Oleh: Meizaluna Fitri Auliya Rahma
Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu keislaman yang sudah diakui kebenarannya. Hakikatnya, tasawuf ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan lebih dikenal dengan sebutan Ihsan, Ilmu Nafi’, Ilmu Fi al-Qalb atau Ilmu Batin. Dalam kajian Tasawuf sendiri terdapat dua macam yakni Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni. Tasawuf Falsafi adalah Tasawuf yang banyak berbaur dengan kajian Filsafat metafisika sedangkan Tasawuf Sunni bersifat gerakan akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam kalangan sufi membedakan jalan sufistik menjadi tiga bagian, 1. Makhafah, yaitu jalan kecemasan dan kesucian diri tokohnya adalah Hasan al-Basri, 2. Mahabbah, yaitu jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri tokohnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah, 3. Ma’rifat, yaitu jalan pengetahuan tokohnya adalah Dzun Nun al-Mishri. Menurutnya ma’rifat adalah Fadl (anugrah) semata dari Allah. Dan hal ini hanya bisa dicapai oleh jalan ilmu pengetahuan.[1]
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faiz Tsuban Ibn Ibrahim al-Mishri beliau dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir pada 156 H. Dan wafat pada 245 H. Al- Mishri hidup di pertengahan abad ke-3 H. Beliau mempunyai label sebagai pencipta teori makrifat. Berbicara mengenai biografi sufi Dzun Nun al-Mishri merupakan keturunan Quraisy yang mana di dapat dari ayahnya. Dzunnun juga seorang murid Imam Malik bin Anas, pendiri salah satu mazhab ahli Sunnah. Kegemarannya membaca buku Imam Malik membuatnya juga mengikuti alirannya.Relasi Dzunnun dengan ahli hadis serta ulama-ulama besar lainnya pada masa tersebut membuatnya terbantu untuk mendalami pengetahuan perihal al-Qur’an dan Hadis yang mana membawanya ke dalam pengertian dan meditasi. Di dalam diri Dzunnun al-Mishri terdapat bertumpuk ilmu pengetahuan terutama pada ilmu tasawuf. Beliau mempunyai sifat wara’, zuhud, dan berakhlak karimah sifat-sifat tersebut juga mengiringi perjalanan teori-teori tasawuf yang sedang dikembangkannya. Beliau adalah orang pertama yang menjadi peletak dasar teori tasawuf dan pengertian-pengertian yang khusus. Seperti teori tentang ma’rifat dimana teori tersebut merupakan teori yang amat penting dalam ilmu tasawuf. Dzun Nun merupakan orang pertama yang telah menjelaskan isyarat-isyarat sufi dan berbicara dalam masalah ini. beliau yang paling berhak mendapat gelar ‘peletak batu pertama’ bagi dasar-dasar Tasawuf[2]. Dzun Nun al-Mishri wafat pada tahun 245 H. Di malam saat beliau wafat, terdapat tujuh puluh orang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, baliau berkata: “Sesungguhnya kekasih Allah Dzun Nun al-Mishri akan datang dan Aku telah siap menyambutnya”.
Kata ma’rifat berasal dari kata ‘arafa yang mempunyai arti mengenal dan paham. Ma’rifat adalah sebuah dari hubungan rapat yang berbentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari. Dimana pengetahuan ini diperoleh secara sungguh-sungguh dan kerja keras, sehingga dapat mencapai puncak tujuan dari seorang salik. Tujuan tesebut dapat tercapai dengan sinar Allah, hidayah-Nya, Qudrat, dan Iradat-Nya. Dengan adanya kemampuan mengetahui Tuhan dari dekat melalui hati sanubari. Dalam hal ini, orang sufi mengaitkannya, yaitu:
- Kedua mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata yang terdapat di kepala akan tertutup dan ketika itu pula yang dilihat hanya Allah.
- Ma’rifat adalah sebuah cermin, jika seorang tersebut bersifat arif melihat ke cermin tersebut maka yang dilihat hanya Allah.
- Dalam penglihatan seorang yang ‘arif ketika tertidur dan bangun hanya Allah yang dilihatnya.
