 1.
Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi. (2012). Filsafat Sejarah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Sujati, Budi, (2018). Konsepsi pemikiran filsafat sejarah dan sejarah menurut Ibnu Khaldun, Tamaddun Vol. 6 , No. 2.
[1] Abdurrahman Kasdi, Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Perspektif Sosiologi dan Filsafat Sejarah, Fikrah, Vol. 2, No. 1,( Juni 2014), hal: 293.
[2] Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2012), 256.
[3] Budi Sujati, Konsepsi pemikiran filsafat sejarah dan sejarah menurut Ibnu Khaldun, Tamaddun Vol. 6 , No. 2, (Juli, 2018), hal: 303-304.