Oleh: Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum
Profil KH.Hasyim Asy’ari
Simbah Hasyim Asy’ari atau kerap dipanggil mbah Hasyim merupakan tokoh sentral yang menjadi panutan umat, tidak hanya zamannya, sikap dan pemikiran beliau selalu dijadikan rujukan masyarakat hingga saat ini. Beliaulah yang mewarisi organisasi NU (Nahdatul Ulama) yang terus berkembang hingga saat ini, disaat organisasi lain telah surut bahkan bubar, sementara organisasi yang di dirikan kiai Hasyim Asy’ari semakin membesar.
Nama lengkap beliau Muhammmad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abdl al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim Lahir di Gedang, di desa daerah jombang, jawatimur pada selasa, 14 Februari 1871 (24 Dzulqa’dah 1287 H). Pendidikan beliau di mulai dari membaca al-Qur’an yang dilakukan oleh ayahnya sendiri Abd al-Wahid. Ketika berada di pesantren Sidoarjo, Ia tekun berguru kepada KH.Ya’kub yang merupakan kiai di pesantren tersebut. Seiring berjalannya waktu simbah Hasyim dan kyai Ya’kub kian langgeng, hingga menjadi hubungan keluarga. Beliau wafat tanggal 25 Juli 1947 dalam usia 79 tahun.
Konsep Ketuhanan KH.Hasyim Asy’ari
Didalam kitabnya Ar-Risalah at-Tauhidiyah (Kitab tentang tauhid) dan Al-Qalad fi bayan ma Yajib min al-Aqaid (syair-syair dalam menjelaskan mengenai kwajiban-kwajiban menurut aqidah). Yang merujuk pada kitab tasawuf yang ditulis oleh al-Qusyairi, KH.Hasyim Asy’ari Berpendapat ada tiga keesaan Tuhan (Tauhid) yang pertama pujian terhadap keesaan tuhan, tauhid pertama ini dimiliki oleh orang awam, yang kedua pengetahuan dan pengrtian mengenai keesaan tuhan,tingkatan ini dimiliki oleh ulama biasa (ahl-az-zahir) yang ketiga tumbuh dari perasaan terdalam (dzawq) mengenai Hakim Agung (al-Haqq). sedangkan yang ketiga dimiliki oleh para sufi yang telah sampai ke tingkatan pengetahuan pada Tuhan (ma’rifah) dan mengetahui esensi Tuhan (haqiqah)
Mengenai doktrin ini, KH. Hasyim Asy’ari juga mengutip sabda Rasul bahwa iman adalah perbuatan yang paling di cintai Tuhan dan menyekutukan Tuhan adalah kebalikan dari iman. Selain itu dengan mengutip, beberapa ulama’KH.Hasyim Asy’ari telah mengatakan bahwa percaya kepada keesaan Tuhan membutuhkan iman dan siapa saja yang tidak memiliki iman tidak akan percaya kepada keesaan Tuhan.
Menurut madzhab Jabariyah, semua perbuatan manusia terwujud hanya dengan qudrah Allah semata. Sebaliknya, menurut mazhab Mu’tazilah, manusia memiliki qudrah atau daya yang dengan dayanya itulah ia melakukan perbuatanperbuatannya. Sedangkan menurut madzhab Asy’ariyah, manusia memang memiliki qudrah atau daya, tetapi tidak efektif. Allahlah yang menjadikan atau menciptakan perbuatan manusia itu. Kaitannya dengan perbuatan manusia (disebut sebagai perbuatan manusia), karena manusia tempat terjadinya perbuatan itu. Dan karena bersamanya qudrah manusia yang tidak efektif itu dengan qudrah Allah yang efektif dalam terjadinya perbuatan.
Menurut al-Asy’ari, daya atau kemampuan yang ada pada manusia itu, bukanlah miliknya, tetapi datang dari luar dirinya, tegasnya dari Tuhan. Buktinya, manusia itu kadang-kadang mampu, kadang-kadang tidak mampu seperti juga ia kadang-kadang tahu, kadang-kadang tidak tahu, kadang-kadang bergerak, kadang-kadang tidak bergerak. Kalaulah kemampuan itu miliknya sendiri, tentu ia akan terus selalu mampu selamanya. Kenyataannya tidaklah demikian. Maka dengan begitu jelaslah bahwa istitha’ah itu bukanlah milik manusia.
Kata al-Asy’ari, manusia mampu melakukan sesuatu dengan kemampuan yang bukan miliknya sendiri. Alasannya, karena kadang-kadang ia mampu dan kadangkadang tidak mampu. Manakala ia pada kenyataannya sekali mampu dan pada kali yang lain tidak mampu, maka nyatalah bahwa kemampuan itu bukan miliknya sendiri.
Teologi ini berakar kuat di kalangan umat Islam Indonesia, terbukti di pondok-pondok pesantren masih diajarkan kitab-kitab Ummul Barahim, Aqidatul Awwam, Sanusiyah,dan Kifayatul Awwam. Kitab-kitab tersebut merupakan karangan yang baik dalam ilmu tauhid, tetapi kemajuan dan perkembangan zaman membuat buku-buku tersebut menjadi out date. Secara lebih jauh teologi tradisional tersebut berakar pada teologi Asy’ariyah sebagai teologi Islam yang pertama kali masuk Indonesia.
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Berlainan dengan faham kaum Asy’ariyah ini, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagai terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.
Salah satu pendekatan yang digunakan umat beragama untuk memahami agamanya secara mendalam adalah mengkaji tentang ilmu teologi atau dalam Islam di sebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Teologi Islam. Ilmu teologi lebih khusus memfokuskan dalam pembahasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan wilayah ketuhanan dan bagaimana kita mengimami dan bersikap terhadap keberadaban dan pengabdian terhadap Tuhan. Berbagai persoalan umat ini menimbulkan kontroversi sehingga memecah ke dalam berbagai golongan. Di antara persoalan kalam yang terkenal adalah masalah sifat Tuhan, status al-Qur’an, penciptaan dunia, kausalitas, takdir, dan kehendak bebas
Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari, memiliki pengaruh cukup kuat dalam diskursus Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di lingkaran ulama’ pesantren. Penting dicatat bahwa, di kalangan ulama’pesantren, kredibilitaas intelektualnya Kyai Hasyim tidak diragukan lagi. Kredibilitas inilah yang membawanya berada dalam puncak otoritas di kalangan ulama pesantren, bahkan hingga saat ini. Paling tidak, terdapat dua indikasi penting atas kuatnya pengaruh Kyai Hasyim di kalangan Muslim tradisional. Belum satu pun ulama dari kalangan pesantren terutama yang tergabung dalam organisasi NU yang mendapatkan status atau gelar kultural sebagai Hadrat al-Shaykh.
Identitas Penulis
Nama : Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum
TTL : Ngawi, 07 Maret 2002
Alamat : Kedung Prau Widodaren Ngawi Jatim
Motto : Hidup bukan Hanya bernafas
Asal sekolah : UIN SUNAN AMPEL SURABAYA