- Jika ma’rifat berbentuk materi, maka semua orang yang melihat pada-Nya akan
Secara langsung dalam hal ini tidak dibutuhkan dalam pencarian ‘ilm. ‘’ilm dan ma’rifat dalam keilmuan tasawuf mempunyai kesamaan dalam arti pengetahuan mengenai Tuhan (ma’rifatullah aw al-‘ilmu Terdapat beberapa sufi membedakan antara ma’rifat dan ‘ilm. Ma’rifat dilalui pengalaman langsung yang nantinya menghasilkan kondisi tertentu pada diri sufi. Adapun ‘ilm bersifat luas yang merincikan untuk usaha pencarian manusia terhadap pengetahuan-pengetahuan aqli dan naqli. Atau dengan kata lain dalam perjalanan ma’rifat menuntut seorang salik untuk merasakan pengalam Bih)[3]. Dzun Nun al-Mishri merupakan sufi pertama yang membedakan antara ma’rifat dari seorang sufi kepada Allah dengan ma’rifat dengan jalan akal. Ma’rifat yang hakiki yaitu, ma’rifat yang tertinggi yang diperoleh dari penglihatan sanubari hati. Dalam hal ini, teori ma’rifat dalam ajaran sufi membuktikan bahwa ma’rifat adalah fitrah yang tertanam di dalam hati seseorang sejak zaman azali. Juga mengindikasikan ikatan (shilat) yang Allah ciptakan dari batin yang ada di dalam hati. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa ma’rifat kepada Allah yang hakiki bukanlah perihal mengenai pengetahuan tentang keesaan Allah pada umumnya serta bukanlah suatu pemahaman yang berbuah analisa yang dimiliki para ahli hikmah dan mutakallimin. Tetapi, ma’rifat adalah suatu pengetahuan yang di dalamnya mengandung sifat-sifat keesaan Allah yang dimiliki oleh segelintir manusia atau awliyaullah karena mereka dapat melihat Allah langsung dengan melalui sanubari hatinya.
Ma’rifat yang dikemukakan oleh Dzun Nun dibagi menjadi tiga golongan yaitu: 1). ma’rifat tauhid yang dipunyai oleh setiap orang mukmin (awam), 2). ma’rifat dengan hujjah dan bayan yang khusus dimiliki oleh para ulama, filosof, dan sastrawan, 3). ma’rifat mengenai keesaan Tuhan yang secara khusus dimiliki oleh para wali (sufi) yang mampu melihat Tuhan dengan menggunakan sanubari hati. Berkaitan dengan penggolongan ma’rifat pada masing-masing golongan tersebut. Menurut pandangan Harun Nasution ma’rifat pada golongan pertama dan kedua belum termasuk pengetahuan yang hakiki mengenai Tuhan. Keduanya disebut sebagai ilmu, bukan ma’rifat. Ma’rifat dalam bagian ketiga yang masuk kedalam pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan inilah disebut sebagai ma’rifat. Ma’rifat hanya ada pada diri seorang sufi yang kemampuan melihat Tuhan dengan hati sanubari. Pengetahuan ini hanya diberikan pada diri seorang sufi. Ma’rifat oleh Tuhan dimasukkan kepada hati seorang sufi sehingga di dalam hati sufi di penuhi dengan banyak cahaya. Disamping itu, pengetahuan pada tingkat ketiga atau auliya dan muqarrabin yang paling tertinggi tingkatannya, karena seorag sufi dapat mencapai tingkat musyahadah sehingga dapat mengenal Tuhan. Sedangkan untuk mutakallimin dan filsuf tidak dapat mencapai maqam ketiga ini, karena mereka masih berada area penggunaan akal dalam mengetahui Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut An-Nuri berpendapat bahwa akal itu lemah dan hal yang lemah itu hanya bisa mengarah yang lemah juga. Sedangkan menurut Ibn Atha bahwa fungsi dari akal sebagai suatu alat untuk mencapai segala sesuatu yang berelasi dengan hamba, bukan untuk mencapai selain itu yaitu, Tuhan[4].
Dzun Nun al-Mishri juga mengaitkan ma’rifat dengan syari’ah, beliau berkata: “Tanda dari seorang yang arif ada tiga: cahaya ma’rifat yang dimilikinya tidak membuat pudar cahaya dari sifat wara’ nya, secara batiniah tidak memegangi ilmu yang manyangkal hukum-hukum lahiriah, dan banyaknya karunia Allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangannya”. Bahkan lebih jauh dapat membuat seorang yang arif akan semakin khusyu’ setiap kali pengenalannya dengan Allah semakin meningkat. Hal ini beliau katakan: “Seorang arif setiap harinya tentu semakin khusyu’, karena setiap saat dia semakin dekat dengan-Nya” [5]
Pada saat seorang sufi telah mencapai pada tingkat ma’rifat ketiga dengan melihat Tuhan dengan pengetahuan yang secara langsung diberikan oleh Allah, tanpa penglihatan mata, informasi, observasi, penelitian atau penghalang. Mereka tidak berada di dalam diri mereka melainkan berada dalam diri Tuhan, perkataan-perkataan yang dilontarkan mereka adalah perkataan Tuhan yang keluar melewati lidah mereka dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan melalui perantara mata mereka. Dzun Nun berpendapat bahwa semakin mengetahui dalam diri seorang sufi mengenai Tuhan, maka semakin melebur pula dirinya dalam diri Tuhan[6]. Pencapaian sufi pada tingkatan ma’rifat yang di kemukakan oleh Dzun Nun tersebut menggambarkan adanya tendensi pada paham pantehistik. Maka dari itu, beberapa peneliti Barat (orientalis) mengatakan bahwa Dzun Nun al-Mishri merupakan “orang pertama” yang membawa pemikiran filsafat ke dalam ilmu tasawuf. Seperti halnya, Edward G.Browne menganggapnya sebagai “orang pertama, yang hidup di awal zaman tapa brata, yang memberikan kecenderungan yang pantheistik serta dalam ungkapan yang quasierotik yang dikenal dengan ciri-ciri tasawuf. Akan tetapi, pendapat tersebut tidak diterima oleh Annemarie Achimmel[7]. Disisi lain Nicholas cenderung menerima adanya pengaruh Neoplatonisme pada Dzun Nun Karena ahli mistik hidup di Mesir yang mana menjadi tempat berkembangnya tradisi Neoplatonisme. Dalam hal ini, Nicholson didalam bukunya yang berjudul The Mystic of Islam, mengutip perkataan Dzun Nun: “ Mereka bergerak, dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang mengalir melalui lidah-lidah mereka, dan pandangan merek adalah pandangan Tuhan yang telah menelusup kedalam matanya”.[8] Sangat jelas bagaimana cinta datang pada diri Sufi juga harus mengutamakan Allah berada diatas dari segala kepentingan termasuk kepada dirinya sendiri. Menurut Dzun Nun orang-orang Sufi adalah orang-orang yang mengutamakan Allah diatas segala apapun dan siapapun dan apabila Sufi berkata, perkataan itu sesuai dengan keadaannya dan juga tidak mengatakan suatu hal apabila suatu hal itu ada pada dirinya.[9]
DAFTAR RUJUKAN
Abd. al-Halim Mahmud, Dzunnun al-Mishri, (Kairo: Dar al-qur’an Sa’b).
Achimmel Annemarie, 1986, Dinasti Mistik dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Pustaka Firdaus).
Al-Kalabazi, 1990, Al Taarruf li Madzhabi Ahl Al Tashawwuf, Terj. Rahmani Astuti: Ajaran Kaum Sufi, (Bandung: Mizan).
Anwar Rosihon, 2009, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. 1).
Baisuni Ibrahim, 1969, Nasy’at al-Tashawwuf wa al-Islami, (Mesir: Dal al-Ma’arif).
Faqihuddin A, 2015, Dzun Nun al-Mishri: al-Ma’rifah, Ar-Risalah, Vol. 5, No. 1.
Hanifiyah Fitriyatul, 2019, Jurnal Konsep Tasawuf Sunni: Mengurai Tasawuf Akhlaqi, al-Maqamat dan Ahwal, dan Mahabbah dalam Perspektif Tokoh Sunni Sufi, Vol 6.
Helmy Muhammad Irfan, 2020, Teori Ma’rifah Dalam Tasawuf Dzun Nun al-Mishri: Jurnal of Islamic Law and Studies, Vol. 4, No.1.
Kamal Ibrahim Ja’far Muhammad, 1970, Al-Tasawuf: Tariqon wa Tajribatan wa Mazhaban, (Kairo: Dar al- Kutub al-Jami’iyyah).
Muzakkir, 2018, Tasawuf: Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya Dalam Kehidupan, (Medan: Perdana Publishing).
Nata Abuddin, 2008, Ahklak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
Nicholson Reynold Alley, 1969, Fi al-Tasawwuf al-Islami wad Tarikhuh, terj. Abul ‘Ala al-‘Afifi,, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr).
Syarif M, History of Muslim Philosophy, (New Delhi: A Vevture of Low Publications, cet. 4).
[1] Fitriyatul Hanifiyah, Jurnal Konsep Tasawuf Sunni: Mengurai Tasawuf Akhlaqi, al-Maqamat dan Ahwal, al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sunni Sufi, volume 6, 2019.
[2] R.A Nicholson, Fi al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhuh, terj. Abul ‘Ala al-‘Afifi (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1969), 7.
[3] Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, Al-Tasawuf:Tariqon wa Tajribatan wa Mazhaban (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami’iyyah, 1970), 181.
[4] Al-Kalabazi, Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yaqub al-Bukhari, Al Taarruf LI Madzabi Ahl Al Tashawwuf, terj. Rahmani Astuti dalam 1990. Ajaran Kaum Sufi (Bandung: Mizaan), 72.
[5] Al-Taftazani, loc.cit.
[6] M. Syarif, A History of Muslim Philoshophy, cet. IV (New Delhi: A Vevture of Low Publications), 314.
[7] Annemarie Achimmel, Dinasti Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 83.
[8] Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, ter. Bumi Aksara (Jakarta: Bumi Aksara, 1988), 79.
[9] Nicholson, Fi al-Tasawuf, hlm 8.
Biodata Singkat
Meizaluna Fitri Auliya Rahma. Biasa dipanggil meiza. Lahir di Pasuruan, 01 juli 2001. Umur 20 tahun. Saat ini sedang mengemban pendidikan di salah satu perguruan tinggi yakni UIN Sunan Ampel Surabaya jurusan Aqidah Filsafat Islam. No. Telp (0895700215022)